Ekspresionline.com—Sederhana namun bermakna. Jelas menggambarkan bagaimana teman-teman UKM PMK menjalankan kegiatan ibadah mereka. Di antara lalu lalang mahasiswa, di atas lantai beralas dua-tiga tikar seadanya, mereka saling menggenggam tangan melayangkan doa-doa kepada Tuhan.
Saat ini pelaksanaan ibadah bagi mahasiswa non-muslim selalu diadakan di balkon dan selasar ruang sekretariat di Student Center(SC). Tiga lantai dengan banyak petak ruang di sepanjang lorong-lorong remang menjadi pusat UKM dan Ormawa UNY berkegiatan setiap harinya.
Ukurannya yang tidak seberapa besar bahkan tak jarang diberi sekat tidak memungkinkan mahasiswa melaksanakan kegiatan ibadah secara masif. Realita yang mungkin terdengar biasa bagi mereka justru merupakan duri yang selama ini mereka pendam dalam diam.
Akomodasi peribadatan di kampus merupakan salah satu hal yang sejatinya lumrah dimiliki oleh setiap institusi pendidikan termasuk UNY. Sebagai peserta didik, mahasiswa berhak dan memiliki kesempatan untuk melaksanakan ibadah di lingkungan kampus sesuai dengan agama yang dianutnya. Hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
UNY sendiri mewadahi setiap agama yang dianut mahasiswanya dalam bentuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kerohanian. Beberapa UKM Kerohanian tersebut di antaranya: UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Islam), PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen), IKMK (Ikatan Keluarga Mahasiswa Katolik UNY), dan KMHD (Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma).
Pelaksanaan Ibadah Mahasiswa Non-Muslim Di Lingkungan Kampus
Bersamaan dengan kembalinya sang surya ke peraduan, setiap Kamis pada pukul enam petang Chartine dan teman-teman UKM PMK akan berkumpul untuk melakukan menara doa di balkon SC lantai 2. Bukan tanpa alasan, Chartine menjelaskan bahwa sistem “rebutan” ruangan yang ada di sana membuat mereka harus menggunakan balkon sebagai alternatif tempat lain untuk beribadah.
“Sebenarnya kami sengaja buat di SC itu biar kalau ada kegiatan udah pada tahu tempatnya di SC. Cuman ya memang ‘kan sistemnya rebutan, jadi kadang kalau ngga dapet ya di balkon ini…” Ujarnya.
Tidak banyak yang mereka siapkan, tikar yang digelar nampak tidak cukup dijadikan sekadar alas bagi mereka yang duduk di atasnya. Ibadah dimulai dengan melantunkan puji-pujian, kemudian berlanjut ke sesi pembacaan firman oleh anggota PMK.
Mereka juga melakukan doa bersama untuk meminta kesehatan, kelancaran selama menjalani kegiatan perkuliahan sampai hubungan pribadi dengan Tuhan. Pembacaan doa akan ditawarkan pada anggota yang bersedia atau secara sukarela mengajukan dirinya.
Meskipun berlangsung di tengah hiruk pikuk dan lalu lalang mahasiswa yang juga berada di SC saat itu, teman-teman PMK tetap melangsungkan ibadah mereka dengan tertib dan khidmat.
Selain menara doa, Chartine menuturkan PMK juga melakukan ibadah bersama di tiap-tiap fakultas setiap hari Selasa. Beberapa hari sebelum kegiatan dilaksanakan, PMK akan mengajukan surat peminjaman ruang ke fakultas terlebih dahulu. Namun ternyata, hal tersebut ia akui tidak selalu berjalan mulus. Pada beberapa kesempatan, surat izin mereka pernah ditolak oleh beberapa fakultas dengan berbagai alasan yang akhirnya membuat mereka harus mengalah dan mencari alternatif ruang lain.
“Singkatnya kami pernah mengajukan izin tapi kaya diulur-ulur gitu terus pada akhirnya ngga dapet.” Tutur Chartine.
Chartine mengaku salah satu hal yang sulit ketika melakukan peminjaman ruang atau tempat untuk ibadah di fakultas adalah miskomunikasi dari pihak fakultas. Rumitnya prosedur yang harus diikuti dan waktu yang mepet membuat PMK merasa hal tersebut tidak efektif lagi.
“Soalnya kemarin bilang ke Tata Usaha itu boleh, tapi waktu akhirnya kita mau ngajuin surat ke orang yang berbeda di Unit Tata Usaha itu ternyata ngga boleh, harus ada prosedur kaya dari dekannya dulu. Padahal sama-sama dari Tata Usaha tapi ngga dibolehkan.”
Nasib yang sama dialami pula oleh Helen, Kepala Divisi Bagian Pembinaan PMK, saat ditanyai proses kegiatan ibadah mereka. Kali ini, pengalaman itu disebutnya terjadi tahun lalu di FEB ketika hendak mengadakan kegiatan penerimaan anggota baru.
Saat itu ia hanya berniat menggunakan selasar yang menurutnya tidak perlu memerlukan prosedur tertentu untuk menggunakannya. Namun kenyataannya, Helen tetap harus mengajukan surat peminjaman bahkan melakukan beberapa kali revisi untuk kemudian surat tersebut dapat diajukan.
“Pertama aku minta izin ke satpam, kemudian satpam ngasih tunjuk contoh surat izin peminjaman ruangan padahal saat itu kita cuma mau pakai selasar bukan ruangan….”
Urgensi Pengadaan Tempat Ibadah Bagi Mahasiswa Non-Muslim
Melalui pengalaman selama menjalankan ibadah di lingkungan kampus, Chartine maupun Helen memiliki harapan besar untuk UNY agar memberikan akomodasi yang memadai khususnya dalam hal tempat ibadah.
“Karena kita ‘kan punya hak ibadah tapi malah harus rebutan untuk tempatnya, alangkah lebih baik kalau mereka (kampus) benar-benar memfasilitasi. Walaupun kita minoritas tapi setidaknya memperhatikan dari sisi kegiatan keagamaannya….” Ungkap Chartine kecewa.
Sebelumnya PMK sudah beberapa kali mencoba mengajukan proposal pengadaan ruang ibadah, namun akhirnya mereka harus kembali dengan rasa kecewa. Mereka merasa hal tersebut tidak lagi efektif dan tidak dilanjutkan kembali oleh angkatan saat ini.
“Ya… karena sama aja tetep harus pinjam ruangan di SC lagi akhirnya, kita ngga ngajuin lagi kalau ujung-ujungnya kaya gitu.”
Selain untuk menampung mahasiswa yang lebih banyak, pengadaan ruang khusus untuk mahasiswa non-muslim dimaksudkan agar kegiatan ibadah berjalan dengan khusyuk. Sebab, melihat dari apa yang sudah dialami teman-teman PMK, ibadah yang seharusnya dilangsungkan secara khidmat harus terganggu oleh keramaian dan lalu lalang mahasiswa lain yang ada di SC.
Kami Telah Berbesar Hati, Pada Mereka Yang Terfasilitasi
Berbeda halnya dengan yang dialami Chartine dan teman-teman PMK lainnya, kesulitan dalam hal akses tempat ibadah tidak dirasakan mahasiswa muslim di UNY. Mayoritas mahasiswa muslim biasa melakukan ibadah di kampus setiap harinya. Sebab, jadwal kuliah yang padat dan interval waktu ibadah yang cukup berdekatan membuat mereka mau tidak mau harus menunaikan kewajiban ibadah di tengah-tengah padatnya jadwal tersebut.
UNY sendiri memiliki satu masjid yang terletak di kampus pusat yakni Masjid Al-Mujahidin (Masmuja). Tidak hanya tempat ibadah, Masmuja juga memiliki alat ibadah yang cukup lengkap, koleksi buku-buku pengetahuan agama termasuk Al-Quran didalamnya.
Pemandangan yang demikian nampak berbanding terbalik dengan teman-teman mahasiswa non-muslim. Mahasiswa muslim memiliki kemudahan khususnya dari segi akses dan akomodasi tempat ibadah. Tak hanya Masmuja, UNY juga menyediakan mushola di setiap fakultas dan ruangan khusus di beberapa gedung kuliah sebagai tempat ibadah.
Bahkan, di SC yang menurut PMK saja ruangannya harus berebut, tidak dirasakan oleh teman-teman mahasiswa muslim karena sudah terdapat ruangan yang khusus difungsikan sebagai mushola.
Shella, salah satu pengurus UKM UKKI, menuturkan bahwa UNY sudah cukup memfasilitasi dalam hal kegiatan ibadah melalui mushola yang sudah disediakan di tiap-tiap fakultas. Sebagai bagian dari UKM UKKI, Shella juga merasakan adanya kemudahan akses termasuk dalam hal peminjaman ruangan karena banyak kegiatan keagamaan dan program kerja mereka dilaksanakan di Masmuja.
Meskipun tetap mengajukan peminjaman, namun selama ini mereka belum pernah menemukan kendala yang begitu besar.
“Kalau udah ngasih surat dan ditolak belum pernah, biasanya bener-bener dipastiin dulu baru kami kirim surat [peminjaman]nya,” tuturnya.
Alih-alih mendapatkan kemudahan akses peminjaman ruang, bagi Helen, memiliki rumah ibadah yang layak bagi mereka yang non-muslim menjadi kerinduan terbesarnya selama menjadi mahasiswa di UNY. Selalu merasa cukup dan terlalu berbesar hati, Helen menganggap bahwa sebagai minoritas di kampusnya ia tak berhak banyak meminta.
Terlebih dengan berbagai prosedur rumit yang harus ia dan teman-teman PMK lalui hanya untuk meminjam ruangan, rasa-rasanya rumah ibadah terlalu muluk bagi mereka. Namun ia mengaku angan-angan itu tetap ada. Dapat beribadah dengan khusyuk di tempat yang lebih luas, tetap menjadi harapan besar yang mungkin suatu saat dapat diwujudkan.
“Itu bener-bener suatu hal yang luar biasa, mimpi yang pengen diwujudkan kalau melihat kedamaian, kerukunan seperti itu… ada kerinduan ke arah sana,” tutur Helen saat itu.
Mudita Wulandari
Editor: Risqy Amar