Ekspresionline.com–Suatu hari, di malam yang dingin selepas hujan, saya berdebat dengan seseorang. Perdebatan tersebut berawal dari anggapan mengenai negara yang tidak memberikan akses yang terjangkau kepada masyarakat untuk menempuh pendidikan tinggi.
Saat itu, kami adalah seorang remaja yang akan lulus sekolah menengah atas, serta berasal dari desa dengan dominasi masyarakatnya tidak menempuh bangku kuliah.
Perdebatan tersebut berlangsung panas dan panjang. Agar lebih panjang, saya melempar sebuah analog,i bahwa rata-rata masyarakat di sini tidak melanjutkan ke bangku perkuliahan dikarenakan tidak adanya biaya. Artinya, tidak ada semacam “duta” yang membawakan imajinasi mengenai kuliah
Saya pun berargumen, bahwa pembiayaan pendidikan seharusnya diberikan oleh pemerintah secara terjangkau, bahkan gratis. Namun, setelah mengetahui biaya kuliah yang mahal, saya mencoba mempertanyakan dimana peran pemerintah dalam mengatasi ini.
Orang tersebut menyanggahnya dengan membela pemerintah. Ia beranggapan bahwa yang telah dilakukan pemerintah sudah baik, seperti dalam melaksanakan program wajib belajar 12 tahun.
Tak lupa ia menambahkan, dalam permasalahan pembiayaan pendidikan, pemerintah juga sudah mengakomodasi calon mahasiswa berprestasi dan calon mahasiswa yang kurang mampu lewat program beasiswa KIP Kuliah.
Apakah adanya kedua program ini cukup untuk memenuhi tanggung jawab pemerintah atas mahalnya biaya pendidikan?
Kuliah Kok Mahal?
Dalam kondisi tersebut, sering kali pula saya dengar beberapa saran klasik ketika seorang mahasiswa kesulitan untuk membayar biaya untuk kuliah. Umumnya, para teman dekat, keluarga, bahkan kampus, langsung menyarankan untuk mencari beasiswa sebagai solusi. Persis seperti perdebatan di atas.
Biasanya, jika tidak bisa mengusahakan beasiswa prestasi, ia diminta mencoba beasiswa untuk orang miskin. Jika ternyata masih belum bisa, diarahkan mencari beasiswa dari pihak swasta. Jikalau masih saja tidak bisa, tersedia opsi pinjaman untuk sekadar masuk, atau membayar biaya kuliah selama satu semester.
Bagi sebagian orang, beberapa opsi tersebut dapat menjadi “morfin”, penenang untuk masih tetap berharap dapat berkuliah. Berbanding terbalik dengan itu, saya beranggapan, sebenarnya tidak realistis juga untuk tetap mengharapkan bantuan beasiswa tersebut.
Alasannya, selain harus bersaing secara intelektual dengan mahasiswa yang sepantaran di seluruh Indonesia, ia juga harus bersaing dengan mahasiswa angkatan atasnya yang dulu sempat gagal dalam mengejar beasiswa yang sama. Permasalahan lain yang tak kalah penting, dan sepertinya sudah membudaya di Indonesia, adalah jalur ordal (orang dalam).
Setelah realistis melihat peluang beasiswa yang sangat kecil, mungkin pilihan selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mencoba menabung sedini mungkin untuk biaya kuliah anak, atau adik kita nanti. Namun, setelah saya membaca salah satu artikel dari Kompas, harapan itu seketika sirna.
Dalam artikel tersebut, Kompas membuat riset menarik. Riset ini mengkomparasi UKT (Uang Kuliah Tunggal) 30 PTN serta PTS ternama. Analoginya, Anda adalah orang tua murid yang menempuh pendidikan terakhir SMA. Anda akan menyisakan 20% penghasilan anda sejak anak anda lahir sampai lulus SMA. Anak Anda lahir di tahun 1995, lalu asumsikan berkuliah di tahun 2013 (umur 18 tahun).
Hasilnya, di tahun 1995 Anda akan memiliki pendapatan sebesar Rp3,3 juta per tahun. Setelah dikalkulasi, pendapatan per tahun Anda menjadi sebesar Rp18,1 juta pada tahun 2013. Jika penghasilan Anda ditabung sebanyak 20% selama 18 tahun untuk biaya kuliah, akan menghasilkan Rp36,1 juta. Namun sayangnya, pembiayaan pendidikan untuk anak Anda ternyata jatuh di angka lebih mahal, Rp84,7 juta.
Analogi kedua, tetap dengan kondisi dan cara menghitung yang sama, tetapi kali ini Anda adalah seorang lulusan sarjana. Lantas tabungan Anda dalam 18 tahun adalah Rp77,9 juta. Angka tersebut juga belum bisa menyentuh pembiayaan pendidikan anak anda selama delapan semester kuliah, yaitu sebanyak Rp84,7 juta.
Dengan riset tersebut, dapat disimpulkan bahwa selama 18 tahun menabung pun belum bisa memberikan pembiayaan pendidikan di universitas sampai lulus (delapan semester) kepada anak Anda. Dengan begitu, sangat cocok jika pendidikan tinggi di Indonesia ini dikatakan sangat mahal. Dapat dimaklumi pula, jika jumlah siswa yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang universitas juga sedikit.
Berdasarkan data Ditjen Dukcapil tahun 2022, mahasiswa di Indonesia hanya sekitar 6,41%. Dari 6,41% tersebut, mahasiswa yang berpendidikan D1 dan D2 proporsinya 0,41%, kemudian D3 sebanyak 1,28%, S1 sejumlah 4,39%, S2 sebanyak 0,31% dan hanya 0,02% yang mendapat pendidikan S3.
Sisanya, tentu menjadi entitas yang hanya menamatkan pendidikan dasar serta menengah Entitas lainnya adalah masyarakat yang malah belum pernah menjamah bangku pendidikan.
Kenapa Harus Gratis?
Saya sering berpikir, apakah negara punya tanggung jawab untuk membawa pendidikan ini menuju murah bahkan gratis? Sekarang, coba kita kembali menengok mata pelajaran PKN semasa SD tentang UUD. Lihat pada pasal 31, ayat pertama menyebutkan bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Jika setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, maka alat yang membawa warga negara tersebut untuk mendapatkan hak atas pendidikan adalah negara itu sendiri. Negara telah memberikan akses pendidikan kepada warganya dengan wajib belajar 12 tahun secara gratis.
Ternyata itu tak cukup. Warga ingin pendidikan gratis bahkan sampai pada jenjang pendidikan tinggi. Sebab, pendidikan tinggi juga merupakan hak warga atas pendidikan.
Mengutip pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan sidang tentang UU BHP,
“Para pendiri republik tercinta ini dengan arif dan bijaksana menentukan keharusan pemerintah negara ini selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, juga membebankan tugas kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, Sebagaimana yang tertera di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.”
Dalam argumen di atas, pendidikan jelas menjadi tanggung jawab negara. Selain aturan tersebut, terdapat juga aturan tentang ratifikasi kovenan internasional tentang ekonomi sosial budaya. Pendidikan disebutkan pada pasal 13 lebih spesifik ke pendidikan tinggi pada huruf C yang berbunyi,
“Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap.”
Menurut saya, kalimat tersebut cukup jelas untuk menjadi pertimbangan bagi negara, setidak-tidaknya dalam membuat skema untuk memberikan pendidikan tinggi secara murah, bahkan gratis. Sayangnya, sejak perjanjian internasional itu dijalankan, belum ada tahapan yang jelas dari pemerintah untuk mengupayakan pendidikan gratis.
Boro-boro pemerintah mau menggratiskan pendidikan, membuatnya murah saja sepertinya tidak dilakukan. Buktinya, mereka malah membuat sistem yang membuat pembiayaan pendidikan ditopang oleh kampus masing masing menggunakan skema otonomi kampus.
Jelas, aturan itu akan memberatkan kampus untuk mencari uang. Kebanyakan, kampus mendapatkan uang dari mahasiswanya melalui pungutan-pungutan yang entah dari mana dasarnya.
Saat mengulik hal ini, saya menemukan kampus yang menyewakan gedung-gedungnya kepada mahasiswanya sendiri. Kocaknya lagi, saya menemukan salah satu kampus di Jogja yang menyewakan sendok makan senilai Rp1.500,00 per pcs, tentu untuk mencari uang.
Mirip katering, bukan?
Aldino Jalu Seto
Editor: Rosmitha Juanitasari