Ekspresionline.com–Aksi Gejayan Kembali Memanggil, Senin (12/02/2024) kemarin, berlangsung ramai oleh orasi dari berbagai pihak yang menyuarakan kecaman terhadap pemerintahan Joko Widodo. Tak hanya dari mahasiswa dan aliansi masyarakat, panggung orasi juga diisi oleh guru besar dan akademisi. Salah satunya adalah Prof. Masduki, guru besar Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia, sekaligus inisiator Forum Cik Di Tiro.
Dalam orasinya, Prof. Masduki mengkritik demokrasi Indonesia yang kian terkikis dan membatasi kaum akademisi dalam berpendapat. Menurutnya, salah satu ciri dari demokrasi yang sehat adalah kebebasan dalam berbicara dan berekspresi, termasuk bagi para akademisi.
“[Ciri demokrasi adalah] guru besar bebas menyampaikan aspirasi dan seruan moralnya, tanpa ada problem tekanan psikologis maupun administrasi,” ujarnya.
Prof. Masduki melihat bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami krisis intelektual. Akademisi, termasuk tenaga pengajar dan dosen, banyak jumlahnya. Akan tetapi, hanya sedikit yang menyuarakan kritik dan membersamai gerakan mahasiswa.
“Kita krisis intelektual. Banyak tenaga pengajar dan dosen [dari segi jumlah], tapi intelektual sangat sedikit,” kata Prof. Masduki. “[Hanya sedikit] yang menggunakan mandat akademiknya untuk turun ke jalan bersama mahasiswa, menyampaikan kebenaran, suara, dan kritik atas menguatnya kembali otoriterisme dan politik dinasti oleh rezim Joko Widodo.”
Untuk menggambarkan situasi demokrasi saat ini, Prof. Masduki menggunakan analogi musim gugur dan musim dingin. Ia memandang bahwa demokrasi Indonesia saat ini tengah berada dalam musim gugur, yang ditandai dengan adanya ketamakan untuk berkuasa.
“Jika kita biarkan musim gugur ini, maka musim berikutnya akan datang [musim dingin]. Musim di mana rezim melihat tidak adanya keberanian [dari] kaum akademisi. Mahasiswa dan guru besar tidak ada inisiatif untuk berkolaborasi dengan seluruh elemen pro demokrasi,” ujar Prof. Masduki.
Apabila musim dingin sampai tiba, maka masyarakat hanya akan bisa berdiam diri dalam kegelapan.
“Semua orang akan dipaksa untuk berdiam diri di dalam rumah. Cahaya dari langit, matahari, tidak bersinar seperti sekarang. Hanya satu dua jam cahaya matahari kita nikmati, selebihnya adalah kegelapan,” lanjutnya.
Di akhir orasinya, Prof. Masduki mengajak massa aksi untuk menggunakan hak suaranya dalam pemilu yang akan datang. Ia meminta massa aksi untuk memilih pemimpin secara bijak.
“Kita gunakan hak kita untuk menghentikan rezim politik dinasti. Untuk menyampaikan suara kita sebagai bentuk penghukuman, bahwa tidak boleh negara ini dipimpin oleh orang-orang yang melanggengkan politik dinasti dan tercatat sebagai pelanggar hak asasi manusia.”
Dalam wawancara terpisah usai orasi, Prof. Masduki memberikan pendapatnya mengenai intervensi dan represi yang dialami oleh para akademisi, seperti dosen dan guru besar. Menurutnya, ada banyak alasan mengapa akademisi kampus, terutama yang juga berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, rentan mengalami represi dalam berpendapat.
“Dosen dari pegawai negeri sipil harus mengurus kepangkatan dan jabatan. Dosen yang belum [jadi] guru besar, apalagi yang kepangkatannya masih rendah, merasa rentan posisinya ketika pimpinannya tidak punya moralitas yang baik,” ujarnya. “Mereka akan mengalami tekanan karena masa depannya jadi berisiko.”
Tak hanya itu, ia juga menyinggung banyaknya tuntutan yang ditanggung dosen, seperti kegiatan mengajar dan kewajiban administrasi. Menurutnya, hal semacam ini menyita banyak waktu dan menyebabkan minimnya partisipasi akademisi dalam mengkritisi pemerintah.
“Ada namanya pola represi yang sistematik, di mana dosen-dosen disibukkan dengan kegiatan di dalam [kampus], lalu mereka tidak sempat lagi bergabung dalam masyarakat,” ucapnya.
Menanggapi respons perguruan tinggi yang menganggap isu kenegaraan bukan kapasitasnya, Prof. Masduki menyebut bahwa tindakan itu tidak dapat diberlakukan di Indonesia. Menurutnya, pemisahan pendidikan dan isu kenegaraan bisa dilakukan di negara dengan demokrasi yang bagus dan dewasa. Sementara itu, perguruan tinggi di Indonesia merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.
“Kalau tidak ada jejaring dengan masyarakat, kampus itu tidak ada relevansinya,” ujarnya pada Ekspresi.
Alhasil, Prof. Masduki berpesan agar aksi seperti Gejayan Kembali Memanggil jangan dipandang sebagai aksi radikal semata. Baginya, aksi turun ke jalan juga merupakan suatu bentuk pengabdian masyarakat.
“Makanya [di perguruan tinggi] ada pengabdian masyarakat. Sebenarnya [aksi turun ke jalan] bagian dari ini,” katanya. “Itu sebenarnya adalah framework, tugas dosen, [untuk] bisa masuk ke dalam masyarakat.”
Oleh karenanya, Prof. Masduki memandang bahwa pendapat tentang perguruan tinggi tidak berkapasitas untuk mengurusi isu negara tidaklah sesuai.
“Itu ahistoris pendapatnya,” pungkasnya.
Nugrahani Annisa
Reporter: Nugrahani Annisa, Ayu Cellia Firnanda
Editor: Annisa Fitriana