Ekspresionline.com–Hari sumpah pemuda merupakan momen bersejarah di Indonesia yang diperingati setiap tanggal 28, Oktober. Genap 94 tahun lalu, pemuda-pemudi Indonesia dengan latar belakang yang berbeda, bersatu untuk mencapai kemerdekaan. Persatuan itu timbul dari kesadaran mereka atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang terus menyengsarakan masyarakat Indonesia.
Persatuan itu, tidak lepas dari perjuangan yang dilakukan oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Organisasi itu didirikan pada tahun 1926 oleh sekelompok mahasiswa dari beberapa sekolah tinggi. Sekolah tinggi tersebut di antaranya Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hoogeschool), Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoogeschool), Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool), dan Sekolah Dokter Bumiputera (School tot Opleiding van InlandschArtsen) (Sekolah Dokter Bumiputera).
Pada mulanya, sekelompok mahasiswa itu sering mengadakan diskusi di Gedung Kramat 106 -sekarang museum sumpah pemuda. Nama-nama seperti Soewirjo, Oesman Sastroamidjojo, Moeksinoen, Sigit, Goelarso, Darwis, Soerjono, Soesalit, dan Soegondo, biasa meramaikan diskusi tersebut. Mereka beranggapan bahwa tugas mahasiswa tidak sebatas mencari ijazah, tetapi juga perlu memperhatikan nasib kehidupan masyarakat. PPPI juga ingin mendorong bersatunya seluruh organisasi pemuda di Indonesia.
Meskipun anggotanya sedikit, sekitar 30 orang, tetapi mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam pergerakan nasional Indonesia. Hal itu karena anggotanya adalah mahasiswa yang lebih menekankan segi politik ketimbang pelajar. Mayoritas anggota PPPI juga merupakan anggota aktif di organisasi pemuda daerah. Para anggota PPPI tersebut di antaranya seperti adalah Goelarso, Abdoellah Sigit, dan Koentjoro (Jong Java); Aboe Hanifah dan Yamin (Jong Sumatranen Bond); serta Amir Sjarifoeddin (Jong Bataks Bond). Dengan itu, mereka dapat dengan mudah membawa ide-ide persatuan ke dalam organisasi pemuda daerah.
Upaya PPPI Mempersatukan Pemuda Melalui Gagasan
PPPI banyak memberikan kontribusinya terhadap pergerakan nasional di Indonesia, terutama upayanya dalam menyatukan organisasi pemuda kedaerahan. Mereka beranggapan gagasan fusi dapat menghilangkan tembok pemisah etnik dan agama di antara pemuda Indonesia. Dengan fusi, para pemuda akan merasa sebagai orang Indonesia sampai ke lubuk hati.
Melalui semangat persatuannya, PPPI terus menyumbangkan pemikirannya guna memberikan kesadaran bagi para pemuda. PPPI beranggapan bahwa satu-satunya senjata terhebat untuk melawan kolonial Belanda adalah semangat persatuan. Selama ini, Belanda terus memecah belah Indonesia melalui politik adu dombanya. Maka dari itu, sifat kedaerahan dan pertentangan perlu dibuang jauh-jauh.
Kongres pemuda pertama (30 April-2 Mei 1926)
Gagasan persatuan di antara organisasi pemuda semakin berkembang. Namun, terdapat masalah baru yang timbul, yaitu perbedaan pendapat tentang bentuk persatuan yang akan diterapkan. Sebagian pemuda menghendaki fusi, sedangkan sebagian lain menghendaki federasi.
Perbedaan pendapat tersebut mendorong digelarnya kongres pemuda pertama pada 30 April sampai 2 Mei 1926 di Jakarta. Kongres ini dihadiri wakil-wakil dari berbagai organisasi pemuda, wakil partai politik, dan wakil Pemerintah Hindia Belanda. Panitia kongres pertama itu berasal dari perwakilan organisasi pemuda:
Ketua : Mohammad Tabrani (JongJava)
Wakil Ketua : Soemarto (Jong Java)
Sekretaris : Djamaloedin (Jong Sumatranen Bond)
Bendahara : Soewarso (Jong Java)
Dipimpin oleh Mohammad Tabrani (Jong Java), kongres ini banyak membicarakan wacana tentang persatuan Indonesia, hak perempuan, dan bahasa persatuan. Hasil kongres ini memang belum dapat menyatukan para pemuda, tetapi setidaknya rasa persatuan nasional sudah mulai muncul.
Soemarto sebagai wakil ketua kongres, membawakan pidatonya yang berjudul Gagasan Persatuan Indonesia. Dalam ceramah itu, Soemarto menyinggung tentang organisasi pemuda. Ia beranggapan perlu dibentuk sebuah perkumpulan yang dapat menampung seluruh elemen pergerakan pemuda yang ada.
Pembicaraan mengenai kedudukan wanita Indonesia banyak dibahas pada kongres ini. Terdapat tiga pembicara, di antaranya adalah Bahder Djohan, Stientje Adams, dan R.T. Djaksodipoero. Ketiganya membawakan tema tentang persamaan hak wanita dengan pria.
Selanjutnya, Muhammad Yamin. Ia menyampaikan pidatonya yang berjudul Kemungkinan Perkembangan Bahasa-bahasa dan Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang. Yamin beranggapan bahwa hanya ada dua bahasa yang memiliki peluang menjadi bahasa persatuan yaitu, Bahasa Jawa dan Melayu.
Meskipun pada saat digelarnya kongres pemuda pertama PPPI belum lahir, tetapi gagasan tentang persatuan pemuda Indonesia sudah menggema di sepanjang kongres. Gagasan tersebut disampaikan oleh tokoh-tokoh yang nantinya akan mendirikan PPPI, empat bulan setelah usainya kongres pemuda pertama.
Kongres pemuda kedua (27-28 Oktober 1928)
Kegagalan Kongres Pemuda Pertama dalam mempersatukan pemuda Indonesia membuat Jong Java kehilangan peran dominanya dalam gerakan pemuda. Melihat kesempatan itu, PPPI tak tinggal diam. Mereka mengambil alih peran tersebut. Dengan para anggotanya yang telah merangkap menjadi anggota organisasi pemuda kedaerahan, membuat pergerakan PPPI menjadi lebih efisien.
Pada 3 Mei 1928, PPPI mengundang berbagai organisasi pemuda untuk mengadakan pertemuan di Indonesische Clubgebouw. Dalam pertemuan itu, membahas tentang panitia pelaksana kerapatan besar yang terdiri dari wakil-wakil organisasi pemuda. Susunan panitia tersebut di antaranya yaitu:
Ketua : Soegondo Djojopoespito, dari PPPI
Wakil Ketua : Djoko Marsaid, dari Jong Java
Sekretaris : Moh. Yamin dari Jong Sumatranen Bond
Bendahara : Amir Syarifudin , dari Jong Bataks Bond
Pembantu I : Djohan Moh. Tjai, dari Jong Islamieten Bond
Pembantu II : Kotjosungkono, dari Pemuda Indonesia
Pembantu III : Sunduk, dari Jong Celebes
Pembantu IV : J. Leimena, dari Jong Ambon
Pembantu V : Rohyani, dari Pemuda Kaum Betawilo
Terlihat jabatan-jabatan penting dalam panitia kongres dipegang oleh tokoh-tokoh PPPI. Soegondo Djojopuspito (ketua), Muhammad Yamin (sekretaris), dan Amir Sjarifudin (bendahara). Hal itu membuat PPPI memiliki peran besar pada kongres pemuda kedua ini.
Minggu tepatnya 12 Agustus 1928 di gedung Kramat 106 dilakukan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh perwakilan dari Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, dan Pemuda Kaum Betawi. Mereka berkumpul untuk membahas penyelenggaraan kongres pemuda kedua yang disepakati akan dilaksanakan pada Oktober 1928.
Tema dari kongres pemuda kedua ini diarahkan pada fusi atau persatuan pemuda seluruhnya. Ketika fusi disepakati, maka perkumpulan pemuda yang berasal dari daerah-daerah akan melebur menjadi satu. Meskipun ide persatuan telah lama diusung PPPI, tetapi masih banyak perdebatan yang sengit di kalangan pemuda daerah.
Hasil dari kongres pemuda kedua dicapai kesepakatan, bahwa semua goIongan yang turut serta akan bersatu dalam satu perkumpulan pemuda yang baru menjadi fusi. Dengan itu, lahirlah Sumpah Pemuda yang menyatakan bahwa Pemuda Indonesia:
Mempunyai satu tanah air, Indonesia
Satu Bangsa, Bangsa Indonesia
Satu Bahasa, Bahasa Indonesia
Dengan demikian, tercapailah impian PPPI dalam menyatukan para pemuda Indonesia. Hasil perjuangan PPPI dalam Kongres Pemuda Kedua yaitu disetujuinya usul fusi dengan lima suara setuju, dibanding dua suara menolak. Golongan yang menolak beranggapan bahwa fusi akan melemahkan semangat perjuangan karena bergabung dengan organisasi yang bersifat moderat.
Setelah Kongres Pemuda Kedua usai, PPPI mulai mengurangi perannya dalam pergerakan pemuda. PPPI tidak terlibat secara resmi dalam pembentukan Komisi Besar Indonesia Muda. Terdapat beberapa anggota PPPI yang terlibat pada saat itu, tetapi mereka mengatasnamakan perhimpunan asal yang bersifat kedaerahan. Seperti Koentjoro Poerbopranoto, Djaksodipoera, Soediman, dan Kartohadiprodjo yang membawa nama Jong Java dari pada PPPI. Demikian juga dengan Muhammad Yamin, Mohammad Tamzil, dan A.K. Gani yang membawa Jong Sumatra.
Aditya Yulianto
Editor: Ayu Cellia Firnanda