Hari buruh biasanya hanya diperingati oleh buruh pabrik. Padahal, pegawai negara, guru, dosen bahkan mahasiswa sejatinya adalah buruh. Hal tersebut menunjukkan apatisnya sebagian besar kaum terdidik dalam memaknai Hari Buruh.
Tiga tahun yang lalu, saya menjadi buruh di Karawang. Saat perayaan Hari Buruh, ribuan buruh tumpah ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya. Kalau ada buruh yang masih bekerja, pabriknya akan di-sweeping oleh gabungan buruh dari pabrik lain. Jika pemilik pabrik melarang buruhnya untuk ikut turun ke jalan, maka bisa dipastikan alat produksi bakal dirusak oleh serikat buruh.
Suasananya sangat berbeda dengan tempat tinggal saya saat ini–Jogja. Di mana hanya sedikit buruh yang turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya. Kalaupun ada mahasiswa yang turut menyuarakan hak-hak buruh, jumlahnya tetap belum sebanding dengan demonstrasi buruh di Karawang.
Akan tetapi, ada persamaan di dua tempat tersebut, bahkan di seluruh Indonesia. Tidak ada guru, dosen, pegawai negara, maupun mahasiswa yang ikut turun ke jalan—kalaupun ada jumlahnya bisa dihitung jari. Padahal, jika kita melihat terminologi buruh berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan, kaum yang katanya terdidik tersebut sejatinya merupakan buruh.
Dalam KBBI dijelaskan bahwa buruh adalah “orang yang bekerja untuk orang lain untuk mendapatkan upah”. Jika menilik pengertian buruh dari UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, definisinya tidak jauh berbeda. Dalam BAB I, Pasal 1 poin 3 disebutkan bahwa “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Dari pengertian tersebut, sudah jelas jika guru, dosen, pegawai, dan mahasiswa merupakan buruh karena mereka bekerja untuk orang lain serta mendapatkan upah. Yang terakhir disebutkan–mahasiswa—mungkin masih bisa diperdebatkan, tetapi saya tetap sepakat jika saat ini mahasiswa adalah buruh dan akan kita bahas nanti.
Konotasi Negatif
Kaum terdidik yang disebutkan tadi biasanya emoh disebut sebagai buruh. Mereka lebih suka disebut sebagai pagawai, karyawan, atau tenaga pendidik karena memiliki konotasi yang positif. Term buruh dalam masyarakat dianggap memiliki konotasi negatif, yakni sebagai pekerja kasar dengan upah rendah.
Jika ditelusuri, sebenarnya konotasi negatif dalam term buruh tidak muncul begitu saja. Usai Indonesia merdeka, belum ada kementerian yang secara khusus mengelola buruh. Hingga akhirnya dibentuklah Kementerian Perburuhan pada 3 Juli 1947 dengan S. K. Trimurti (istri Sayuti Melik) sebagai Menteri.
Kala itu, term pegawai, karyawan, maupun tenaga kerja belum sepopuler sekarang. Hanya ada satu sebutan yang menyatukan mereka yakni “buruh”. Akibatnya, gerakan buruh memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan arah kebijakan negara.
Kondisi mulai berubah ketika Orde Baru berkuasa. Soeharto mengganti Kementerian Perburuhan dengan Kementerian Tenaga Kerja. Semenjak itu pula mulai dikenalkan term karyawan, pegawai, serta tenaga kerja yang disisipkan melalui undang-undang maupun kebijakan pemerintah.
Sebagai contoh, saat ini dapat kita lihat term yang digunakan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Di dalamnya ada dua term yang dipilih, yakni pekerja/buruh. Padahal, secara terminologi keduanya memiliki arti yang sama. Lantas apa pengaruhnya?
Pilihan kata yang digunakan dalam membuat kebijakan memang tidak pernah bebas nilai. Ada maksud-maksud tertentu yang digunakan penguasa–dalam kasus ini tentunya untuk melemahkan kelas buruh.
Tampaknya cara seperti ini memang berhasil. Banyak terjadi perpecahan dalam kelas buruh. Ada serikat buruh yang namanya berubah menjadi serikat pekerja, meski tetap masih ada yang menggunakan serikat buruh.
Keberhasilan lainnya tampak saat pekerja yang dapat embel-embel pegawai—seperti pegawai BUMN maupun PNS termasuk guru dan dosen— emoh disebut sebagai buruh. Ada kesan seakan mereka yang bekerja sebagai pegawai negara lebih terdidik dan terhormat ketimbang pekerja pabrik.
Padahal soal jam kerja, cuti, dan tunjangan–pekerja yang katanya terdidik—ini diatur oleh undang-undang yang sama dengan pekerja pabrik. Kesempitan kaum terdidik dalam mendefinisikan buruh inilah yang pada akhirnya menunjukkan bahwa mereka telah gagal memahami kondisi yang terjadi saat ini.
Mahasiswa Juga Buruh
“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, begitulah amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 ayat 1. Amanat tersebut seakan sekadar menjadi tulisan saja. Soal implementasi, kita masih jauh dari hal tersebut.
Saat ini ada ribuan perguruan tinggi di Indonesia baik berstatus negeri maupun swasta. Dari sekian ribu tersebut, mayoritas adalah berstatus swasta. Untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN), kita harus membayar mahal. Jika ingin ke perguruan tinggi swasta (PTS) tentu lebih mahal. Akibatnya, tidak semua warga negara bisa mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi.
Semua berawal pada 2001 ketika negara meratifikasi kesepakatan perdagangan jasa internasional, (General Agreement On Trade and Service/GATS) dari World Trade Organization dimana pendidikan dijadikan salah satu dari 12 komoditas. Pada akhirnya, investor boleh menanamkan sahamnya di sektor pendidikan, terutama pendidikan tinggi.
Hasil dari kebijakan tersebut dapat kita lihat seperti mahalnya biaya kuliah serta upaya pemerintah mengurangi dana untuk perguruan tinggi melalui status PTN-Berbadan Hukum (BH). Keduanya saling berhubungan.
Pertama, jika kita menggunakan logika investor maka tidak ada investor yang ingin merugi, termasuk investor di bidang pendidikan. Sedari SMP kita selalu diajarkan bahwa prinsip ekonomi adalah mengeluarkan pengeluaran sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Kita dengan mudah mengamini apa yang terdapat dalam buku pelajaran ekonomi yang diajarkan oleh guru kita.
Padahal jika dikaji betul, prinsip tersebut adalah prinsip ekonomi kapitalis yang jika diterapkan maka akan mengeksploitasi pihak lain. Akan berbeda jika begini bunyinya, “mengeluarkan pengeluaran secukupnya untuk kepentingan bersama” maka tidak aka nada eksploitasi antar manusia.
Kembali ke masalah investor, prinsip ekonomi kapitalislah yang digunakan oleh investor. Mereka tak ingin merugi, maka jangan heran jika kuliah di PTS mahalnya minta ampun.
Kedua, masalah PTN-BH, dengan statusnya yang berbadan hukum memperbolehkan PTN untuk mengelola keuangan secara mandiri termasuk menentukan nominal Uang Kuliah Tunggal (UKT). PTN dengan status BH juga boleh bekerjasama dengan investor, serta mendirikan usaha.
Inilah yang membuat PTN-BH memiliki nominal UKT yang lebih mahal dibanding dengan PTN lain. Di satu sisi dana dari pemerintah dikurangi, sebagai gantinya meraka harus memutar modal agar perguruan tinggi bisa tetap berjalan dengan usaha-usaha yang mereka bikin. Sampai di sini cukup menjelaskan bahwa kini dunia pendidikan telah menjadi salah satu industri baru.
Dalam dunia Industri, ada pemilik modal, alat produksi, serta buruh yang menggerakkan alat produksi. Pada akhirnya industri akan menghasilkan produk berupa barang maupun jasa. Dalam industri pendidikan, ada dua produk yang ditawarkan sekaligus, yakni jasa dan barang.
Jasa yang ditawarkan adalah pendidikan, barang yang ditawarkan adalah ijazah. Keduanya otomatis didapatkan konsumen jika telah membayar dan menyelesaikan studi. Namun, tidak menutup kemungkinan jika yang dicari hanya ijazahnya–tidak dengan ilmunya.
Masih di industri pendidikan, sebelum menawarkan kepada konsumen, ada poin plus yang harus perguruan tinggi tawarkan agar konsumen mau mendaftar di perguruan tinggi tersebut. Poin plus tersebut adalah akreditasi serta prestasi-prestasi yang dimiliki oleh perguruan tinggi tersebut.
Padak titik inilah mahasiswa dieksploitasi untuk mengikuti berbagai macam lomba agar berprestasi. Selain itu mahasiswa dituntut untuk memiliki Indeks Perstasi Kumulatif (IPK) yang tinggi serta lulus dengan cepat agar akreditasi kampus tetap baik. Poin plus yang dikerjakan oleh mahasiswa inilah pada akhirnya dijadikan perguruan tinggi sebagai pelaris jualan mereka saat musim pendaftaran mahasiswa baru.
Pada titik inilah mahasiswa telah bekerja dalam roda industri pendidikan, serta mendapatkan upah berupa ilmu–jika upah tidak hanya diukur dengan uang. Namun, alih-alih ilmunya bermanfaat, justru lulusan perguruan tinggi sering menggunakan ilmunya untuk melanggengkan sistem ini. Padahal sistem ini secara jelas telah mencederai amanat UUD.
Musuh Utama Bukanlah Tenaga Kerja Asing
Jika sudah mengetahui siapa saja sebenarnya yang bisa disebut sebagai buruh, maka idealnya kita menggunakan hari buruh sebagai momentum untuk menyuarakan aspirasi kita. Ada beberapa tuntutan yang sering diajukan oleh buruh pabrik dalam menyuarakan aspirasinya. Semuanya tidak jauh dari peningkatan upah, penghapusan sistem kontrak dan outserching, serta melawan tenaga kerja asing.
Isu-isu yang dilemparkan oleh gerakan buruh saat ini terjebak dalam isu-isu sektoral mereka. Isu akan disuarakan jika menyangkut kepentingan mereka sendiri, sementara isu-isu di luar kepentingannya mereka bungkam.
Hal ini menyebabkan gerakan buruh terjebak dalam politik identitas. Padahal musuh mereka sebenarnya adalah sistem, yang memungkinkan untuk saling mengeksploitasi orang lain. Sistem tersebut bernama kapitalisme.
Menyalahkan tenaga kerja asing bukanlah solusi, karena sebenarnya mereka juga kaum buruh. Jika ini terjadi, artinya buruh menindas sesama buruh. Padahal banyak juga buruh dari negara kita yang bekerja di luar negeri (TKI). Tenaga kerja asing adalah korban dari sistem yang sama.
Tuntutan kenaikan upah tiap tahun pun hanya akan menjadi semu ketika tiap tahun terjadi inflasi. Sebenarnya kondisi tiap tahun hanya stagnan, hanya nominal yang berubah. Upah naik akan tetapi harga kebutuhan juga naik. Keuntungan besar tetap menjadi milik pemodal.
Sistem ini tidak hanya musuh kaum buruh, melainkan musuh dunia pendidikan. Adanya sistem ini membuat sebagian warga negara kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Jika boleh memberi penawaran, yang harusnya kita upayakan adalah menghapus sistem ini dan menggantinya dengan yang baru. Sampai tahap menghapuskan sistem, ada salah satu cara yang menarik.
Salah satunya adalah dengan mogok kerja. Jika buruh tidak menggerakkan alat produksi dalam beberapa waktu, maka pemodal akan merugi. Saat tersebut adalah saat yang tepat bagi buruh untuk mengambil alih, serta menjalankan kembali alat produksi.
Sampai di sini, yang jadi masalah adalah bagaimana sistem yang tepat untuk diterapkan? Jika sistem yang digunakan masih sama, maka hanya akan berakhir sia-sia.
Lalu bagaimana dengan mahasiswa?
Jika saja kita mau mogok kuliah, atau serentak tidak membayar UKT, maka sistem akan kacau. Saat itu adalah saat yang tepat bagi mahasiswa untuk merebut kampus. Kita bisa belajar mandiri dengan buku-buku yang telah ada. Kita juga dapat belajar dengan alat-alat praktik yang masih ada.
Hal tersebut sangat mungkin dilakukan jika niat kita kuliah tidak hanya untuk mendapatkan selembar ijazah, melainkan mencari ilmu serta mempraktikkannya langsung. Selanjutnya tinggal memikirkan sistem yang tidak mencekik masyarakat untuk bisa menempuh pendidikan tinggi.
Rofi Ali Majid
Editor: Riri Rahayu