Ekspresionline.com–Hari ini, sekolah di Indonesia masih eksis. Terhitung, sejak 156 tahun silam Belanda mendirikan Eredienst en nijvirheit sebagai lembaga khusus untuk menagani pendidikan di Hindia Belanda (Indonesia pada waktu itu). Belanda memberikan kesempatan kepada kaum pribumi untuk menikmati pendidikan; Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Soekarno, dan pemimpin bangsa lain pada masa itu adalah produk pendidikan masa kolonial Belanda (Triwiyanto, 2019: 100). Dengan masalah yang berbeda setiap tahunnya, sekolah “dipaksa” untuk tetap bertahan dalam gempuran arus zaman dengan penyesuasian yang mesti dilakukan, agar tak lekang dimakan waktu dan ruang. Hasilnya, sekolah melewati tahapan refleksi dari zaman dan tetap menjadi tempat favorit dalam “menuntut ilmu” sampai sekarang.
Sekolah merupakan tempat untuk menuntut ilmu. Berdasarkan premis tersebut, sekolah menjadi wadah bagi peserta didik untuk mencari serta mempelajari baik ilmu secara teoritis maupun praksis. Sekolah menjadi sistem yang menyatukan banyak unsur mulai dari guru, murid, kurikulum, pengetahuan, dan standar kelulusan agar membentuk manusia yang dapat mengatasi krisis di masyarakat.
Pendidikan memiliki arti yang selaras dengan sekolah. Pendidikan sendiri diartikan sebagai proses untuk mengubah tingkah laku dan pemikiran seorang juga kelompok untuk mendewasakan manusia melalui pelatihan dan pengajaran.
Sekolah dan pendidikan adalah satu kesatuan. Sekolah dapat diartikan sebagai wadah, lalu pendidikan adalah daya upayanya. Di dalam masyarakat, sekolah dipandang sebagai tempat mencari ilmu pengetahuan yang sahih. Nantinya, ilmu pengetahun ini akan digunakan untuk mengembangkan masyarakat agar dapat berevolusi demi mengatasi krisis yang terjadi dalam kehidupan sosial.
Globalisasi dan Sekolah
Peran sekolah sebagai wadah dan pendidikan sebagai daya upaya juga dibahas dalam Standar Nasional Pendidikan Indonesia. Tujuan akhir dari kedua unsur ini ialah untuk menghasilkan peserta didik yang mempunyai potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam mewujudkan tujuan tersebut, sekolah memiliki komponen-komponen pendidikan yang berfungsi mengarahkan peserta didik untuk mencapai standar dari pendidikan Indonesia. Saat ini, sekolah memiliki sistem belajar-mengajar untuk mengantarkan ilmu pengetahuan. Anak didik sebagai objek yang diberikan pengetahuan. Guru sebagai aparatus sekolah yang menjadi jembatan antara Ilmu Pengetahuan dan anak didik. Kurikulum sebagai bahan acuan untuk guru memberikan pengajarannya serta sebagai batasan siswa memperoleh pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan didapatkan melalui kajian-kajian yang sudah ditentukan oleh negara dan komponen-komponen lain. Mereka membentuk sistem di dalam kesatuan sekolah.
Dalam buku Gelombang Liberialisme Pendidikan, Teguh Triwiyanto menjelaskan tentang globalisasi yang mulai masuk ke dunia pendidikan Indonesia. Dalam bukunya ia menuliskan, usaha mengembangkan potensi manusia sekarang tidak sekadar berwatak lokal saja, tetapi sudah menglobal (Triwiyanto, 2019, 17).
Menurutnya dasar dari globalisasi adalah cinta, dimanifestasikan ke dalam sepotong hasrat untuk memajukan bangsa. Cinta di sini bukanlah cinta yang remeh-temeh semata, melainkan patriotisme yang tumbuh untuk mendukung serta memperjuangkan bangsa untuk keluar dari problem keterasingan dan pembentukan diri-bangsa yang rendah–terkhusus pada martabat bangsa–agar sejajar dengan bangsa lain. Selanjutnya, globalisasi juga disebut Freud mengatakan globalisasi sebagai kehendak berkuasa, jiwa yang merupakan tiran dan tidak mengenal batas kuasa (dalam Hall, 2000; 148).
Tapi dalam pendidikan, globalisasi tak mendukung pendidikan dengan baik. Globalisasi menembus batas-batas antarbangsa yang mendorong pendidikan ke arah kompetisi bagi lembaga pendidikan–salah satunya sekolah; tak hanya bersifat lokal atau regional, namun juga internasional.
Dalam sistem perdagangan internasional yang diatur oleh World Trade Organization (WTO) termasuk pendidikan, perdagangan jasa “diperjualbelikan” dengan empat metode atau cara, yaitu; pertama, cross border supplay; kedua, consumption aboard; ketiga, movement of nature persons; dan keempat, commercial presence (Wirosuharo, 2015; 47).
Dibutuhkan penjelasan panjang dan rumit untuk memberikan gambaran secara rinci mengenai globalisasi dan posisinya dalam pengaruh pendidikan di Indonesia. Pada intinya, dengan bebasnya sekat antar negara serta penganturan mengenai “jual beli pendidikan” melalui sistem dari WTO, akan berpengaruh dengan visi dan strategi tata kelola pendidikan nasional ke depan.
Kurikulum yang Sudah Terliberalisasi
Dengan sistem globalisasi, Indonesia tidak memiliki posisi memadai dalam melakukan perjanjian dengan negara-negara Eropa. Hal ini dikarenakan pada saat ini Indonesia masih tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Posisi Indonesia lebih cocok menjadi konsumen pendidikan global daripada menjadi produsen. Dengan melihat jumlah penduduk pada tahun 2022 yaitu 275?.773,8 juta jiwa , kualitas komponen pendidikan tak bisa memadai jumlah yang sedemikian banyak. Konsumsi kurikulum adalah satu contohnya.
Dalam menunjang pendidikan di sekolah, kurikulum memberikan peranan yang cukup sentral. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman. Kurikulum diatur oleh negara lewat lembaga pendidikannya.
Dalam beberapa tahun terakhir, kurikulum pendidikan sangat dipengaruhi oleh liberalisme. Praktiknya menyerang pada kompetensi, isi, dan pengelolaan pendidikan (Triwiyanto, 2019:37-45). Dengan begitu pembelajaran tidak berfokus pada penuntasan materi, melainkan hasil yang dicapai oleh individu. Sekolah akan cenderung fokus kepada pengembangan individu semata, lalu melupakan pengembangan kelompok, komunitas, bahkan masyarakat.
Padahal, jika dilihat berdasarkan suku, agama, ekonomi, alam, geografis, dan budaya yang beragam, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia hidup bertumpu pada komunitas atau masyarakat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dengan begitu, unsur masyarakat dan muatan lokal patut untuk ditingkatkan. Sebab, jika melihat keragaman latar belakang tersebut, Indonesia sepatutnya dapat menerapkan keadilan atas akses bagi seluruh masyarakat–terutama dalam hal pendidikan.
Sebagai contoh, sekolah di daerah Papua akan lebih meningkatkan studinya mengenai kehutanan, karena melihat budaya dan kondisi geografis Papua yang dekat dengan hutan. Dengan begitu, nantinya masyarakat Papua akan dapat mempertahankan hutan mereka untuk dapat hidup berkelanjutan tanpa merusak alam di sekitarnya.
Mencari Alternatif Selain Sekolah
Melalui sekolah, pemerintah justru terbawa gelombang liberalisme yang kuat, bahkan cenderung memilih untuk menikmatinya. Dampak yang mungkin bisa terjadi pada masyarakat ialah kecenderungan untuk stagnan pada pola yang sama dan menjadi masyarakat individualis. Bersikap aktif dan membangun menciptakan peluang adalah tindakan yang bisa dilakukan, bukan malah larut dalam gengaman sistem yang mendominasi.
Setelah membahas mengenai liberialisasi, globalisasi dan masyarakat, saatnya kita kembali membahas sekolah. Menurut saya, sekolah adalah tempat yang sangat sakral. Alasanya sederhana, karena ia menjadi tempat untuk mendiskusikan ilmu secara teoritis dan merealisasikannya secara praksis untuk mewujudkan cita-cita masyarakat. Selain itu, sekolah juga menjadi tempat untuk mendiskusikan secara kritis mengenai permasalahan yang ada di masyarakat.
Melihat kondisi yang sekarang ini, sekolah tidak memiliki penawaran yang kuat untuk dapat melakukan perubahan terhadap masyarakat. Apalagi sekolah memiliki watak yang menindas dengan liberialismenya, yakni dengan meniadakan keinginan untuk maju bersama serta meniadakan proses dialog dalam pendidikan. Sepertinya sudah saatnya kita mencari alternatif lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat Indonesia dengan mempertimbangkan unsur-unsur lokalnya.
Memang belum ada satu kelompok belajar yang bisa menawarkan tandingan terhadap sekolah umumnya, tetapi alternatif untuk menempuh pendidikan lain harus dicari. Bukan berarti meniadakan dan menolak belajar di sekolah, tetapi berfokus untuk mencari ilmu yang lebih dan memberikan pengaruh ke sekolah agar tidak terseret gelombang liberalisme. Hal ini dilakukan agar kita tetap dapat mempertahankan nilai-nilai lokal yang akhirnya dapat bersaing dengan negara yang mendominasi.
Mewujudkan suatu kelompok belajar untuk bersaing dengan sekolah merupakan cita-cita yang besar. Cita-cita mewujudkan pendidikan ideal ini harus dimotori oleh setiap individu, karena individu akan membentuk suatu kelompok dengan tujuan yang sama, yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang dapat bertahan dari krisis yang akan datang.
Untuk mencapai cita-cita tersebut setiap individu dan kelompok harus melalui beberapa tahapan. Tahapan tersebut, menurut Arif (2016), dimulai dengan memberikan pengaruh terhadap pemikiran (thought), kemudian beranjak kepada ujaran (words). Selanjutnya, lahir melalui tindakan (action) dan menjadi kebiasaan (habit), sehingga termanifestasi dalam karakter (character) serta mewujudkan tujuan dan cita-cita (destiny). Dengan langkah-langkah berikut, pendidikan alternatif selain sekolah ini diharapkan dapat menjadi ruang yang bisa membangun nalar peserta didik yang kritis untuk mengatasi berbagai problematika.
Jika pendidikan dalam konsep liberalisasi meniadakan dialog, pendidikan alternatif ini justru mengadakan dialog, bahkan menjadi unsur yang utama dalam pelaksanaannya. Dialog menjadi wujud demokrasi untuk menyeleksi setiap ilmu pengetahuan yang hendak dijadikan acuan teknis, praksis, dan emansipatoris. Penempatan dialog ini menjadi salah satu unsur unsur ketercapaian keberhasilan, karena dengan terciptanya komunikasi yang komunikatif (Arif dkk, 2016).
Akhirnya, sekolah sampai sekarang masih menjadi tempat idaman untuk mencari ilmu. Dengan terseretnya sekolah ke arah liberalisme yang merugikan masyarakat, tentu harus mencari pendidikan alternatif yang sesuai dengan realita masyarakat kita.
Lalu, di manakah kita bisa menemukan sekolah yang ideal untuk melaksanakan pendidikan alternatif? Selain itu, siapakah pihak yang pantas untuk melaksanakan pendidikan ini? Mengutip salah satu tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, bahwa “semua tempat adalah sekolah, dan semua orang adalah guru”, maka persoalan mengenai kedua hal itu dapat terjawab. Di manapun dan oleh siapapun, pendidikan alternatif dapat dilaksanakan dengan mengembangkan kekayaan lokal. Tak hanya memikirkan tentang pemanfaatannya, namun juga membahas tentang keberlanjutannya.
Daftar Pustaka
Arif, M, dkk. (2016). Pendidikan Postmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan. Yogyakarta: AR-Ruzz Media.
Triwiyanto, T. (2019). Gelombang Liberalisme Pendidikan: Mengawal Tata Kelola Pendidikan Untuk Rakyat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Badan Pusat Statistik. (n. d.). Jumlah penduduk pertengahan tahun (ribu jiwa), 2020–2022. https://www.bps.go.id/indicator/12/1975/1/jumlah-penduduk-pertengahan-tahun.html.
Aldino Jalu Seto
Editor: Nugrahani Annisa