Ekspresionline.com–Sekitar enam tahun yang lalu, seorang teman saya di pondok pesantren menunjukkan bagaimana figur wanita seharusnya. Teman saya merupakan seorang perempuan yang pendiam, suaranya lembut, tekun beribadah, serta pakaiannya sopan dan tertutup.
Di samping itu, kami memiliki peraturan yang berkaitan dengan penggunaan pakaian; berapa panjang jilbab yang harus digunakan, berapa jumlah dalaman kerudung yang harus dipakai, ketentuan penggunaan gamis, dan masih banyak lagi. Saat itu saya memiliki beberapa keluhan mengenai peraturan-peraturan itu, tetapi teman saya yang satu ini konsisten dan dengan lapang hati menjalankan semua ketentuan itu. Tidak pernah sekalipun dia melanggar peraturan tersebut.
Namun, ternyata kekonsistenan tersebut tidak panjang umur. Setelah memutuskan keluar dari pondok pesantren (tidak lulus), dia mulai menunjukkan perubahan yang drastis. Pakaian yang dipakai cenderung pendek dan ketat.
Lebih mengejutkan lagi, ia juga memutuskan untuk melepas kerudungnya. Walaupun kaget dan heran, saya berusaha untuk tidak menghakimi keputusannya saat itu. Belakangan, saya mengetahui bahwa dia merasa lebih bahagia dan berdaya dengan keputusannya itu.
Jika kita melihat melalui lingkup yang lebih luas, fenomena ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Bukan pula cukup menyoal perubahan berpakaian seorang perempuan dari tertutup menjadi lebih terbuka, tetapi juga alasan “pemberdayaan” di baliknya. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, apa yang direpresentasikan oleh “pakaian” sehingga ia menjadi bentuk opresi terhadap perempuan?
Sepanjang garis sejarah, fungsi pakaian berkembang dari sekedar kain penutup badan menjadi representasi dari identitas, kebudayaan, bahkan bentuk wacana dan kekuatan politik. Pilihan pakaian menunjukkan kekuatan politik dan hierarki dalam strata sosial. Sebagai contoh, para kolonial pada masa penjajahan Belanda mengatur cara masyarakat Indonesia berpakaian sehingga terdapat regulasi berpakaian bagi rakyat jelata.
Pakaian sering kali juga membawa wacana simbolik dalam agenda politik, contohnya Hillary Clinton pada debat pemilihan presiden tahun 2016 menggunakan setelan berwarna merah, putih, biru. Ia bekerja sama dengan perancang busana Ralph Lauren untuk menciptakan sebuah pernyataan melalui pilihan pakaiannya yang bisa dideskripsikan sebagai patriotik – bahwa dia siap melayani rakyat Amerika Serikat.
Selain itu juga, budaya fashion dalam dunia modern menggunakan busana sebagai representasi sebuah statement. Contohnya Lady Gaga dikenal dengan selera fashionnya yang avant-garde dan kontroversial. Pada Video Music Award tahun 2010, dia pernah menggunakan busana yang seluruhnya terbuat dari daging mentah. Dia menjelaskan bahwa busana tersebut merupakan bentuk pernyataannya mengenai kebijakan “Don’t Ask Don’t Tell” terhadap kaum queer dalam Militer AS.
Dalam kesempatan lain, dia juga mengenakan baju yang terbuat dari boneka “kermit the frog”, yang merupakan simbol dari penolakan busana bulu binatang. Hal tersebut menguatkan bahwa dalam dunia modern ini, fungsi pakaian telah berkembang dari sekedar penutup badan menjadi bentuk kekuatan pada visualisasi yang menyampaikan suatu wacana atau narasi.
Dalam kehidupan modern, masyarakat mengimplementasikan kekuatannya melalui pakaian dengan mengatur dan membuat batasan-batasan terhadap cara berpakaian perempuan. Hal ini selaras dengan konsep “disiplin tubuh” yang digagas oleh Michel Foucault. Disiplin tubuh merupakan usaha untuk mengawasi seluruh aspek yang ada dalam tubuh individu meliputi: tingkah laku, kecerdasan, bagaimana berpenampilan, dan lain sebagainya.
Disiplin tubuh adalah teknologi kuasa yang dijalankan untuk mendisiplinkan tubuh dan membuatnya menjadi tubuh yang patuh dan berguna. Ini menunjukkan bahwa tubuh juga merupakan salah satu wilayah di mana relasi kuasa berjalan di atasnya.
Yang melandasi terjadinya hal tersebut dikarenakan nilai yang berakar dalam masyarakat mengenai hierarki antar gender. Nilai ini menekankan pada logika dan dominasi, sedangkan perempuan dianggap subjek oposisi yang subordinat. Maka selain hierarki antargender, kita bisa melihat terdapat pula nilai dualisme yang oposisional dan eksklusif. Hal-hal terkait “akal”,”rasio”,”laki-laki” lebih dihargai dan dinilai tinggi daripada “tubuh”,”emosi”, dan “perempuan”.
Menarik garis merah, dalam hal ini terdapat dua narasi masyarakat yang mengonstruksi dendam perempuan terhadap kuasa tubuh. Pertama, anggapan bahwa tubuh perempuan dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya bila tidak dikendalikan.
Kedua, anggapan bahwa perempuan bukan makhluk rasional, cenderung mencondongkan segalanya pada perasaan, dan tidak bisa berpikir sehingga perlu adanya norma sosial yang mengendalikan mereka. Inilah yang pada akhirnya membuahkan dendam atas kuasa tubuh yang ditandai dengan pakaian yang vulgar/terbuka.
Saya pikir, hal ini selaras dengan pengalaman teman saya di mana pondok pesantren menjadi instansi tertutup yang menetapkan kuasa atas tubuh. Dengan peraturan, batasan, dan sanksi yang ada merupakan awal mula munculnya dendam terhadap tubuh yang dipaksa untuk disiplin.
Saat keluar dari instansi tersebut, tubuh yang sudah tidak terikat batasan dan sanksi tetap memiliki dendam sehingga terjadi pembalasan melalui perilaku yang dianggap kurang bermoral bahkan destruktif. Dalam hal ini, yaitu berpenampilan vulgar dan berpakaian terbuka.
Pada akhirnya, saya pikir perempuan bukan hanya memiliki dendam terhadap terhadap kuasa tubuh, tetapi lebih dalam lagi pada ketidakberdayaan. Saya tidak membenarkan perilaku dan keputusan teman lama saya, tetapi mencoba memahami apa sebab terjadinya hal tersebut.
Mungkin saja, jika yang ditekankan bukan peraturan dan sanksi semata, tetapi juga perempuan diajak masuk dalam proses berpikir dan memahami, dipercaya bisa melindungi dirinya, mampu membuat keputusan secara rasional, serta dihargai eksistensinya. Mungkin saja semua akan berbeda.
Annaila Azzahra
Editor: Rosmitha Juanitasari