Ekspresionline.com–Hari Perempuan Internasional diperingati dengan aksi yang digelar oleh Komite International Women’s Day (IWD) pada Jumat (08/03/2024) di Bundaran UGM. Aksi ini diselenggarakan oleh setidaknya 37 organisasi dan komunitas, serta individu yang bergabung. Dengan tajuk “Mari Kak Rebut Kembali!”, peringatan aksi ini mencoba mengajak setiap kelompok, perempuan, dan individu untuk merebut kembali kemerdekaan yang artinya bebas dari penindasan.
Laili dari Lingkar Studi Sosialis (LSS) yang juga turut tergabung dalam aksi ini, menjelaskan bahwa tajuk tersebut diangkat untuk menandakan bahwa ada hak-hak perempuan dan hak-hak rakyat yang telah dirampas.
“Dan kita mengajak teman-teman semua untuk merebut haknya kembali. Sebenarnya juga untuk mengontekstualkan apa yang direbut kembali itu juga membebaskan dari interpretasi-interpretasi teman-teman sendiri, misalkan dari kawan-kawan perempuan apa sih yang mau direbut kembali gitu,” jelas Laili saat diwawancarai oleh awak Ekspresi (08/03).
Di peringatan Hari Perempuan Internasional ini, LSS sendiri mengangkat seruan tema yaitu perempuan dan rakyat bersatu, bentuk kekuatan politik alternatif, hancurkan sisa militer orde baru dan politik dinasti. Laili menjelaskan, bahwa seruan tersebut dipilih untuk merespon Hari Perempuan Internasional karena banyak sekali perampasan yang telah dilakukan oleh rezim.
“Misalkan ada perampasan rakyat, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Itukan bentuk-bentuk hak asasi manusia yang kemudian dirampas oleh negara itu sendiri,” jelas Lilili. Lebih lanjut, seruan akan politik alternatif dari rakyat merupakan bentuk atas ketidakpercayaan akan partai-partai yang menduduki di jajaran pemerintah.
“Mereka punya kepentingan mereka sendiri untuk melanggengkan kekuasaan para pemodal atau para pebisnis itu dengan undang-undang misalkan Omnibus Law, Undang-undang Cipta Kerja, dan juga Undang-undang Minerba. Jadi ya, agenda-agenda mereka itu kepentingan, ya cuma itu. Jadi untuk merebut hak-hak rakyat itu kita harus bersatu dan membentuk kekuatan politik dinasti, kekuatan politik rakyat sendiri,” ungkapnya.
Laili turut menyampaikan harapannya di aksi ini yaitu agar gerakan perempuan bisa lebih membesar lagi dan bersatu dengan rakyat.
“Jadi harapannya perempuan ikut memperjuangkan hak-hak perempuan dan rakyat nggak cuma di tanggal 8 Maret, tetapi memang konstan melakukan perlawanan dan protes-protes terhadap kebijakan yang merampas hak-hak rakyat. Ke depan, perempuan, bukan lagi ngomongin masalah perempuan, petani nggak cuma masalah tani, tapi semuanya itu bersatu dan memperjuangkan hak-hak bersama,” pungkas Laili.
Shani salah satu individu yang turut serta dalam aksi ini juga turut menyuarakan keresahannya. Ia menyuarakan keresahannya mengenai penyintas kekerasan seksual yang kerap kali didapatkan oleh mereka.
“Jadi [poster] ini tentang orang yang jadi korban kekerasan seksual. Mereka ini udah sakit, udah mengalami segala macam trauma, tapi tetap mengalami rasa malu yang harusnya nggak mereka rasakan. Padahal seharusnya, yang merasakan itu semua harusnya semua pelaku. Tapi karena korban itu sangat rentan dan di sosial itu juga, korban itu tidak banyak dimengerti dan kebanyakan malah disalahkan,” jelas Shani.
Lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa isu kekerasan seksual tersebut perlu terus disuarakan agar orang-orang menjadi lebih tahu. “Jadi kayak, aku angkat ini supaya orang-orang juga aware kalo korban kekerasan seksual itu juga perlu didengarkan dan ditemani, didampingi,” pungkas Shani.
Peringatan Hari Perempuan Internasional juga turut diikuti oleh kelompok difabel. Flo salah seorang teman tuli juga turut menyuarakan keresahannya di aksi kali ini. Ia berharap agar para difabel tuli bisa mendapatkan akses informasi yang lengkap dan jelas.
“Akses informasi bagi teman tuli itu penting, karena supaya temen-temen tuli [bisa] memahami informasi yang ada,” ungkap Flo.
Flo yang kini juga aktif bekerja di salah satu LSM menjelaskan bahwa seringkali mereka mendapatkan diskriminasi akibat kurang memahami informasi. Ia berharap agar akses pelatihan dapat disediakan untuk bisa membantu para difabel tuli mendapatkan kerja.
“Dan juga bisa memberikan akses pelatihan, kerja, karena teman-teman tuli banyak hambatan jadi banyak yang tidak bekerja gitu, susah mencari kerja. Jadi memang jarang yang mendapat kerja karena biasanya tuli dipaksa bicara oral dan tidak boleh berbahasa isyarat, pakek alat bantu dengar dan harus bisa mendengar,” imbuh Flo.
Lebih lanjut, ia juga menyampaikan bahwa para difabel tuli perlu adanya advokasi dan lebih inklusif untuk semuanya.
“Kami tetep berjuang bersama nggak sendirian, supaya terpenuhi akses-akses yang dibutuhkan. Tapi nggak hanya [akses bahasa] isyarat saja, tetapi juga inklusif ya. Misalkan memberikan bantuan layanan psikologi atau psikiater, karena sebenarnya banyak teman-teman tuli yang secara mental itu juga butuh untuk didampingi atau dilayani gitu,” pungkas Flo.
Ayu Cellia Firnanda
Reporter: Asyira Salsabila dan Ayu Cellia Firnanda
Editor: Rosmitha Juanitasari