Ekspresionline.com–Jumlah kendaraan pribadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kian meningkat setiap tahunnya. Merujuk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, masyarakat bisa membeli kendaraan dengan Down Payment (DP) nol persen. artinya, usaha pemerintah untuk menekan pembelian kendaraan pribadi masih sangat minim. Di sisi lain, pemerintah DIY punya tanggung jawab menyediakan transportasi umum yang layak untuk masyarakat.
“Kalau di dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, Tentang Lalu Lintas angkutan jalan, bahwa pemerintah itu wajib menyelenggarakan angkutan umum. Kalau Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) ya kementrian, Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) pemerintah provinsi, pedesaan yang kabupaten. Hukumnya wajib,” terang Sumaryoto selaku Kepala Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY.)
Data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistika (BPS) menunjukkan jumlah kendaraan roda dua mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2018, jumlah sepeda motor sekitar 106.657.952 unit. setahun kemudian jumlahnya meningkat hingga 112.771.136 unit. Sementara itu, pada 2020, data terakhir menyebutkan bahwa total jumlah sepeda motor mencapai 115.023.039 unit.
Di DIY sendiri jumlah kendaraan roda dua atau sepeda motor juga mengalami peningkatan, tahun 2018 jumlahnya 1.409.840 unit sedangkan data terakhir pada 2019 total sepeda motor mencapai 1.575.074 unit.
Bandi, warga yang bertempat tinggal di Kabupaten Sleman, mengaku lebih nyaman bermobilitas memakai transportasi pribadi. Menurutnya, memakai sepeda motor bisa lebih fleksibel. Maka dari itu ia jarang menggunakan transportasi umum, bahkan hampir tidak pernah, kecuali jika bepergian ke luar kota. Menurutnya transportasi umum di Jogja kurang efisien karena jarak antara tempat tujuan dengan halte terlalu jauh.
“Kalo naik transportasi umum lama dan ribet[Saya tidak pernah menggunakan transportasi umum] kecuali kalo pergi ke luar kota ya saya naik bus,” terangnya.
Bandi, warga yang bertempat tinggal di Sleman, memiliki 2 kendaraan pribadi dalam satu keluarga yang berisi empat anggota.
Bahkan, Mudho, warga yang berdomisili di kota Yogyakarta, mengaku memiliki sembilan sepeda motor kendaraan bermotor di rumahnya. Ia bekerja sehari-hari sebagai satpam. Kebutuhan mobilitas keluarganya yang memaksanya membeli kendaraan cukup banyak.
Dia juga merasakan keresahan yang sama dengan Bandi., menurutnya penggunaan transportasi umum kurang efisien, dia lebih merasa bebas dan nyaman menggunakan kendaraan pribadi.
“Lebih bebas naik motor, kalo naik transportasi umum itu lama. saya kalo naik transportasi umum kalo pergi piknik aja” terang Mudho.
Toh, menurut Bandi, membeli kendaraan pribadi cukup mudah. Baginya, syarat kredit kendaraan pribadi tergolong gampang dan prosesnya cepat.
“Untuk syarat dan DP sih mudah, tapi ya pas bayar angsuran itu yang agak susah” ujarnya, saat ditemui pada Rabu (23/02/2022).
Dilansir dari website salah satu perusahaan leasing Adira Finance persyaratan umum administratif yang harus dibawa ketika pengajuan kredit kendaraan adalah Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), Fotokopi Kartu Keluarga (KK), Fotokopi Buku Tabungan/ Rekap Pendapatan 3 bulan terakhir. Khusus untuk wirausaha, ada syarat tambahan berupa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Fotokopi Akte Pendirian Perusahaan, sedangkan bagi karyawan, cukup menyerahkan slip gaji.
Di samping itu, ketentuan kredit yang berlaku untuk sepeda motor dengan merk Honda, Suzuki, Kawasaki, dan Yamaha, tenor (jangka waktu pembayaran) maksimalnya adalah 5 tahun atau 60 bulan. Selain tiga merk tersebut, tenor maksimal yang diberikan adalah 4 tahun alias 48 bulan.
Dilema Kebijakan Pembatasan Pembelian Kendaraan Pribadi
Rancangan Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 2022, menjelaskan kemacetan di DIY disebabkan oleh meningkatnya jumlah kendaraan pribadi. Akibatnya, dalam data Transportasi Dalam Angka 2021 DIY, kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya meningkat. Tahun 2020 jumlah kecelakaan sebanyak 5.944.00, sedangkan tahun 2021 meningkat menjadi 5.350.00 kasus.
Mengenai peningkatan jumlah kendaraan pribadi, Sumaryoto justru beranggapan bahwa hal itu merupakan salah satu bagian dari tren masyarakat. Menurutnya, sekarang baru terjadi euforia pembelian kendaraan pribadi, lama kelamaan ketika masyarakat sudah sadar dan merasakan kemacetan maka akan muncul kesadaran sendiri untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum.
Ia mengatakan, tidak mudah untuk melakukan kebijakan pembatasan pembelian kendaraan pribadi, karena dikhawatirkan masyarakat bakal menolak mentah-mentah dan mengajukan protes mengenai kebijakan tersebut.
“Kita itu baru seneng beli kendaraan, karena bisa [mampu]. Kemudian, setelah macet, ya nanti biar masyarakat sendiri yang sadar, ‘oo, kalau saya beli kendaraan banyak itu macet’. Nah [baru kemudian] tugas pemerintah hadir di situ. Kalau hal itu sudah disadari oleh masyarakat, kita itu kalau mau membuat kebijakan akan lebih smooth,” dalihnya, saat diwawancarai oleh Ekspresi di kantornya pada, Selasa (8/2/2022) lalu.
“Ini orang-orang baru senang beli motor, baru seneng beli mobil, kok tiba-tiba dihalangi. Itu rasane piye?” tambah Sumaryoto.
Terjadi kepentingan yang berlawanan antara Dinas Perhubungan (Dishub) dengan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Dishub mempunyai tanggung jawab untuk menekan pertumbuhan jumlah transportasi pribadi sedangkan BPKAD bertanggung jawab untuk meningkatkan pendapatan daerah. Jika ada kebijakan pembatasan pembelian kendaraan pribadi akan berpengaruh terhadap pendapatan daerah.
“Kepentingan kami dengan BPKA kan berlawanan. BPKA ada target pendapatan pajak, sehingga mereka mendorong untuk sebanyak-banyaknya penjualan mobil. Nah kami, menekan sekenceng-kencengnya supaya tidak ada penjualan mobil” jelas Sumaryoto.
Kepala bagian Anggaran Pendapatan di BPKAD, Gamal Santosa, menjelaskan bahwa kebijakan pembatasan pembelian kendaraan pribadi ini akan susah terealisasi karena pendapatan DIY hampir 80% berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Artinya, jika dilakukan pembatasan maka pendapatan daerah akan berkurang drastis.
“Kontribusi paling banyak pendapatan kita itu dari PKB dan kita tidak punya sumber pendapatan lain yang sebesar PKB jadi bakal susah kalo ada pembatasan” terang Gamal, Senin (21/2/2022).
Semakin tinggi angka pembelian kendaraan pribadi, semakin meningkatkan pula jumlah pendapatan pajak. Hingga 2019, jumlah pendapatan daerah terus meningkat drastis. Baru pada masa pandemi, 2020-2021,.kenaikannya relatif kecil, bahkan menurutnya hampir stagnan. Namun, setelah berakhirnya pandemi, Gamal berharap akan terjadi peningkatan dengan targetnya sebesar 8,6%. Target peningkatan ini akan mulai diupayakan pada tahun 2022.
Hal itu pula yang dijadikan sebagai alasan kenapa upaya pemerintah sangat minim dalam menekan jumlah kendaraan pribadi di DIY. Pada akhirnya upaya yang dilakukan pemerintah untuk menekan jumlah kendaraan pribadi cukup minim.
Menurut Sumaryoto, salah satu upaya yang bisa dilakukan yaitu dengan menerapkan strategi push and pull. Push artinya mendorong, menekan, dan memaksa agar masyarakat mengurangi pembelian kendaraan pribadi untuk kemudian beralih ke kendaraan umum. Sementara itu, Strategi pull dilakukan dengan memberikan daya tarik terhadap transportasi umum. Sumaryoto menilai, hanya sistem pull yang bisa dilakukan sekarang.
“Salah satunya dengan menyediakan dan memperbagus fasilitas angkutan umum seperti Trans Jogja,” ujar Sumaryoto.
Namun nyatanya, pengadaan Trans Jogja ini masih belum bisa menarik minat masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya pengurangan operasional Trans Jogja yang mulanya jumlah bus Trans Jogja mencapai 128, dan sejak 2021 jumlahnya tinggal 95 unit.
(tambahin bukti bahwa tj kurang memfasilitasi dengan baik. dikit aja, nanti tambahin link menuju tulisanku)
Pajak Progresif Tidak Berpengaruh pada Daya Beli Kendaraan
Selain peningkatan kualitas TJ, pemerintah sebenarnya juga punya upaya lain yakni penerapan pajak untuk kendaraan pribadi.
Jenis pajak yang cukup umum di Indonesia adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang dibebankan kepada setiap pemilik kendaraan. PKB diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di sana disebutkan bahwa PKB dipungut oleh penyelenggara pemerintahan tingkat satu atau pemerintah provinsi sebagai sumber pendapatan daerah.
Selain PKB, dalam upaya mengurangi kemacetan, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menetapkan pajak progresif, yaitu pajak yang dibebankan berdasarkan persentase atau jumlah objek pajak yang dimiliki wajib pajak.
Namun, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 DIY hanya memberlakukan pajak progresif pada kendaraan roda empat dengan ketentuan; kepemilikan kedua dibebankan pajak sebesar 2 persen, kepemilikan ketiga akan dikenakan pajak sebesar 2,5 persen, kepemilikan keempat sebesar 3 persen, sementara kepemilikan kelima dan seterusnya sebesar 3,5 persen. Kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama dan alamat yang sama.
Walaupun sudah diberlakukan pajak progresif bagi kendaraan roda empat, jumlah unit mobil yang terkena pajak progresif cenderung stagnan dan tidak mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dari laporan yang diberikan Gamal Santoso mengenai jumlah unit kendaraan yang terkena pajak progresif.
Di sisi lain, jumlah mobil pribadi setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada 2017, jumlah mobil hanya sekitar 143.689, mengalami peningkatan sekitar 15.283 unit pada 2018. Tahun berikutnya, 2019, jumlah mobil kembali bertambah menjadi 168.114 unit. Bahkan, pada periode 2020 ketika pandemi Covid-19, jumlah mobil pribadi juga mengalami peningkatan sekitar 3.710 unit.
Rendahnya Anggaran untuk Transportasi Umum
Target jumlah pendapatan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang ditetapkan BPKAD sebesar Rp485.334.000.000,00 per tahun. Pada 2021,realisasinya sebesar Rp874.731.430.750,00gh. Artinya, pendapatan PKB DIY naik 101.20%. Sayangnya, dari jumlah banyaknya pendapatan tersebut, hanya sebagian kecil yang didistribusikan untuk transportasi umum.
Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 Pasal 71 (1) mengatur hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diserahkan ke Pemerintah Kabupaten dan Kota sebanyak 30 persen. Masing-masing kota/kabupaten hanya diwajibkan untuk mengalokasikan minimal 20 persen dari total pendapatannya untuk kepentingan transportasi umum, termasuk pembangunan dan pemeliharaan jalan, serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
Sumaryoto mengonfirmasi bahwa alokasi anggaran yang diberikan pemerintah kepada Dishub sangat kecil. Hal itu membuat distribusi anggaran untuk kepentingan transportasi umum menjadi terbatas.
Ia menerangkan, anggaran yang diperoleh tersebut lebih diprioritaskan untuk pengadaan dan perbaikan Trans Jogja. Subsidi yang dikeluarkan untuk Trans Jogja tergolong sangat besar yaitu 70 miliar lebih.
Anggaran yang besar untuk perbaikan Trans Jogja itu berdampak negatif terhadap angkutan umum yang lain.. Salah satunya adalah Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) Berdasarkan laporan Transportasi dalam Angka DIY 2020, jumlah AKDP mengalami penurunan drastis, dari 493 unit pada tahun 2018, menurun menjadi 482 unit. Kemudian, pada 2020 jumlahnya tinggal 98 unit saja.
Tidak hanya AKDP, angkutan umum perkotaan reguler juga mengalami penurunan. Jumlahnya sebanyak 187 unit pada tahun 2018, lalu turun menjadi 56 unit pada tahun 2019. Puncaknya, pada 2020, jumlah angkutan umum perkotaan reguler hanya menyentuh angka 24 unit.
Profesor Ahmad Munawar dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM), saat diwawancarai pada 17 September 2021, menjelaskan bahwa pengembangan transportasi umum memerlukan biaya operasional yang sangat besar. Di samping itu pemerintah belum memprioritaskan peningkatan transportasi umum..
Menurutnya, salah satu opsi untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas transportasi umum adalah dengan menghadirkan investasi dari pihak swasta. Namun, hal itu susah karena transportasi umum tidak menghasilkan profit yang menjanjikan, bahkan cenderung merugikan.
“Ketika mengajak kerja sama dengan swasta tidak ada yang mau karena tidak ada keuntungan, mereka lebih memilih kerjasama dengan pembangunan tol yang lebih menguntungkan dan tidak ada biaya operasional” terang Ahmad Munawar.
Dia juga mengatakan telah ada kajian mengenai pengembagan transportasi umum yang meliputi angkutan desa, perkotaan, sekolah dan pariwisata. Namun belum ada implementasi karena anggaran yang terbatas.
Hal tersebut dikonfirmasi oleh Sumaryoto, dia juga mengakui bahwa selain mempertimbangkan konflik masyarakat, kendala lain yang lebih besar dalam upaya pengimplementasian kajian untuk perbaikan transportasi umum adalah anggaran yang rendah.
“Kami juga akan menata pejalan kaki, pesepeda, tapi semua itu baru di ranah kajian. Lha kajian ini untuk diterapkan, perlu pertimbangan. Pertimbangan biaya dan konflik masyarakat setempat, ya, kalo ada uangnya semuanya bisa selesai” tambah Sumaryoto saat ditanyai mengenai anggaran untuk perbaikan fasilitas transportasi umum.
Berdasarkan Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (pemda), kewenangan pembangunan transportasi umum berada di tangan pemda dan terbatas pada satu wilayah administrasi. Namun, beberapa daerah, termasuk Yogyakarta, yang memiliki kendala fiskal dan juga kelembagaa, memerlukan dukungan dari pemerintah pusat. Sayangnya,saat ini belum ada aturan yang memungkinkan pemerintah pusat untuk memberikan dukungan fiskal untuk pemda terkait transportasi umum.
Nuriyah Hanik Fatikhah
Editor: Fadli Muhammad