Ekspresionline.com–Surat kabar Indonesia makin hari makin kentara mencampuradukkan antara berita dan iklan. Polah Harian Kompas menjadi salah satu yang paling disorot beberapa tahun ke belakang.
Tak kurang dari sebulan sebelum hari pencoblosan di Pilpres 2024, Harian Kompas memuat warta yang memoles wajah Prabowo Subianto saat menjabat menteri pertahanan. Tak tanggung-tanggung, berita itu menjadi tajuk utama, mengisi satu halaman penuh. “Kelamin” artikel tersebut sukar diketahui sebab hanya ada informasi kecil di pojok bagian atas bahwa bahan tulisannya berasal dari Kementerian Pertahanan.
Selain memampang muka Prabowo, ada pula foto Jokowi di dalamnya. Judul iklan Harian Kompas yang terbit pada 8 Januari 2024 tersebut juga cukup tendensius, yakni “Capaian Mengesankan Kementerian Pertahanan, Ikhtiar Menjaga Kedaulatan dan Keutuhan Negara”.
Tak pelak, laporan itu menjadi kontroversi. Petinggi Harian Kompas mengklaim, iklan tersebut tidak terkait dengan pencalonan Prabowo. Menurutnya, itu merupakan capaian Prabowo sebagai menteri pertahanan, bukan capres. Akan tetapi, pakar pemilu menilai hal itu tidak layak sama sekali, terlebih artikelnya terbit di tengah periode kampanye.
“Harusnya KPU mengatur, semua program lembaga pemerintahan yang diekspos ke publik tidak boleh menampilkan kontestan pemilu,” ujar Titi, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dinukil dari BBC.
Ini bukan kali pertama Kompas mengaburkan batas antara iklan dan berita. Pada 2021, ketika pandemi Covid-19 masih merebak, mereka pernah menerbitkan advertensi tentang vaksinasi gotong royong yang digagas Komite Penanganan Covid-19.
Seperti halnya artikel soal Prabowo di 2024, iklan vaksinasi ini sukar diidentifikasi kelaminnya. Bahkan, alih-alih memakai kata iklan atau advertorial yang terang, Kompas hanya bilang, “Artikel ini disajikan oleh Komite Penanganan Covid-19, bekerja sama dengan Tim Kompas.”
Pagar api yang memudar juga jamak ditemui di surat kabar lainnya, mulai dari media massa perintis hingga yang legendaris. Kasusnya sama: tak menyematkan batas yang jelas antara iklan dan berita.
Pagar Api yang Sakral
Kepentingan media massa dalam menjaring cuan demi kelangsungan bisnisnya tidaklah salah. Namun, bukan berarti kesakralan pagar api harus dikorbankan.
Maka itu, Bill Kovach dan Tom Rosentiel, dalam buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (2001), menempatkan aspek keberpihakan sebagai salah satu elemen jurnalisme. Menurut mereka, surat kabar seharusnya menempatkan diri sebagai informan publik yang memuat berita penting dan dibutuhkan.
Bisnis media tidak bisa disamakan dengan perusahaan pemasaran yang memang tujuannya menawarkan produk kepada khalayak. Publik, pembaca, atau pemirsa, bukanlah pelanggan dalam dunia bisnis media. Pemasang iklanlah si konsumen itu. Seyogianya, hal tersebut bisa dibedakan dengan jelas oleh pihak media sehingga tak merusak hubungan unik antara mereka dengan pembaca. Menurut Kovach, pagar api harus diinformasikan dengan jelas dalam surat kabar, baik cetak maupun daring.
Harold Ross selaku pendiri majalah The New Yorker, sebagaimana diceritakan oleh Andreas Harsono dalam buku Agama Saya Jurnalisme (2016), juga mengamini kesakralan pagar api ini. Bahkan, selama ia menjabat, ada pemisahan antara ruang redaksi dan pemasaran. Hal itu dilakukannya agar cara pandang wartawan tak terpengaruhi oleh bisnis.
Dengan memperjelas pagar api, dengan cara apa pun (termasuk salah satunya memisahkan wilayah redaksi dan pemasaran), khalayak bisa tahu mana artikel yang diterbitkan dengan tujuan iklan dan mana yang sungguh-sungguh berita produk jurnalistik.
Perusakan pagar api bukan perkara baru. Sudah sejak lama masalah ini menjangkiti surat kabar, tak hanya di Indonesia atau di negara maju macam AS, melainkan di seluruh dunia.
Sejak Kapan Pagar Api Dipreteli?
Sebenarnya, sistem pendanaan dari iklan merupakan sesuatu yang revolusioner. Dulunya, pada dasawarsa awal abad ke-19, atau bahkan lebih lama dari itu, menjalankan bisnis surat kabar sangat mudah. Di AS misalnya, media hanya berfungsi sebagai corong penguasa. Wartawannya pun tahu di sisi mana mereka berpihak.
Namun, zaman berubah sejak perusahaan komersial menjamur dan beragam. Perusahaan media menyadari bahwa penghasilan iklan ternyata lebih banyak daripada hanya mengandalkan donor dari partai politik atau perusahaan tertentu.
Sejak itu, surat kabar, mau tidak mau, harus beradaptasi dengan iklim periklanan. Namun, masalah “baru” muncul. Terjadi pengaburan antara artikel iklan dan berita produk jurnalistik.
Dari sisi komersial, si pengiklan justru amat senang menabur hal-hal samar. Mereka justru diuntungkan jika suatu surat kabar mengaburkan batas antara produk iklan dan berita. Dengan begitu, iklan produknya seolah-olah akan tampak sebagai “kebenaran”, bahkan fakta.
Namun, para wartawan kala itu menganggap media massa sebagai alat demokrasi, dan pengaburan batas itu berpotensi merusaknya. Maka, pada 1920-an, “jurnalisme baru” ini mulai diatur, terutama perihal kode etik dalam periklanan. Tujuannya tentu saja memperjelas dinding pemisah antara penjualan dan pemberitaan.
Tetap saja, uang selalu lebih menggoda. Apalagi dengan adanya dalih bahwa perusahaan media harus menyejahterakan wartawannya. Alhasil, semua diserobot, termasuk pagar api yang telah lama dibangun.
Salah satu kasus pelanggaran batas yang paling terkenal terjadi pada 1999. Sebuah arena basket dan hoki baru saja dibangun, dengan nama Staples Arena (sekarang disebut Arena Crypto.com). Ketika itu, Los Angeles Times sepakat menerbitkan edisi khusus terkait pembukaan arena baru tersebut di majalah Minggu mereka. Sebagai imbalannya, keuntungan yang diperoleh dari penjualan iklan di arena itu akan dibagi dua antara Times dan Staples Arena.
Ironisnya, tak banyak wartawan di dapur redaksi Los Angeles Times yang tahu terkait iklan tersebut. Kesepakatan gelap itu hanya diketahui oleh pihak pemasaran dan penerbit. Tak bisa dimungkiri, polah Times yang melewati batas itu memicu kemarahan publik. Para pembaca menuntut mereka meminta maaf.
Times pun melakukannya. Mereka menerbitkan artikel penyesalan (mea culpa) yang sangat-sangat panjang, 30 ribu kata! David Shaw yang menulisnya.
Digerogoti dari Dalam
Pagar api merupakan hal sakral. Sayangnya, tidak semua wartawan memahaminya. Bahkan, banyak jurnalis justru mencari-cari pembenaran atas polahnya yang melewati batas demi memperoleh cuan.
Tingkah macam itu pun bukan hal baru. Pada 2012, wartawan asal Irlandia bernama Dena Levitz pernah menulis artikel terkait pagar api di PBS MediaShift. Ia berbicara bukan lagi tentang upaya merobohkan, melainkan pembenaran atas pelanggaran pagar api. Ia bahkan menganggap bahwa konsep pemisahan antara iklan dan berita di surat kabar itu sudah ketinggalan zaman.
“Di seluruh industri lintas bidang, perusahaan media massa telah menemukan cara kreatif, tepat–dan yang terpenting–etis untuk menggabungkan sisi bisnis dan editorial,” tulis Levitz
Sementara dapur surat kabar terancam dibongkar karena iming-iming “kreativitas” itu, pengiklan, di sisi lain, gencar membagikan penawaran. Alhasil, perombakan banyak dilakukan. Terutama di era digital, banyak media massa yang mengaburkan antara dapur berita dan advertensi. Mereka biasanya menggabungkan antara artikel pencari iklan dan produk jurnalistik.
Kita bisa dengan mudah menemukan artikel Search Engine Optimization (SEO) bertebaran di belantara internet. Dengan konsep itu, kita dijejali informasi yang sering kali kita inginkan, tetapi sebenarnya tidak benar-benar kita butuhkan.
Posisi media massa, menurut “buku putih” karya Bill Kovach, adalah sebagai pemantau kekuasaan dan penyambung lidah yang tertindas. Dalam konteks ini, artinya, masih banyak hal penting yang dibutuhkan oleh publik, selain informasi “remeh” yang bisa ditemukan dengan mudah di buku-buku atau bahkan brosur.
Gara-gara pengaburan dapur editorial dan periklanan ini pula muncul penyebutan advertorial. Penting digarisbawahi, istilah advertorial adalah kepanjangan dari advertensi dan editorial.
Ironisnya, saat ini kita amat jarang menemukan media massa yang menyematkan tagar “advertorial” di artikel iklannya. Mereka berdalih, media massa hanya menyarankan, bukan mendukung, apalagi memaksa. Padahal, justru makin banyak saran, makin senang pengiklan. Pembaca, yang mulai samar dalam melihat batas antara iklan dan berita, akhirnya terpengaruhi juga.
Etika pemisahan ini tak hanya berlaku dalam urusan pemerintahan, bahwa pejabat publik tak seharusnya berbisnis, aparat negara tak seharusnya menyambi jadi pedagang. Pagar tersebut juga selayaknya dipatuhi oleh dapur surat kabar.
Namun, tak demikian yang terjadi di lapangan. Sementara suplai dana di bisnis media makin seret, nahkodanya enggan pusing dan lebih memilih mencampuradukkan “gereja dan negara”. Terlebih, mengutip dari Wolf Craft, publik lebih percaya liputan editorial daripada artikel iklan. Hal itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan, juga penguasa, untuk menyiarkan kabar promosi (produk) jabatannya.
“Kegelapan telah menggantikan transparansi, karena kegelapan itu laku,” ujar Ira Basen, dikutip dari situs web resmi Center for Journalism Ethics University of Wisconsin-Madison.
Siapa yang dirugikan dari pembongkaran pagar api? Tentu saja jurnalis itu sendiri, serta, yang paling terdampak, pembaca.
Seperti yang dikatakan Harold Ross, upaya mencampuradukkan dapur redaksi dan iklan berisiko membuat cara pandang jurnalis menjadi bias. Di sisi lain, pembaca terancam terjerumus dalam kubangan konten yang terhegemoni oleh iklan.
Fadli Nasrudin
(Editor di Salah Satu Surat Kabar Arus Utama)
Editor: Rosmitha Juanitasari