Penulis: Henry Manampiring
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: 9 Agustus 2019
Tebal: 320 Halaman
ISBN: 978-602-412-518-9
“Kamu memiliki kendali atas pikiranmu, bukan kejadian-kejadian di luar sana. Sadari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan.”
Sebuah kutipan menarik dari Marcus Aurelius, seorang filsuf kenamaan Yunani dalam kitab saktinya berjudul Meditations. Dari sini kita mengetahui bahwa telah lama manusia bergumul dengan berbagai pikiran-pikiran diluar kendalinya. Di masa modern ini, semakin banyak manusia yang berpikir diluar kendalinya. Masalah yang sama juga dirasakan oleh Henry, si penulis buku ini hingga ia divonis penyakit mental. Penyakit ini membuatnya bergantung pada obat-obat tertentu.
Penyakit mental adalah topik yang jarang dibahas oleh mayoritas rakyat Indonesia. Banyak yang bilang penyakit mental dapat disembuhkan dengan praktik keagamaan masing-masing. Praktik itu makin sering dilakukan seiring paradigma religius yang akhir-akhir ini menguat di Indonesia. Di sisi lain penyakit mental terus meningkat di kalangan masyarakat modern.
Tidak perlu bukti untuk melihat masalah ini nyata atau tidak. Lihat sekitarmu!. Bahkan sadar atau tidak kita mungkin sedang mengalami penyakit mental. Apalagi orang-orang yang memang diketahui memiliki penyakit mental, stigma negatif masyarakat menjadi tekanan lain selain dari penyakit mental itu sendiri.
Akan tetapi, bukan dampak penyakit mental yang akan dibahas dengan buku ini. Namun lebih mengarah pada solusi alternatif dalam mengatasi penyakit mental. Solusi tersebut mengarah pada filosofi purba berusia 2.300 tahun bernama stoisisme.
Dalam pemikiran awam, filsafat selalu identik dengan pemikiran berat. Namun buku ini dapat memberikan sebuah bukti bahwa pemikiran filsafat tidak melulu berat tapi ada yang ringan sehingga dapat menjadi pengobatan alternatif.
Terapi tanpa Obat
Bagi orang-orang yang sering merasa khawatir akan sesuatu, mudah baper, sering tersinggung, mudah marah, cemas, selalu berpikir yang tidak-tidak. Mungkin buku ini adalah bacaan yang tepat.
Filosofi Teras begitulah namanya. Berawal ketika Henry Manampiring menemukan sebuah buku di sela-sela pengobatan mentalnya. Buku itu bernama How To Be A Stoic karya Massimo Pigliucci. Henry merasa berubah setelah membaca buku tersebut dan mengklaim telah menemukan “terapi tanpa obat” yang bisa dipraktekkan seumur hidup. Terapi ini disebutnya sebagai Filosofi Teras. Menurutnya filosofi ini dapat menjadi alternatif agar hidup lebih baik.
Filosofi ini diambil dari sebuah teori stoisisme yang pada intinya terdapat dua hal untuk diyakini yaitu yang bisa dikontrol dari dalam diri kita dan yang tidak bisa dikontrol diluar diri kita. Sekilas dari keyakinan tersebut cenderung bersifat dogmatis (sesuatu yang harus diyakini). Namun filosofi stoa sendiri bukanlah agama kepercayaan sehingga dapat diperdebatkan.
Henry bukan sekedar asal menafsirkan filosofi ini dengan mentah-mentah. Ia juga melakukan riset kecil-kecilan dengan mengambil survei khawatir nasional dan wawancara. Dengan situasi yang serba tidak pasti, filosofi teras sangat relevan dengan kehidupan masyarakat sekarang ini.
Dilihat dari Sejarahnya, filosofi ini lahir dengan nama Stoisisme diambil dari kata “stoa” yang berarti teras yang berpilar dihiasi berbagai lukisan-lukisan kuno di Athena, Yunani. Ajaran ini muncul dipelopori seorang filsuf bernama Zeno. Ajaran ini kemudian disebut sebagai filosofi stoa jika dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai filosofi teras.
Kekhawatiran yang Palsu
Memiliki sikap khawatir, cemas, dan kebanyakan mikir adalah hal yang lumrah. Sering pula ditemui disekitar kita. Hal itu menjadi bagian naluri alami seorang manusia. Tapi lain hal jika sesuatu yang dikhawatirkan terus menerus ada. Apa hal bisa menjadi seperti itu?
Sebenarnya kekhawatiran dan kecemasan yang terjadi, lebih banyak tidak terjadi. Sudah seharusnya kita tak perlu memikirkan hal-hal yang bersifat sepele. Karena memang buang-buang energi saja.
“Sering kali, banyak masalah sepele tidak perlu dicari solusinya, cukup dihindari, seperti sekadar membuang ketimun pahit atau mengambil jalan memutar. Gitu aja kok repot?”
Pemikiran kaum stoa ini banyak mengingatkan Henry akan berbagai hal yang terjadi belakangan ini. Pada akhirnya toh semua akan baik-baik saja. Selama apa yang terjadi dalam kendali diri kita. Dengan mudahnya kita dapat menentukan apa-apa yang harus dilakukan dan apa-apa yang tidak harus dilakukan serta konsekuensi yang akan terjadi.
Stoisisme ini juga memiliki aturan yang simple. Semua yang diluar kendali diri kita. Dengan simpelnya tak bisa kita kendalikan. Jadi, percuma kita dapat memikirkan sesuatu yang “ranahnya” berada diluar kendali kita agar sesuai dengan ekspektasi selama ini. Semua itu akan sia-sia.
Namun, Henry juga menjelaskan bahwa stoisisme tidaklah sama dengan kepasrahan total. Sebagai bentuk argumentasinya ia mengajukan dikotomi kendali. Dengan mengerti dikotomi kendali kita memahami bagaimana alam ini berjalan seimbang. Mana yang dapat dikendalikan dan mana yang tidak dapat dikendalikan. Belajar untuk tidak berekspektasi lebih dan mensyukuri apapun yang terjadi dalam hal-hal yang berada diluar kendali kita.
Dalam stoisisme, kebahagiaan sejati hanya bisa didapatkan dari “things we can control”, hal-hal yang di bawah kendali kita. Dapat disimpulkan bahwa kebahagian sejati hanya datang dari dalam diri kita.
Dengan demikian, kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan dan kedamaian pada hal-hal yang tidak bisa kendalikan. Bagi kaum stoa hal tersebut dianggap tidak rasional dan berpotensi menyalahkan alam/tuhan. (Hlm.49)
Oleh sebab itu, Henry berupaya menawarkan solusi alternatif dalam mengobati kekhawatiran berlebih akan suatu hal. Dalam era ketidakpastian ini sudah pasti banyak orang berpikir yang tidak-tidak atau biasa disebut Overthinking. Buku ini layak membantu kita mengatasi emosi negatif dan menghasilkan mental tangguh dalam menghadapi berbagai rintangan kehidupan
Naufal Shidqi Laras
Editor: Ervina Laraswati