Ekspresionline.com–Mahasiswa sering disebut sebagai agent of change, yang dituntut untuk melakukan perubahan mengunakan disiplin ilmu yang mereka pelajari. Namun, untuk melakukan perubahan, belajar akademik saja tidaklah cukup. Sehingga, mahasiswa juga akan memilih aktif berkegiatan di luar kelas.
Lumrah melihat mahasiswa dengan berbagai kesibukannya. Mulai dari kegiatan perkuliahan, kegiatan di organisasi internal kampus, organisasi eksternal kampus, sampai kegiatan magang. Mahasiswa dituntut untuk mempunyai keterampilan soft skill agar mudah masuk ke dunia kerja.
Tuntutan untuk mempunyai keterampilan soft skill tidak lain berasal dari pihak universitas. Sebelum pelaksanaan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) seluruh mahasiswa mendapatkan pelatihan soft skill.
Pelatihan tersebut menjadikan mahasiswa sadar akan pentingnya keterampilan soft skill. Kesadaran akan pentingnya soft skill diwujudkan mahasiswa dengan menyibukkan diri lewat berbagai kegiatan agar keterampilannya terasah. Kegiatan untuk melatih soft skill yang biasanya dipilih mahasiswa adalah mengikuti organisasi internal maupun eksternal kampus.
Pilihan menyibukkan diri dengan berorganisasi tersebut sangat beresiko untuk mahasiswa. Salah satu risiko yang diambil mahasiswa adalah permasalahan membagi waktu untuk perkuliahan dan organisasi. Permasalahan tersebut mengakibatkan mahasiswa harus begadang agar tugas kuliah dan tugas organisasi dapat dikerjakan semuanya. Kadang-kadang, tugas perkuliahan yang sangat berat dari dosen menyebabkan mahasiswa tidak tidur sehari semalam.
Menilik dari hasil angket LPM Ekspresi dengan judul Kesadaran Kesehatan Mental Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), sebanyak 46,2 persen mahasiswa UNY setuju bahwa kegiatan akademik menyebabkan gangguan mental pada mahasiswa. Beberapa dosen kadang memberikan tugas terlalu banyak dengan tenggat waktu yang sebentar. Keadaan tersebut membuat banyak mahasiswa tertekan dan mengalami kecemasan, apabila tidak dapat menyelesaikannya sebelum tenggat waktu.
Kegiatan akademik yang harusnya menjadi sarana belajar mahasiswa, malah memberikan tekanan. Hasil angket menunjukkan, sebanyak 55,8 persen mahasiswa setuju bahwa tenaga akademik harus memiliki kompetensi perihal kesehatan mental mahasiswa. Tenaga akademik yang sadar pentingnya kesehatan mental, akan berfokus pada kegiatan akademik yang lebih menyenangkan dan tidak memberi tekanan bagi mahasiswa. Dengan begitu, mahasiswa akan mampu menjalankan perkuliahan sekaligus berorganisasi.
Perizinan bagi Mahasiswa
Kendala mahasiswa dalam menjalankan kegiatan akademik bukan hanya karena tugas yang terlalu berat. Namun, perizinan yang ribet bagi teman-teman yang gejala gangguan mentalnya muncul, sehingga tidak mampu berangkat kuliah.
Kebanyakan dosen mensyaratkan untuk selalu memberikan surat dari dokter apabila sedang sakit. Syarat tersebut akan memberatkan mahasiswa, yang mengalami simtom gangguan mental. Beranjak untuk keluar dari kamar kos saja sangat berat apalagi keluar untuk mencari surat izin. Perizinan sakit yang dilakukan mahasiswa tanpa memberi surat izin, bisa dicurigai dosen. Hal-hal semacam itu seringkali membuat mahasiswa lebih memilih untuk bolos.
Kecurigaan ini juga tidak bisa semata-mata disalahkan. Kelonggaran perihal surat izin, tidak diberikan pada mahasiswa dengan gangguan mental supaya tidak mendapatkan porsi lebih dari mahasiswa lain. Jika ada kebohongan yang dilakukan mahasiswa kepada dosen, terkait mengalami simtom gangguan mental, akan menambah kecurigaan dosen. Sehingga akan menyulitkan bagi mahasiswa dengan gangguan mental –yang benar-benar membutuhkan izin– untuk izin kembali di kemudian hari.
Tekanan yang diperoleh mahasiswa sebenarnya bukan hanya dari tenaga akademik ataupun tugas organisasi. Teman satu kelas dan teman organisasi juga sangat berperan menambah tekanan bagi mahasiswa. Misalnya, teman satu kelas yang menghalalkan berbagai cara agar mendapatkan nilai bagus. Seperti begadang semalaman sebelum kuis, Ujian Tengah Semester (UTS), hingga saat Ujian Akhir Semester (UAS). Bagi mahasiswa yang cuek, mungkin tidak akan banyak berpengaruh dengan mentalnya. Namun, bagi mahasiswa yang memiliki target nilai bagus, akan terganggu dengan metode belajar teman satu kelasnya. Akhirnya, mahasiswa mengikuti metode belajar tersebut dan semakin tertekan. Belum lagi ditambah tekanan dari teman organisasi yang menuntut untuk menyelesaikan tugas organisasi.
Ketidaktahuan Mahasiswa Tentang UPTLBK
Keadaan mahasiswa yang tertekan karena alasan tersebut, tidak berjalan beriringan dengan kondisi Unit Pelayanan Teknis Layanan Bimbingan dan Konseling (UPTLBK). Mahasiswa masih banyak yang tidak mengenal UPTLBK. Keadaan ini yang menyebabkan mahasiswa tidak tahu ke mana harus menceritakan keluh kesahnya. Ketidaktahuan mahasiswa dikarenakan kurang masifnya promosi yang dilakukan UPTLBK. Promosi tentang UPTLBK hanya dilakukan satu kali saat pelaksanaan PKKMB.
Ditambah kurangnya psikolog yang ada di UPTLBK, menyebabkan harus adanya perjanjian terlebih dahulu sebelum melakukan konseling. Mahasiswa yang menginginkan konseling, harus menunggu sampai waktu yang telah ditentukan sesuai jadwal. Di UPTLBK, hanya terdapat satu psikolog yang selalu berjaga dan enam psikolog –hadir bergiliran sesuai jadwal– yang sekaligus bekerja sebagai dosen. Keadaan tersebut menandakan bahwa UNY belum mampu menyediakan layanan konseling yang baik untuk mahasiswa. Padahal, sebanyak 57,4 persen mahasiswa UNY sangat setuju untuk meningkatkan pelayanan konseling di UNY. Sepertinya, keinginan tersebut belum bisa terwujud untuk saat ini.
Keadaan kesehatan mental yang baik pada mahasiswa akan berpengaruh terhadap prestasi belajarnya. Seharusnya, UNY memperhatikan hal tersebut agar prestasi mahasiswanya terus meningkat. Tidak etis sekali apabila UNY hanya menginginkan prestasi saja tanpa memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi prestasi mahasiswa.
Fatonah Istikomah
Editor: Arummayang Nuansa Ainurrizki