Ekspresionline.com–Ada yang disebut “masyarakat seniman”, dan bagaimana “masyarakat seniman” tersebut harus lebih cair dengan kelompok sosial lainnya,” ungkap Rain Rosidi. Apa yang dikatakan oleh salah seorang kurator tersebut seketika berhasil memantik banyak pertanyaan dalam pikiran saya. Apa yang dikatakan Rain Rosidi merupakan asumsi awal dari lahirnya tema Habitat: Loka Carita dalam perhelatan Pameran Tahunan Nandur Srawung (NS) yang ke-X. Pada pameran yang ke-10, Nandur Srawung mengusung tagline “Satu Dekade Nandur Srawung: Inklusi, Rekreasi, Edukasi, Inovasi, dan Kolaborasi”.
Konsep utama yang digagas adalah merujuk pada habitat yang merupakan lingkungan tempat tinggal atau populasi organisme tertentu. Loka merujuk pada tempat atau lokasi tertentu dalam kebudayaan atau masyarakat tertentu. Sementara Carita adalah salah satu bentuk sastra lisan tradisional Indonesia yang merujuk pada istilah ‘carita’ berasal dari bahasa Jawa.
Merujuk pada ketiga konsep yang kompleks tersebut, maka kurator tidak hanya membedah dan mengklasifikasikan tema dalam aspek disiplin ilmu seni saja, tetapi lebih luas dari itu. Kuratorial mencoba membedah konsep pameran secara metode kesenian, dan bagaimana seniman melihat realitas.
Dengan demikian, seniman dan karya seni yang dikuratori dapat merepresentasikan realitas yang sedang terjadi di kehidupan. Adanya realitas tersebut akan mendekatkan masyarakat seni dengan kelompok sosial lainnya.
“Seni bukanlah sesuatu komunitas yang otonom,” dan “Seni yang lebih terbuka,” adalah kutipan-kutipan yang beberapa kali diulang oleh keempat kurator dalam acara konferensi Pers NS X (14/08/2023). Keempat kurator tersebut di antaranya ialah Arista Pinandita, Bayu Widodo, Irene Agribina, dan Rain Rosidi. Barangkali ungkapan tersebut merupakan promosi “keterbaruan” yang ditawarkan oleh NS X. Boleh jadi juga merupakan sebuah rekognisi dari wacana dan praktik masyarakat seni yang selama ini keterbalikan dari pernyataan-pernyataan di atas.
Zulfian Abdullah selaku Perancang Pameran (Exhibition Designer), menerjemahkan kuratorial tersebut dengan membagi kluster ruang pamer menjadi 6 bagian. Keenam bagian tersebut masing-masing menyajikan hubungan seni dengan realitas kehidupan dalam bentuk tema besar kehidupan, yaitu: Spiritualitas; Lingkungan (Ekologi); Identitas dan Inklusivitas; Aktivisme; Teknologi; dan Kesadaran Sejarah (Literasi).
***
Langit biru dengan awan putih bersih, serta bentangan laut yang tertahan oleh bukit yang menjulang. Tidak jauh dari pemandangan itu, terlihat daratan tempat dua figur tengah berdiri. Masing-masing figur memegang alat bertani seperti cangkul dan traktor. Ada yang menarik dengan dua figur itu. Mereka menggunakan caping dengan kain yang menutupi hampir seluruh wajah. Menyisakan bagian mata yang menyipit dan tampak terlihat amarah dari mata itu. Namun, amarah pada mata itu diiringi oleh pemandangan laut, awan dan bukit yang menyejukkan mata.
Fragmen di atas merupakan visual dari lukisan mixed media di atas kanvas berukuran 60 x 95 cm yang berjudul ‘Bertahan dan Merawat’. Karya yang menceritakan bagaimana pola bertahan hidup dan merawat alam yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Tohjaya Tono, selaku seniman lukisan tersebut, mencoba memvisualisasikan pengalaman ekspedisi yang dilakukannya ke beberapa daerah Pesisir Jawa, Madura, Lombok, hingga Yogyakarta.
Lukisan oleh Tohjaya Tono berjudul “Bertahan dan Merawat”
Foto oleh Hayatun Nufus/EKSPRESI
Tohjaya Tono merupakan salah satu seniman partisipan dalam perhelatan pameran tahunan Nandur Srawung yang bertajuk “Habitat: Loka Carita”. Pameran ini telah berlangsung selama 15-25 Agustus 2023. Karya yang dipajang pada kluster aktivisme ruang pamer berusaha mengangkat tentang daerah pesisir. Sebuah tempat bertemunya daratan dengan lautan, dan bagaimana masyarakat bisa hidup dengan dua unsur tersebut. Kedua unsur tersebut tergambar dalam visual yang harmonis saat melihatnya.
Selain visualisasi yang harmonis, terdapat duka yang turut hadir menghantui masyarakat pesisir. Tohjaya Tono menggambarkan duka tersebut adalah visualisasi dari adanya transisi lahan yang merupakan sumber mata pencaharian masyarakat menjadi wahana pariwisata.
“Perubahan bentang alam dan kehidupan masyarakat mulai terlihat sebagai dampak dari beralihnya sumber kehidupan mereka ke lahan industri pariwisata.”
Takarir tersebut mencoba menyuarakan dan mempertahankan sumber kehidupan mereka dari rakusnya elit tambang juga PLTU yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat pesisir.
***
Jika Tohjaya Tono menampilkan realitas dan permasalahan yang acapkali dihadapi masyarakat daerah pesisir, lain halnya dengan Agil Alfian. Karyanya yang berjudul ‘Polusi Populasi’ dengan media acrylic on canvas berukuran 150 x 120 cm menampilkan visual atap-atap rumah dengan dominasi warna merah marun bak besi berkarat saling berdempetan satu sama lain. Siluet percampuran warna abu-abu dan hitam, serta pantulan dari atap-atap yang berkarat menutupi keseluruhan lukisan. “Kelabu” merupakan kata yang terlintas saat lukisan ini tertangkap indra.
Lukisan oleh Alfian Agil berjudul “Polusi Populasi”
Foto oleh Hayatun Nufus/EKSPRESI
Di tengah suasana kelabu itu, ornamen titik-titik warna-warni menyerupai jemuran pakaian yang tersebar hampir di sela-sela rumah yang berdempet. Lalu titik-titik itu diarahkan pada satu-satunya objek pohon di tengah impitan atap rumah yang berdesakan. Bagai tinggal menunggu waktu, pohon tersebut siap untuk ditumbangkan.
Tepat di depan instalasi lukisan, disediakan dua kursi yang diperuntukan bagi “elit dan penguasa” sebagai tempat duduk untuk menyaksikan atap-atap yang berkarat itu. Perlahan, mereka melahap satu-satunya sumber oksigen yang tersisa.
“Mereka yang memiliki ‘kuasa’ yang menikmati bagaimana kesengsaraan menyebar akibat laku mereka sendiri”
Kutipan di atas merupakan baris takarir dari lukisan Agil Alfian.
***
Bergeser sedikit ke sisi lain Ruang Pamer Ekologi, terdapat lukisan yang dipajang dengan jumlah kanvas yang berlapis-lapis hingga membentuk dimensi yang menyerupai sebuah buku yang terbuka. Dua sisi buku itu menampakkan lukisan dengan pemandangan yang berbeda, tetapi dengan unsur utama yang sama, yaitu pohon. Pada sisi kanan buku, tergambar unsur pohon yang tengah sekarat yang menyisakan batang dan ranting-ranting yang kehitaman.
Unsur warna hitam pada bagian yang menjadi bayangan di area unsur pohon menggambarkan kekelaman. Seakan mengingatkan kita pada gelap dan hampanya sebuah kematian. Tepat di bawah jejeran pohon yang sekarat itu, terdapat tanda-tanda kehidupan manusia. Rumah, cerobong asap kecil yang menjulai di atasnya, serta sampan rusak yang tertambat pada sisa-sisa air di tepian danau yang kering.
Beralih pada sisi kiri buku itu, menggambarkan suasana pepohonan yang asri dengan tumbuhan menjalar yang menempel di akar dan batang pohon. Tepat di bawah kaki pohon itu, mengalir parit kecil dengan air yang cukup deras. Percampuran warna putih dan biru pada air itu, menjadikannya terlihat jernih. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia di tengah keasrian pepohonan itu.
Lukisan oleh M. Aidi Yupri berjudul “Sebuah Catatan Seorang Murid”
Foto oleh Hayatun Nufus/EKSPRESI
Perbedaan penggambaran unsur pohon dalam kedua sisi buku itu. Pada sisi kiri pepohonan digambarkan mati. Penggambaran kematian itu diiringi dengan penggambaran unsur kehidupan manusia yang terdapat di sekitarnya. Di sisi kiri pepohonan digambarkan asri, tetapi tidak dijumpai unsur kehidupan manusia. Barangkali dimaksudkan agar siapa saja yang melihatnya sejenak merenung.
Apakah tanpa adanya manusia pepohonan itu akan hidup asri? Atau renungan pada sesuatu yang lebih luas, apakah jika tidak ada umat manusia, kerusakan alam, iklim tidak akan terjadi? Lalu apakah semua kerusakan yang terjadi di bumi belakangan ini adalah ulah manusia?
Deretan pertanyaan itu, sukses memenuhi pikiran saya saat dengan seksama memandang lukisan berjudul “Sebuah Catatan Seorang Murid” dari seniman M. Aidi Yupri. Unsur pohon tidak hanya dilihat di dalam lukisan. Tepat di depan dimensi buku itu, terdapat instalasi berupa satu pot bonsai pohon tanpa daun, tetapi masih terlihat hidup.
Barangkali instalasi bonsai tersebut merupakan perwujudan nyata dari dua lukisan pada buku itu. Sebuah simbolik dari keadaan iklim dan lingkungan kita saat ini, yang kita anggap hidup, tetapi sejatinya telah mati karena ulah manusia itu sendiri.
Hayatun Nufus
Editor: Ayu Cellia Firnanda