Sudah banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersuara melindungi hak-hak para tenaga kerja di luar negeri, misalnya Migrant Care dan Migrante Internasional. Bahkan, media mainstream juga selalu update kabar para TKI. Nahasnya, kabar-kabar yang hampir selalu muncul adalah kasus bunuh diri dan tindak kriminal yang dilakukan oleh majikan. Kira-kira itu yang sedang tampak ada sekarang. Tajuk Kompas 21 Juli 2011 menyebutkan kasus-kasus yang menimpa TKI-TKW bermacam-macam. Sebutlah pemerkosaan, penganiayaan, pemotongan upah, bahkan pembunuhan menjadi kabar berita biasa. Menurut data Kementerian Luar Negeri per 31 Maret 2015, WNI yang terancam hukuman mati mencapai 227 orang.
Ada kasus yang menarik disimak dari para “pahlawan devisa”, begitu negara menjuluki TKI. Sebut saja kasus Rukiyem, TKW yang menerima hukuman mati di Arab Saudi pada pertengahan 2011. Bersamaan dengan penjatuhan hukuman mati Rukiyem, Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu menjabat sebagai Presiden RI mendapatkan apresiasi baik dalam Konferensi Organisasi Buruh Internasional. Sebabnya, SBY menyampaikan pidato mengenai perlindungan tenaga kerja migran. Kejadian yang bersamaan itu mengundang tanya bagi saya, bagaimana hal tersebut bisa berlangsung sedemikian kontrasnya?
Saya menduga, penyebab utama dari maraknya kasus TKI-TKW adalah rumitnya kebijakan dari negeri ini—sejak akan berangkat mereka sudah menghadapi masalah. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, serta Kedutaan Besar Indonesia perlu memperjelas kebijakan yang dirasa merugikan pihak TKW. Selain itu, pihak-pihak terkait mesti memperkuat kembali jaminan supaya para pahlawan devisa negara ini mendapat hak-haknya, meliputi penggajian yang pantas, hak cuti dari pekerjaan, dan perlakuan manusiawi.
Masih dari tajuk Kompas, secara otomatis para TKI-TKW setiap kali akan berangkat telah membayar uang perlindungan sebesar $15 atau setara Rp1.929.375 (dengan kurs Rp12.862). Selain itu, mereka juga harus membayar premi asuransi Rp400.000 setiap kali keberangkatan. Masih ada biaya lagi yang mesti dibayarkan kepada negara, yakni Rp600.000 per tahunnya. Pembayaran yang dilakukan tidak lagi melalui proses negosiasi antara lembaga dan individu melainkan sudah jadi patokan tanpa dipahami sejauh mana pekerja mampu meninjau biaya tersebut. Hal tersebut erat kaitannya dengan pendidikan mereka yang pada umumnya tergolong menengah ke bawah.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengirimkan warga negaranya untuk menjadi buruh ke luar negeri dalam jumlah banyak. Ada Filipina, India, dan Pakistan yang juga banyak warga negaranya menjadi buruh di negara lain. Dilihat dari penyebabnya, persoalan ekonomi menjadi alasan utama adanya pilihan menjadi buruh ke luar negeri.
Kita bisa menengok kembali kontrak yang bisa dipergunakan TKI dan pihak majikan atau perusahaan, yang antara lain meliputi perjanjian penempatan, perjanjian kerja, dan perjanjian kontrak asuransi (dilansir dari buruhmigran.or.id). Ketiga hal tersebut tercakup dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri (PPTKILN). Perjanjian tersebut sejatinya harus mendapat tempat dalam proses penerapan yang senantiasa diharapkan para TKI-TKW.
Tempo 9 Juni 2015 mengabarkan sebanyak 27.669 warga NTT bekerja sebagai TKI di luar negeri. Mereka direkrut karena wilayahnya kebanyakan berada di pedesaan dan berpendidikan rendah. Hal ini pula yang memudahkan terjadinya perekrutan ilegal yang menyebabkan perdagangan orang. Kerawanan yang dihadapi oleh kalangan menengah ke bawah dekat sekali dengan perlakuan ilegal dari golongan yang mengambil celah kejahatan kemanusiaan.
Serupa tapi tak sama dengan Mary Jane, adalah Dwi Wulandari, TKW Indonesia yang harus mendekam di penjara Filipina setelah tertangkap membawa narkoba 6 kilogram. Kasusnya sama dengan Mary, ingin menjadi tenaga kerja di luar negeri. Kalau Mary akan ke Malaysia, Dwi akan ke Hongkong.
Tujuan yang sama-sama ingin merantau menjadi tenaga kerja dalam rumah tangga merupakan alasan mula-mula. Namun, tanpa pemahaman mendalam terjadi satu periswtiwa lain yang memaksa Mary dan Dwi untuk melakukan kejahatan dan terjerat kasus hukum. Penyebabnya, tidak lain karena tuntutan ekonomi—yang membikin segala bentuk jalan di muka segera dicoba. Para pengincar kejahatan kemanusiaan melirik mereka yang butuh uang untuk makan. Sebelumnya memang keduanya pernah kerja sebagai pembantu rumah tangga, tetapi sekali lagi, menjadi tenaga kerja ke luar negeri kebanyakan tak hanya sekali. Ketika sampai di kampung halaman, keadaan akan memaksa kembali untuk bekerja di luar.
Kedua buruh migran yang terlibat kasus hukum tersebut sejatinya merupakan korban perdagangan manusia. Kompas edisi Rabu 20 Mei 2015 menyebutkan, Indonesia dan Filipina sama-sama memiliki keterbatasan lapangan kerja. Hal tersebut memaksa warga negaranya mencari nafkah dengan menjadi buruh rumah tangga, meskipun pada akhirnya jatuh dalam kejahatan kemanusiaan.
Selain itu, penipuan atau tindak kriminal lainnya seringkali menjadikan para pejuang devisa negara ini sebagai korban. Salah satu tindakan yang rawan terjadi pada para buruh migran tersebut adalah kasus penipuan yang diakibatkan oleh kepolosannya. Apalagi ditambah dengan pemahaman persoalan komunikasi serta medan yang sedang diduduki, terkadang menyebabkan mereka kesulitan dalam meminta bantuan. Nah, dari sinilah mereka mulai jadi incaran para pelaku kejahatan yang sebenarnya.
Sebagian besar buruh migran menjual harta benda atau berhutang untuk berangkat pertama kali ke luar negeri. Begitulah cerita-cerita yang kebanyakan telah menjadi asumsi alam bawah sadar masyarakat. Sepulang bekerja dari luar negeri, TKI-TKW masih harus bersiap berangkat lagi untuk mewujudkan mimpi memiliki motor atau bahkan mobil. Ada pula yang menyimpan impian bisa menyekolahkan anak sampai pendidikan tinggi sehingga segala biaya mesti diupayakan jauh-jauh hari supaya memiliki tabungan cukup demi sang buah hati. Tidak jarang ada pula yang berkeinginan memiliki modal besar guna membuka usaha di kampung, membeli ruko atau membangun toko, tanah untuk membangun rumah, dan juga biaya makan sehari-hari keluarga. Dengan beragam alasan tersebut, terkadang mereka memaksa diri kembali ke luar negeri.
Jurnal Kajian Lemhannas RI menggarisbawahi perlu adanya grand desain pengelolaan tenaga kerja, terutama dari para pemangku kepentingan seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sehingga tidak terjadi tumpang tindih tanggung jawab. Lebih lanjut dijelaskan, masalah yang terjadi pada tenaga kerja ini akibat bentuk kelemahan dari para pemangku kepentingan atau pihak-pihak yang berkaitan dengan TKI, yaitu pemerintah sebagai regulator dan operator, Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) sebagai mitra pemerintah, pemakai jasa TKI di luar negeri, dan para TKI itu sendiri.
Sebenarnya pemerintah Indonesia di masa Jokowi sekarang ingin mengurangi pengiriman TKI. Dalam pidatonya yang disiarkan langsung oleh TVRI, Jokowi menyampaikan bahwa dirinya malu ketika berkunjung ke Malaysia. Kalau dalam bahasa tulis akan terbaca sebagai berikut.
“Ada 2,3 juta warga Indonesia yang bekerja di sana dan 1,2 juta ilegal, dan banyak yang bermasalah. Ada 1.800 pekerja yang bermasalah kemudian segera dijemput dengan Hercules, dan masih ada lagi yang bermasalah. Perlu dibenahi total penempatan tenaga kerja ini, kapan pengiriman pembantu TKI yang statusnya ke luar negeri kita stop. Karena sekarang ada 3 negara mensuplai tenaga kerja, 2 negara Asia salah satunya adalah Indonesia. Ini masalah martabat kita. Waktu saya melakukan kunjungan bilateral ke Malaysia, pihak negara sana menyampaikan, banyak masalah pembantu rumah tangga dari Indonesia di sini. Saya sakit mendengar kata pembantu. Menteri tenaga kerja, roadmap yang jelas dan stop pengiriman itu. Kita harus punya martabat.”
Jokowi tidak percaya dengan angka kemiskinan yang ada di Indonesia, salah satu data menyebutkan 3,7% miskin dan 38% rentan miskin, “Apa bedanya miskin dan rentan miskin?” tanya Jokowi dalam kesempatan yang sama. Kenyataannya, yang miskin lebih dari yang disebutkan data-data itu. Definisi miskin yang disampaikan oleh data-data cenderung tidak menjelaskan kriteria-kriteria secara khusus, tentu berdampak pada semakin kaburnya identifikasi dari kemiskinan itu sendiri.
Posisi tawar Indonesia membuat permasalahan TKI-TKW sulit sekali untuk diselesaikan secara total. Apa yang Jokowi kemukakan dirasakan juga oleh Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja masa SBY. Muhaimin mengatakan, “Kompleks dan rumitnya penuntasan berbagai permasalahan TKI pada akhirnya mempengaruhi stabilitas maupun harkat dan martabat bangsa.”
Namun kenyataan tersebut bukan berarti berbagai permasalahan menyangkut TKI-TKW benar-benar susah untuk diselesaikan. Untuk sementara bisa dimulai dengan memenuhi berbagai kebijakan yang dinilai merugikan TKI-TKW. Selain itu, jaminan-jaminan yang sudah dijanjikan hendaknya benar-benar diwujudkan. Untuk selanjutnya, perlu diberlakukan sanksi terhadap pemangku kepentingan yang hanya memanfaatkan para buruh migran untuk kepentingan pribadi, terutama pada PPTKIS dan juga dari pemerintah.
Banyaknya lembaga yang memperjuangkan hak-hak TKI-TKW belum juga mampu membendung penyimpangan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Buktinya telah mewujud dalam perkara-perkara yang hingga sampai tahun 2015 lalu tak terselesaikan. Masih banyak laporan kasus pilu terjadi pada TKW di negara orang. Berita-berita itu cukup memberi tamparan pada pemerintah dan pelaku kepentingan lainnya supaya mempertegas lagi kebijakannya.
Semoga penyebutan pahlawan devisa tidak dipahami sebagai orang yang benar-benar telah menjadi pahlawan. Apa gunanya bila TKI-TKW dijadikan sebagai pembantu rumah tangga di negara orang dengan menyumbangkan pajak tinggi pada negara, lalu negara memberi sebutan pada mereka pahlawan devisa? Sementara berbagai kasus telah menjatuhkan posisi bangsa Indonesia karena telah menyumbangkan manusianya dalam jumlah tinggi untuk jadi pembantu rumah tangga. Lantas untuk apa ada julukan pahlawan devisa?
Winna Wijayanti