Membicarakan citra perempuan, khususnya perempuan Jawa, erat kaitannya dengan segudang tata krama yang menyertainya. Pandangan bahwa perempuan haruslah menjadi seorang penurut, setia, serta lembut telah tertanam dalam kehidupan bermasyarakat di tanah Jawa. Pandangan ini diperkuat karena budaya priyayi yang diadopsi oleh kebanyakan keluarga Jawa dari golongan kelas atas (keraton), khususnya masyarakat yang berada di wilayah sekitar keraton. Budaya dan tata nilai dalam masyarakat yang telah dibentuk sedemikian rupa, membuat terjadinya pembagian peran antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dimana, peran publik dimainkan oleh laki-laki sedangkan peran domestik dimainkan oleh perempuan. Peran publik yang dimainkan oleh laki-laki menghasilkan materi atau kedudukan yang membuatnya mendapatkan posisi superior. Sedangkan peran perempuan yang tidak menghasilkan materi maupun kedudukan membuatnya diletakkan pada posisi inferior.
Penggolongan superior dan inferior tersebutlah yang menyebabkan sebagian laki-laki memandang rendah status perempuan sebagai ibu rumah tangga. Tugas perempuan yang terbatas pada wilayah domestik kerap dipandang sebelah mata. Cara pandang tersebut lah yang menyebabkan status ibu rumah tangga menjadi semakin dianggap remeh. Warisan budaya yang dipelihara dalam masyarakat, sering memosisikan perempuan sebagai pelengkap, membuat perempuan takut untuk menyuarakan hak- hak yang sepatutnya didapatkan oleh perempuan. Pemikiran-pemikiran dangkal seperti itulah yang menyebabkan patriarki tumbuh subur di tanah Jawa. Konsep patriarki tersebut diperkuat dalam kitab/serat “Wulangreh”. Nasihat yang dituturkan oleh Nyi Hartati kepada putrinya dalam kitab tersebut, mewakili anggapan masyarakat bahwa kodrat perempuan haruslah meluhurkan suami. Meluhurkan seorang suami memang menjadi kewajiban bagi seorang istri, namun hal ini menjadi salah ketika kepatuhan istri tersebut diliputi oleh penindasan dan kekerasan dari pihak suami.
Konsep patriarki yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, membuat posisi kaum perempuan semakin terpojok. Ketidakberdayaan perempuan karena terbatasnya perlindungan yang didapat khususnya perlindungan hukum. Marginalisasi perempuan ini tidak sesuai dengan UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimanation Against Women (CEDAW) di mana konvensi CEDAW tersebut berisi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan berbagai kebijakan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Tetapi kenyataannya undang-undang tersebut tidak cukup untuk melindungi serta mengembalikan hak seorang perempuan sebagai seorang warga sipil. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya kasus pelangggaran HAM yang dialami oleh perempuan. Sesuai data Komisi Nasional Perempuan yang dikeluarkan pada Maret 2014, terdapat 279.688 kasus kekersan terhadap perempuan, di mana 65% kasus kekerasan dialami oleh istri.
Untuk meruntuhkan konsep patriarki yang telah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat, yang berujung pada pelanggaran HAM maka dibutuhkan usaha dari berbagai pihak. Utamanya dukungan dari pemerintah untuk membangun payung hukum yang kuat mengenai keadilan gender. Selain itu perlu adanya pengubahan pandangan masyarakat mengenai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Karena seperti yang diketahui bersama, bahwa paradigma yang saat ini berkembang dalam masyarakat adalah memandang rendah pekerjaan ibu rumah tangga karena tidak menghasilkan materi.
Aturan bermasyarakat terkhusus di Pulau Jawa, sering memberikan batasan-batasan pada perilaku seorang perempuan. Pembatasan yang dilakukan adalah dengan melekatkan kata saru dalam setiap aktivitas perempuan yang kuranng lazim. Seperti, perilaku perempuan akan dicap saru ketika tidak memakai rok, perempuan akan dicap saru ketika memanjat pohon. Anggapan-anggapan seperti itulah yang membuat aktivitas seorang perempuan menjadi terbatas. Entah dari mana datangnya kata saru tersebut, namun pada kenyataannya kata saru telah menjelma menjadi mantra ampuh untuk membatasi gerak perempuan.
Mengubah berbagai anggapan dari masyarakat yang telah terpupuk sejak lama, memang membutuhkan proses yang tidak sebentar. Sehingga diperlukan dobrakan dari kaum perempuan untuk mendapatkan penyetaraan hak. Dobrakan tersebut dapat melalui gerakan feminisme postkolonial, di mana teori feminisme ini mempunyai fokus utama dalam menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.
Karena dengan paham feminisme postkolonial melihat pembedaan dalam pendidikan yang dialami oleh perempuan yang terjebak pada sistem patriarki sangatlah tidak adil. Perempuan berhak atas pendidikan yang layak. Bukan hanya pendidikan sebagai ibu rumah tangga, tetapi pendidikan untuk mengembangkan potensi yang dimilki oleh setiap perempuan.
Penyetaraan pendidikan antara kaum laki-laki dan perempuan bukanlah hal yang tidak mungkin. Dengan hak berpendidikan yang sama tanpa ada diskriminasi, maka akan membuat perempuan memilki cara pandang yang luas. Pandangan yang tidak hanya terpaku pada urusan dapur, tetapi pandangan untuk dapat bersaing di dunia modern. Karena untuk dapat bersaing di era global seperti sekarang ini, diperlukan fondasi kuat berupa pendidikan yang berkualitas.
Penyetaraan pendidikan dirasa makin penting agar perempuan tidak lagi minder untuk ikut bersaing mengembangkan potensi yang dimiliki. Agar perempuan dapat melangkah dengan tegas tanpa dihantui oleh penindasan, kekerasan maupun pelecehan. Karena jika kekerasan yang dialami oleh perempuan dibiarkan terus menerus, maka perempuan akan selanya menjadi pelengkap. Maka, visi misi suatu negara untuk menciptakan keadilan hanya akan menjadi omong kosong belaka.