Ekspresionline.com – Sastrawan Nh. Dini, Selasa kemarin (4/12/2018), dikabarkan meninggal setelah mengalami kecelakaan di jalan tol Semarang. Mobil yang ditumpangi Nh. Dini tertabrak truk yang mundur karena tidak kuat melaju di jalan menanjak. Sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi tidak tertolong. Jenazah Nh. Dini pun dibawa ke Wisma Lansia Harapan Asri—tempatnya menghabiskan usia senjanya beberapa tahun terakhir—untuk dikremasi pada Rabu di pemakaman Karangmundu, Semarang.
Lahir dari pasangan Salyowijoyo, seorang pegawai perusahaan kereta api dan Kusaminah, pada 1936 lalu, perempuan bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin ini menjadi bungsu dari lima bersaudara. Empat kakak lainnya yakni Heratih, Muhammad Nugroho, Siti Maryam dan Teguh Asmar. Dari keempat saudaranya, hanya Teguh Asmar lah yang sama-sama menapaki jalan seni hingga akhirnya menjadi saudara akrab bagi Dini.
Sewaktu kecil, Dini kerap dibacakan dongeng oleh ayah maupun ibunya–suatu hal yang besar pegaruhnya dalam pencapaian Dini kelak. Berkat dongeng-dongeng itu, penulis yang juga mempunyai darah Bugis ini lambat laun juga suka membaca. Kondisi keluarga juga mendukung.
Salyowijoyo memang sosok ayah yang tidak abai akan kebutuhan literasi buah hatinya. Ia kerap menyediakan bacaan bagi bungsunya itu. Dalam esainya di buku antologi bersama Afterwork Readings (PDF), Dini mengatakan bahwa dirinya rajin belajar menulis di bawah pengawasan ayah dan kakak perempuannya. Buku pertama yang ia gunakan sebagai buku ajar adalah Surat dari Raja, karya pujangga India, Rabindranath Tagore.
Hingga pada suatu ketika, Dini menyadari kemampuannya menulis tatkala guru SMP-nya mengungkapkan bahwa tulisannya paling baik ketimbang sejawatnya. “Karangan pertama kalinya di kelas satu es-em-pe mendapat perhatian guru,” tulis Dini.
Ketika SMA, prestasinya lebih mentereng lagi. Cerpen perdananya yang bertajuk “Pendurhakaan” diubah dan dimuat oleh H.B. Jassin. “Mulai dari waktu itu, saya ikut mengisi majalah-dinding sekolah. Karangan-karangan itu berupa syair dan cerita pendek. Saya juga mengirim tulisan Radio Republik Indonesia Semarang. Bentuknya prosa liris, atau berirama…,” kenangnya. Sejak itu kariernya terus menanjak.
Inspirasi Cerita
Yves Coffin, seorang diplomat Prancis yang pada 1960-an bertugas di Indonesia selama empat tahun, kemudian mempersunting Dini. Kota Kobe, Jepang–karena tugas sang suami pula–lantas menjadi persinggahan pasangan ini selepas menikah. Setahun berselang, lahirlah buah hati Dini-Coffin bernama Marie Claire Lintang.
Dari Jepang, Dini sekeluarga pindah ke Phnom Penh, Kamboja. Pada 1967, lahirlah buah hati mereka yang kedua, Pierre Louis Padang Coffin di L’Hayle Roses, Prancis. Sejak itu keluarga ini pun menetap di Perancis. Memasuki dasawarsa 1970-an, Dini masih ikut Coffin berpindah-pindah tugas. Di antaranya ke Manilla, Filipina kemudian Detroit, Amerika Serikat.
Namun, bahtera rumah tangga Dini mulai goyah yang akhirnya berujung perpisahan pada 1977. Barangkali hal ini dipicu atas komentar-komentar kasar dan meremehkan Coffin terhadap kegiatan menulisnya. Menurut laporan CNN, Coffin juga hanya memuji masakan Dini hanya saat bersama kolega. Persoalan finansial juga turut memperparah hubungan ini. Menurut Dini, ia tak pernah tahu berapa jumlah pasti penghasilan Coffin. Selain itu, suasana hati Coffin yang tak terkira dan juga dugaan Coffin melakukan perselingkuhan membuat Dini membulatkan tekad. Pada 1984, Dini resmi berpisah dengan Coffin dan mendapatkan kembali kewarganegaraan Indonesianya.
Selepas berpisah dari Coffin, hatinya tertambat pada seorang kapten kapal saat ia berlayar ke Saigon. Kisah itu ia abadikan dalam Parangakik ke Kampuchea (2003). Tampaknya, kisah hidup nan getir ini pula yang jadi tumpuan kisah Pada Sebuah Kapal (1972) yang berkisah tentang perselingkuhan.
Kisah hidupnya pada akhirnya menjadi sumber inspirasi Dini. Topik kisah macam ini, perselingkuhan, juga terdapat dalam La Barka (1975), Istri Konsul (2002) dan Namaku Hiroko (1977). Namun demikian, meski tema yang dipilih Dini adalah tentang perempuan yang berselingkuh–yang boleh jadi terinspirasi dari kisah hidupnya yang sendu—pilihan perempuan untuk berselingkuh itu tidak berasal dari ruang kosong. Selalu ada sebab.
Keberpihakannya kepada kaum perempuan juga yang menjadikannya digelari sastrawati feminis. Meski baginya, cukup kata pengarang saja yang disematkan di dirinya.
Ketika usia senja menghampiri, Dini tidak ingin merepotkan keluarga dan memutuskan untuk tinggal di sebuah panti jompo. Ia pun menjual seluruh asetnya. Belakangan, sempat beredar kabar bahwa dirinya telah ditelantarkan oleh sanak-saudaranya yang tega meninggalkannya sendirian di Wisma Lansia Harapan Asri, Semarang. Namun kemudian kabar itu ia tepis. Ia berkata masih sempat mendapat jatah bulanan dari anaknya Piere—sang sutradara Minions—dan royalti buku-bukunya.
Segala kesimpang siuran kabar mengenai sastrawan besar inipun berakhir sore kemarin lusa. Ketika kabar meninggalnya Nh. Dini tersiarkan, di Twitter ramai-ramai mencuit ihwal Nh. Dini. Okky Madasari, misalnya, ia mencuit.
Nh. Dini. Ia yang sedari awal menggugat bangunan ideal perempuan, perkawinan, cinta dan keluarga. Selamat jalan, Bu.
— Okky Madasari (@okkymadasari) December 4, 2018
Selain itu, ada pula Intan Paramadhita, yang mencuit.
Saya selalu mengingat Nh. Dini sebagai penulis yang bertanya dan menggugat. Karya-karya terbaiknya mengajukan pertanyaan kritis tentang bangsa, kewarganegaraan, perjalanan, identitas, sekat-sekat pembatas, dan ruang-ruang di antara. Selamat jalan, Nh. Dini.
— Intan Paramaditha (@sihirperempuan) December 4, 2018
Muhidin M. Dahlan, pegiat literasi Yogyakarta, pada hari Rabu, juga mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya Nh. Dini. Di akun Instagram-nya, Muhidin berucap.
“Terima kasih, Bu Dini, menciptakan judul buku ini di dunia yang doyong ke kanan dan ke kiri. Ingat Pada Sebuah Kapal ingat Bu Dini. Bukan hanya kagum, tapi dua kali saya “pinjam” judul buku Bu Dini itu. Satu, saat nulis esai literasi setengah halaman di Harian Kompas. Satu lagi, satu buku esai literasi saya terbit Pada Sebuah Kapal Buku.”
Kini abu jenazahnya telah tersimpan di Semarang, menunggu anak lelakinya yang datang ke Indonesia Februari nanti. Kapal hidup Nh. Dini telah menurunkan sauh, berlabuh dalam hidup. Lambaikan tangan untuk Nh. Dini, dan mari ucapakan selamat jalan.
A. S. Rimbawana
Editor: Ikhsan Abdul Hakim