Ekspresionline.com–Panggung yang tadinya gelap seketika terang oleh sorot lampu. Bias rona merah, kuning, dan jingga jadi latarnya. Ramai orang-orang menaiki panggung. Ada yang mabuk, ada yang merias muka, ada yang menjual makanan ringan, ada yang memungut sampah, ada pula yang tidak berbuat apa-apa karena tak punya tangan.
“Ayo upacara dulu. Walaupun saya ini orang pinggiran dan pemabuk, tapi saya nasionalis,” seru seorang pada yang lainnya.
Orang-orang di atas panggung lantas berbaris, mereka menarik napas dan bernyanyi lagu “Indonesia Pusaka”. Belum sampai rampung lagu dinyanyikan, orang-orang itu satu persatu mangkir untuk kembali mabuk, merias muka, menjual makanan ringan, memungut sampah, dan tidak melakukan apa-apa. Upacara selesai, meski lagu belum usai.
Begitulah Orkes Madun dimulai oleh Teater Triyasa. Naskah drama yang ditulis Arifin C. Noer pada tahun 1974 ini dipentaskan kembali pada Rabu malam (24/4/2019). Bertempat di Gedung Pertunjukan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNY, pentalogi naskah drama tersebut dimainkan.
Meskipun Arifin C. Noer menulisnya menjadi sebuah pentalogi, Teater Triyasa mengemasnya dalam tiga pertunjukan saja. Naskah yang tadinya berjumlah lima, diringkas menjadi tiga. Noverico Cahya, satu dari tiga sutradara pertunjukan Orkes Madun, mengatakan pemadatan naskah tidak dilakukan secara sembarangan. Kendati hanya dipentaskan menjadi tiga pertunjukan, esensi dari naskah Orkes Madun tidak terdistorsi sama sekali.
“Kami harus mengetahui keadaan sosiologis pengarang (Arifin C. Noer). Contohnya dia sekolah di mana, bagaimana riwayat hidupnya, dan sewaktu kuliah menulis apa saja,” ujarnya pada Jumat malam (26/4), ketika menjelaskan proses pemadatan tersebut.
Agung Dwi Prakoso, Pimpinan Produksi Teater Triyasa, mengemukakan apa yang ia dan kawan-kawannya lakukan adalah sesuatu yang baru. “Belum ada yang mementaskannya secara berturut-turut, biasanya yang dipentaskan satu naskah saja. Kami mencoba menggarap naskah tersebut dengan meringkas dan memadatkan cerita,” katanya pada Jumat (26/4).
Pertunjukan Satu
Rabu, 24 April menjadi malam pertunjukan pertama, naskah yang berjudul Madekur dan Tarkeni dimainkan. Madekur dan Tarkeni adalah dua nama tokoh dalam drama ini. Kisah di dalamnya berkisar asmara di antara keduanya, Madekur si pencopet jatuh cinta dengan Tarkeni si pelacur.
Pencopet dan pelacur itu lantas menikah. Sejak itu, konflik pun terjalin, Madekur mulai cemburu dengan Tarkeni. Sebagai pelacur, Tarkeni tidur dengan siapa saja yang bisa membayarnya, termasuk teman-teman Madekur. Sejak itu Madekur main kasar dan suka marah-marah, hingga pertengkaran rumah tangga mereka sampai ke orang-orang di sekitarnya.
Madekur dan Tarkeni hidup di sebuah kelompok orang-orang miskin dan teralienasi. Kelompok itu menamai diri mereka Umang-Umang. Pertengkaran suami istri itu lalu menjadi pertengkaran para Umang-Umang. Pelanggan Tarkeni, yang juga masuk dalam kelompok Umang-Umang, tak terima dengan perlakuan Madekur. Perselisihan memanas.
“Jika kau boleh mencopet siapa saja, kenapa aku tidak bisa bersetubuh dengan siapa saja?” teriak Tarkeni pada suaminya.
Begitulah konflik yang disuguhkan malam itu. Persoalan orang-orang miskin terpinggirkan dikemas dalam balutan lampu sorot dan musik yang aduhai. Ditambah lagi interaksi yang dilakukan oleh para tokoh pada penonton.
Menariknya, terdapat satu tokoh yang berperan sebagai sutradara cerita. Ia adalah perancang ke mana jalan cerita berujung. Dalam pertunjukan ini, sutradara diemban oleh Semar, tokoh perlambang kebijaksanaan. Sepanjang pertunjukan, Semar menjadi otak di balik segala intrik dan ketegangan.
Konflik kian memanas ketika Semar membawa cerita ke sebuah cinta segitiga. Waska, pemimpin Umang-Umang, sebenarnya jatuh cinta dengan Tarkeni yang bersuami Madekur. Lelaki tua itu hanya mampu memendam rasa tanpa bisa menungkapkannya. Bahkan sampai Tarkeni dan Madekur mati karena penyakit.
Waska yang murung ditinggal Tarkeni, tanpa diduga-duga, lalu mengambil alih peran Semar sebagai sutradara cerita. Alur cerita lantas berbelok ke kaum miskin terpinggirkan. Pemimpin Umang-Umang itu menghendaki cerita berjalan menuju kemenangan kaum terpinggirkan. Waska ingin merampok kemakmuran yang selama ini tak dirasai oleh kaumnya.
Pertunjukan Dua
Kamis, 25 April layar panggung Gedung Pertunjukan FBS dibuka dengan suara azan. Dengannya, pertunjukkan Orkes Madun kedua dimulai, kali ini naskah Umang-Umang Sandek dimainkan. Layar terbuka memperlihatkan Umang-Umang yang terkejut mendapati Waska sekarat.
Rencana Waska merampok kemakmuran untuk orang-orang terpinggirkan terganjal batu bernama kematian. Pemimpin yang sudah tua itu berada di ujung tanduk antara hidup dan mati. Sampai di sini, cerita mulai berjalan fantastis. Dua “tangan kanan” Waska mencari rahasia keabadian.
Rahasia keabadian akhirnya didapat. Kemarahan Waska karena terlahir miskin dan karenanya dihinakan dunia kian menyala. Kepada sahabat lamanya, Waska berikrar: “Aku akan terus hidup dan akan merampok semesta!” Waska dan dua anak buah kepercayaannya itu menjadi abadi.
Keabadian menjadi pusat cerita malam itu. Waska yang telah mendapatkan keabadian menyuruh kaum terpinggirkan seluruh dunia untuk merampok segala bentuk kemakmuran. Perampokan merajalela, namun tanpa dirasai oleh Waska dan dua anak buahnya yang abadi, para Umang-Umang telah tua dan kemudian mati.
Kemarahan terlahir miskin dan dihinakan belum hilang, justru kesepian yang dirasai Waska dan kedua bawahannya. Keabadian ternyata menjadi bumerang bagi mereka, perenungan membuat mereka yakin kematian adalah jalan menuju kebahagiaan.
Berbekal kekuasaan setelah merampok seisi bumi, Waska memerintahkan manusia membuat pesawat luar angkasa. Waska dan kedua bawahannya menuju bulan untuk satu tujuan: kematian.
Layar lalu tertutup. Pertunjukan kedua usai dengan meninggalkan pertanyaan: akankah Waska dapat merasai kebahagiaan hakiki?
Pertunjukan Tiga
Parade Pertunjukan Orkes Madun diakhiri dengan teater berjudul Magma Ozone pada Jumat (26/4). Pertunjukan diawali suara azan yang bersahutan dengan suara gamelan dalam keadaan gelap gulita. Seketika suara hilang digantikan cahaya merah, hijau, dan jingga yang memperjelas latar sebuah gunung.
Hanya ada tiga tokoh yang masuk yaitu sepasang kekasih; memperlihatkan bahwa bumi sangat subur dan seekor kera. Seketika keadaan panggung menjadi gelap dan berganti dengan sebuah alat menuju bulan yang di dalamnya terdapat Waska dan kedua anak buahnya.
Borok dan Ranggong–kedua anak buah Waska itu–mencari cara untuk mati setelah meraih keabadian. Di pikiran mereka, satu-satunya cara untuk mati adalah pergi ke bulan. Namun yang terjadi mereka tetap hidup walaupun sudah sampai bulan.
Hingga Waska, Borok, dan Ranggong mendapatkan sebuah ilusi bahwa semua orang yang sudah mati berbahagia dengan cara menari. Bahkan, Tarkeni juga menjadi salah satu penari yang membuat Waska semakin menginginkan kematian.
“Selamat tinggal hidup,” teriak Waska.
“Selamat tinggal kaki,” teriak Borok.
“Selamat tinggal panca indera,” teriak Ranggong.
“Selamat datang kematian,” teriak mereka bebarengan.
Percakapan tersebut dilanjutkan dengan adegan mereka bertiga yang melepas helm di bulan. Namun, mereka tetap hidup dan tidak menemui kematian. Hal tersebut memicu perdebatan antara tokoh. Keputusan dibuat, mereka harus kembali ke bumi.
Ketika sampai di bumi, mereka tak kunjung menemui kematian. Waska semakin frustasi karena menurutnya kematian adalah cara untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan–karena keabadian yang dia peroleh selama ini tidak bersumber dari sana.
Layar kemudian tertutup, meninggalkan Waska yang tetap abadi, dan menginginkan kebahagian dari kematian. Riuh tepuk tangan penonton setelahnya menandakan parade pementasan berakhir. Orkes Madun rampung dipentaskan Teater Triyasa.
Tentang Mereka yang Termarjinalkan
Sejak awal, polemik bermuara pada orang-orang termarjinalkan. Arifin C. Noer selaku penulis naskah membuat penonton, selama beberapa jam, menengok kehidupan, dan masalah yang melingkupi kehidupan orang-orang pinggiran.
Orang pinggiran pula yang menjadi salah satu pertimbangan Teater Triyasa untuk memilih Orkes Madun. “Naskah ini membawa pesan yang sarat dengan nilai sosial. Dari tahun 1976 [tahun ditulisnya naskah] sampai sekarang masih relevan untuk dibawakan,” kata Noverico.
Dari kisah cinta pencopet dan pelacur hingga seorang melarat yang ingin merebut kemakmuran menjadi pembahasan menarik sepanjang tiga hari pementasan. Ketegangan, romantisme, suka cita, dan duka nestapa dipadupadankan menjadi satu cerita yang utuh.
Menurut Noverico, cerita dalam Orkes Madun tidak menggiring penonton untuk merasa iba dengan kemiskinan para tokoh. Penonton justru digiring untuk menyelami kehidupan dan pemikiran orang-orang ini.
“Arifin tidak memandang kemelaratan dengan mengenaskan. Dia tidak menjual kemiskinan sebagai hiburan, tidak membuat tokoh yang sudah melarat semakin melarat,” tutupnya.
Rizal Amril dan Fatonah Istikomah
Editor: Abdul Hadi
Koreksi: Tulisan ini sebelumnya keliru menyebut lagu “Indonesia Raya” dinyanyikan di fragmen upacara. Dalam fragmen tersebut, lagu yang dinyanyikan adalah “Indonesia Pusaka”. Selain itu, terdapat kesalahan penulisan tokoh Ranggong yang ditulis Langon.