Ekspresionline.com–Pendidikan berhak didapatkan oleh semua kalangan masyarakat, namun masih banyak perempuan yang mendapatkan tantangan untuk menempuh pendidikan. Seperti pandangan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi sebab ketika menikah mereka hanya menjadi seorang ibu rumah tangga yang mengurus rumah dan bekerja di dapur. Perempuan yang berpendidikan juga dianggap sulit mencari jodoh yang setara dengan mereka. Selain itu, banyak yang masih berpendapat bahwa laki-laki lebih superior dalam hal kecerdasan.
Saat menerima pendidikan, keluarga lebih mengutamakan anak laki-laki terlebih dahulu, karena laki-laki dianggap sebagai pihak yang seharusnya menjadi kepala keluarga dan mencari nafkah. Dalam lingkungan pendidikan seperti perguruan tinggi, ketimpangan ini juga terjadi dengan pengotakan jurusan tertentu. Misalnya, jumlah mahasiswa jurusan teknik lebih didominasi laki-laki, sedangkan jurusan pendidikan, sosial, atau ekonomi didominasi perempuan.
Terdapat juga perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya, menomorduakan perempuan dalam pemilihan ketua suatu kelompok. Dalam pendidikan hal ini ditunjukkan dengan ketua OSIS atau kepala sekolah yang sering kali dari kalangan laki-laki. Keadaan ini disebabkan oleh stereotipe mengenai laki-laki memiliki kebijaksanaan dan kepemimpinan yang lebih baik.
Ketidaksetaraan Gender
Isu tersebut tidak terlepas dari peran ketidaksetaraan gender, yang membedakan antara perempuan dan laki-laki. Di Indonesia ketidaksetaraan gender tercermin dari budaya patriaki yang ada sejak zaman dulu dan mengakar pada pemikiran masyarakat. Kondisi tersebut tidak memberikan ruang pada perempuan dalam menunjukan kemampuan mereka.
Pengonstruksian budaya patriaki dimulai dari lingkungan keluarga, sedangkan dalam masyarakat seakan-akan terjadi begitu saja. Dapat dilihat dari posisi kepala rumah tangga yang didominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan berkiprah pada urusan memasak dan mengurus anak. Hasilnya, ketika dilihat secara keseluruhan, laki-laki menjadi lebih dominan dalam keluarga dan terbawa hingga ke dalam masyarakat. Seolah budaya patriaki menjadi pembenaran bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, emosional, dan tidak tahan banting. Stereotipe yang kejam dari masyarakat tersebut menjadi alasan sulitnya perempuan mendapat pengakuan sebagai individu yang bebas.
Selain itu, pemiskinan ekonomi banyak dialami oleh perempuan terutama di daerah pedesaan yang rata-rata profesinya adalah petani. Hal ini berawal dari asumsi bahwa petani identik dengan pekerjaan laki-laki yang perlu kekuatan lebih banyak. Alhasil, perempuan hanya mengerjakan pekerjaan yang mudah, tentu gaji yang didapatkan juga kecil. Keadaan ini tidak menguntungkan ekonomi rumah tangga sehingga perempuan dianggap tidak perlu bekerja dan bersekolah. Pandangan tersebut membuat perempuan tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan.
Salah satu bukti kesenjangan gender dalam bidang pendidikan dapat dilihat pada data statistik perbandingan jenis kelamin mengenai lama sekolah dan melek huruf di Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2018. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas, anak laki-laki sebesar 8,21% dan perempuan sebesar 7,13% sedangkan data statistik angka melek huruf pada laki-laki 91,86% dan perempuan 83,42%.
Pentingnya Pendidikan Perempuan
Melihat fenomena ini menunjukkan bahwa isu mengenai perempuan tidak dapat dipandang sebelah mata, perempuan layak mendapatkan perlakuan adil dan setara dengan laki-laki, dalam segala bidang. Terutama dalam pendidikan, sebab perempuan yang berpendidikan tinggi dapat menjadi seorang ibu yang berkualitas dalam mengajar generasi muda. Pendidikan dimulai dari keluarga, sedangkan ibu merupakan individu yang paling dekat dengan anak, bisa dikatakan guru pertama untuk anak adalah ibu.
Dengan demikian, perempuan yang memiliki karakter dan berkualitas dapat meningkatkan sumber daya manusia (SDM) negara. Cara agar hal tersebut bisa direalisasikan dengan mengupayakan pendidikan tinggi bagi perempuan. Selain itu mendorong perekonomian rumah tangga dan meningkatnya taraf hidup, sebab bila suatu keluarga hanya bergantung pada laki-laki, ketika terjadi sesuatu perempuan tidak dapat melakukan apapun yang menyebabkan tingkat kemiskinan naik.
Tidak ada alasan bagi perempuan untuk mendapat pertanyaan kenapa harus sekolah tinggi atau gunjingan bahwa perempuan kodratnya hanya mengurus rumah tangga. Terlepas dari perbedaan gender perempuan berhak mendapatkan kesempatan yang layak. Ada kegiatan yang lebih baik dilakukan oleh perempuan dan begitu juga sebaliknya. Seperti public relations yang lebih baik bila dilakukan oleh perempuan, sebab dalam kegiatan ini membutuhkan komunikasi sebagai skill utama dan perempuan memiliki kemampuan dalam hal verbal dan persuasi yang lebih baik dibandingkan pria. Hal ini didukung dengan pendapat Louann Brizendine dalam buku Female Brain yang mengatakan bahwa seorang wanita dapat menghabiskan sekitar 20.000 kata per hari sedangkan seorang pria hanya menggunakan sekitar 7.000 kata-kata.
Data ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kelebihannya sendiri dan tidak kalah dengan laki-laki. Maka pendidikan yang tinggi dapat mengasah perempuan untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Tidak perlu bertanya kenapa perempuan sekolah tinggi bila pada akhirnya menjadi ibu rumah tangga. Sebab tujuan dari pendidikan sendiri untuk meningkatkan mutu setiap orang baik itu perempuan maupun laki-laki. Jangan berkutat dengan pemikiran setelah sekolah akan jadi apa, pilihan untuk menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga adalah hak mereka. Setiap kegiatan yang dilakukan pada akhirnya akan kembali pada negara, baik mencetak generasi muda yang berkualitas atau meningkatkan SDM negara. Jangan menilai penting tidaknya pendidikan bagi perempuan dilihat dari profesinya kelak.
Alifia Sasmita Putri
Editor: Deidra Dawardhani