Ekspresionline.com–Terjadi penangkapan secara serampangan oleh aparat terhadap warga dan beberapa kelompok yang bersolidaritas di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Kejadian tersebut terjadi pada saat para warga melakukan Mujahadat di wilayah desanya dalam rangka menolak rencana penambangan batuan andesit, pada Jumat (23/4/2021) siang.
Setidaknya terdapat 12 orang yang ditangkap paksa sedangkan 9 orang mengalami luka-luka karena diseret dan dipukuli oleh aparat.
Kronologi Penangkapan Paksa oleh Aparat
Kejadian dimulai sekira pukul 11.00 WIB ketika aparat gabungan bersenjata yang terdiri dari Satuan Kepolisian dan TNI mulai berbondong-bondong mengerubungi wilayah Desa Wadas.
Saat itu warga dalam posisi duduk sambil bersolawat. Mujahadat–begitu kegiatan ini dinamai–digardadepani oleh para perempuan. Tujuannya untuk meminimalisir terjadinya bentrok antara warga dan aparat.
Sementara itu, akses jalan menuju Desa Wadas diblokade menggunakan batang kayu yang dibangun oleh warga. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap sosialisasi dan pematokan tanah yang rencananya akan digelar hari itu juga.
Malam sebelumnya, sebenarnya warga telah melakukan penolakan terhadap pemasangan tenda yang akan digunakan dalam acara sosialisasi. “Sebelumnya kami [warga Wadas] sudah melakukan penjagaan di tenda [yang akan digunakan sebagai tempat sosialisas] sampai subuh. Namun, ternyata ketika kami lengah, usai subuh, orang-orang itu [penyelenggara sosialisasi] datang. Mereka langsung memasang perlengkapan, meja, kursi, tenda, dan lain sebagainya,” tutur Nawaf saat diwawancarai di kediamannya, Minggu (25/4) sore.
Upaya yang dilakukan warga untuk mencegah masuknya aparat gabungan ke wilayahnya dengan mudah tertebak. Sia-sia. Aparat tetap memaksa masuk dengan segala cara. Mereka mulai memotong batang pohon yang menghadang jalan menggunakan gergaji mesin.
Lalu, lebih kurang pukul 11:30 WIB, aparat merangsek masuk menembus barisan depan, yang terdiri dari perempuan, secara paksa. Menurut kesaksian Nawaf, sebelumnya, aparat mencoba memaksa maju, mendorong ibu-ibu hingga terperosok ke belakang. “Kami tentu memasang posisi defensif tapi malah dikira ingin menyerang, padahal tidak,” terangnya.
Kejadian saling dorong tersebut berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya aparat mulai tak sabar dan secara membabi buta menyeret, memukul, serta menembakkan gas air mata ke arah warga.
“Saya yang saat itu hanya memotret dengan HP, tiba-tiba dibawa paksa mobil kemudian dipukuli. Saya yang berada di pojok bak mobil jelas tidak bisa apa-apa. Kepala saya dihantam menggunakan helm. Ada juga dari barisan perempuan yang ditampari oleh polwan,” lanjut Nawaf, yang saat diwawancara mengaku masih merasakan sakit pada dahi sebelah kirinya.
Selain Nawaf, ada banyak yang ditangkap paksa dan tak luput digebuk aparat. Bahkan, pada pukul 11:47 WIB polisi pun mulai menyasar kuasa hukum warga Wadas dari LBH Yogyakarta. Salah satunya Julian. Ia ditangkap dan mengalami nasib sama dengan yang lain: dipukul brutal oleh aparat, lalu dibopong paksa oleh beberapa orang ke bak mobil.
Penangkapan yang dilakukan secara serampangan oleh aparat tersebut berdalih pelanggaran aturan karena warga memotret kejadian di lokasi. Gawai para warga pun disita. Foto dan video yang ada di dalamnya pun dihapus paksa. “Saya tidak tahu, tiba-tiba dengan nada kasar saya dipaksa menghapus seluruh hasil ngefoto dan ngevideo saya saat kejadian,” pungkas Nawaf.
Malam berikutnya, tepatnya pada 24 April 2021 pukul 02.00 WIB dini hari, para warga yang sempat ditahan akhirnya diperbolehkan pulang.
Kejanggalan-kejanggalan yang Terjadi
Menurut Riyan Santula, salah satu anggota Kesatuan Perjuangan Rakyat Yogyakarta, dalam aksi kemarin, terdapat percobaan provokasi dari pihak aparat. Aparat menuduh bahwa penolakan penambangan tersebut ditunggangi oleh pihak lain di luar warga Wadas.
Hal itu juga dikonfirmasi oleh Nawaf, bahwa pada saat penahanan berlangsung, polisi menceramahi warga yang ditangkap agar jangan mau dibohongi orang luar–aktivis solidaritas dari luar desa Wadas. Pertanyaan tentang siapa koordinator lapangan dalam mujahadat tersebut dilontarkan polisi dengan tendesi mencari sasaran kambing hitam.
Padahal, menurut Nawaf, aparatlah yang lebih dulu memancing amarah warga. Beberapa anggota polisi terlihat membuka baju seragamnya dan menggebuki massa dengan brutal. “Saya yakin. Saya melihat sendiri mereka [polisi] melempar seragam coklatnya,” ungkapnya.
Ia juga sempat melihat orang-orang tak dikenal, yang memakai helm serta penutup wajah, muncul dan memukuli warga dari samping maupun belakang barisan.
Penangkapan terhadap warga dengan cara tak manusiawi, menurut Julian, PBH LBH Yogyakarta, merupakan bukti bahwa aparat tak mematuhi KUHP. “Perampasan gawai milik warga oleh polisi yang kemudian dihapus data-data pribadinya tanpa persetujuan tak hanya janggal, tetapi juga telah melanggar hak privasi,” tegasnya.
“Namun, polisi yang menginterogasi cukup cerdik. Mereka menyuruh orang-orang yang tertangkap tersebut untuk menghapus file-file itu sendiri agar tidak terlihat adanya pelanggaran hak privasi,” sambungnya.
Berita yang diterbitkan detik dengan judul ”Polisi Duga Demo Tolak Tambang Ditunggangi Anarko” merupakan dugaan yang sangat keliru dan gegabah. Menurut Julian, selaku PBH LBH Yogyakarta, penolakan tambang warga Wadas murni berangkat dari kesadaran warga sendiri.
Potensi bahaya bencana yang berdampak pada keberlangsungan lingkungan hidup di kemudian hari menjadi alasan kuat warga bertahan dengan sikap menolak tambang.
Tri Rahayu
Reporter: Fajar Yudha Susilo, Fadli Muhammad, Nuriyah Hanik Fatikhah
Editor: Fadli Muhammad
*Catatan redaksi: Artikel ini telah mengalami pembaruan pada Selasa, 27 April 2021 pukul 22.12 WIB. Semua kata “muhasabah” diganti dengan “mujahadat”. Sebab yang sebenarnya ingin dikatakan adalah perjuangan melawan musuh Allah, dalam bahasa arab artinya mujahadat, bukan muhasabah.