Ekspresionline.com–Belakangan, kasus kekerasan seksual menjadi sorotan publik. Banyak berita di media yang mengangkat persoalan ini, sehingga semakin banyak kasus yang muncul ke permukaan. Kasus-kasus yang terjadi beragam dan tidak pandang bulu; semua bisa menjadi korban dan pelakunya pun bisa siapa saja. Kekerasan seksual juga bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, termasuk di lingkungan akademik seperti kampus. Salah satu contohnya adalah kasus kekerasan seksual yang baru-baru ini terjadi di Universitas Negeri Riau. Kasus tersebut dilakukan oleh dosen terhadap salah satu mahasiswanya.
Kampus yang seharunya menjadi tempat menimba ilmu pengetahuan yang aman, justru menjadi tempat rawan terjadinya kekerasan seksual. Mengutip data Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2015-2020, dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27% di antaranya terjadi di perguruan tinggi.
Selain itu, survei yang dihimpun Kemendikbud pada 2020 menyebutkan sebanyak 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Sementara itu, 63% tidak melaporkan kasus yang diketahuinya ke pihak kampus.
Lembaga Swadaya Masyarakatt (LSM) Rifka Annisa juga melakukan survei pengetahuan mahasiswa soal kasus kekerasan seksual yang dialami kampus di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Survei yang dilakukan mulai 25 Januari hingga 5 Februari 2020 tersebut menyatakan sebanyak 163 mahasiswa dari 19 kampus di DIY, mengaku mengetahui adanya kasus kekerasan seksual di sekitarnya.
Di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sendiri, dalam rentang 2020-2021, terdapat laporan 6 kasus dengan 7 korban. Data tersebut diperoleh dari komunitas Ruang Aman UNY. BEM KM UNY juga pernah membuat angket mengenai kekerasan seksual han menyebutkan adanya 7 laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Kasus-kasus tersebut mungkin saja lebih banyak dari jumlah data yang tercatat sebab tidak semua korban mau melaporkan kasusny. Banyak di antaranya yang ingin melapor tapi justru bingung harus ke mana. Kasus kekerasan seksual tak ubahnya seperti fenomena gunung es. Hanya sedikit kasus yang terlihat di permukaan, padahal sejatinya masih banyak kasus yang belum terungkap.
Beberapa perguruan tinggi belum memiliki layanan pelaporan kekerasan seksual dan SOP yang jelas. Dengan tidak adanya hal tersebut, membuat korban merasa kebingungan dan tidak memiliki jaminan keamanan serta pemulihan. Hal itulah yang seharusnya jadi perhatian pihak kampus agar tercipta lingkungan belajar yang aman.
Pentingnya Regulasi yang Holistik
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan perguruan tinggi telah disahkan pada 31 Agustus 2021. Adanya aturan ini menjadi kabar baik sebagai upaya untuk menciptakan ruang yang aman khusunya di lingkungan perguruan tinggi.
Terlepas masih terjadi adanya perdebatan dari beberapa pihak terkait isi Permendikbudristek ini, mengenai frasa “persetujuan korban” yang dianggap akan melegalkan mahasiswa melakukan seks bebas, tidak dimungkiri bahwa peraturan ini memiliki tujuan penting.
Permen ini menjadi sebuah respons yang tepat terkait banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di berbagai perguruan tinggi. Secara kesuluruhan isinya sudah cukup spesifik mengatur berbagai hal tentang kekerasan seksual, mulai dari penjabaran mengenai tindakan yang merupakan kategori kekerasan seksual yang mencakup fisik, verbal dan digital, hingga pemberian bantuan pemulihan terhadap korban.
Selain itu, dalam salah satu poin di dalamnya terdapat aturan yang mewajibkan perguruan tinggi melakukan evaluasi pencegahan kekerasan seksual di kampus. Evalusasi ini minimal dilakukan enam bulan sekali dan dalam keadaan genting. Adanya evaluasi penting untuk mengetahui hal-hal yang perlu dibenahi dalam proses penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.
Adanya aturan ini akan mendesak kampus untuk merancang kebijakan dan SOP penanganan dan pencegahan kekerasan seksual. Dalam komponennya, perguruan tinggi harus membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang bertanggungjawab pada pelaporan, pemulihan, pelindungan dan monitoring rekomendasi sanksi .
Dalam pasal 19, jika perguruan tinggi tidak melaksanakan, maka akan terekena sanksi administratif berupa penghentian bantuan keuangan dan bantuan sarana prasarana dan penurunan tingkat akreditasi Perguruan Tinggi.

Pada September 2020 lalu, dengan ditandatangani Rektor Sutrisna Wibawa, UNY mengesahkan Peraturan Rektor Nomor 17 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual di Kampus. Tidak banyak yang tahu, apalagi membahas aturan tersebut, karena memang tidak ada sosialisasi yang dilakukan oleh pihak kampus.
Hal itu semakin menguatkan anggapan bahwa pembuatan Peraturan Rekor tersebut hanya sebagai formalitas saja. Terlebih, aturan di dalamnya sama sekali belum eksplisit. Salah satunya contohnya adalah belum menjelaskan mengenai layanan pelaporan, sehingga jika terdapat kasus korban akan kebingungan ke mana harus melapor.
Dalam pasal 8, tata cara penanganan kasus masih merujuk pada kode etik dosen, mahasiswa dan tenaga pendidikan. Padahal, di dalam kode etik tersebut tidak menyebutkan secara gamblang aturan mengenai kekerasan seksual dan hanya merujuk pada larangan tindak pidana dan norma kesusilaan. Ketidakjelasan tersebut memicu anggapan bahwa UNY bermain aman.
UNY belum menjadi tempat yang aman bagi penyintas kekerasan seksual. Perlu sikap yang sungguh-sungguh dari pihak birokrasi untuk segera merombak aturan yang didalamnya mencakup layanan pelaporan, sistem penangan, dan upaya pencegahan sesuai dengan apa yang diperintahkan dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.
Nuriyah Hanik Fatikhah
Editor Fadli Muhammad