Semester baru berakhir di Desember, masih mampukah menjalani perkuliahan sampai hari ini, mahasiswa?
Ekspresionline.com–Saya kira seusai dinyatakan lulus seleksi penerimaan masuk kuliah, seketika itu saya mampu kuliah, rupanya saya hanya bisa kuliah dibandingkan jutaan orang Indonesia yang tidak dapat merasakan bangku perkuliahan. Saya termasuk 10% orang beruntung yang dapat mengenyam pendidikan perguruan tinggi. Belakangan ini pun saya meragukan lagi keberuntungan tersebut dengan pertanyaan “Apakah saya mampu menjalani perkuliahan ini?” Kemudian saya mulai bertanya-tanya, apakah peruntungan ini akan bertahan dan selesai atau berhenti di tengah jalan.
Saya pernah mendengar cerita teman yang harus melakukan perjalanan Klaten–Jogja selama tiga jam lamanya untuk menempuh perkuliahan di Universitas Negeri Yogyakarta. Kalau boleh saya katakan, dia adalah bagian orang-orang yang beruntung seperti saya. Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah, betapa enaknya, mungkin itulah pikiran orang-orang yang tidak pernah mendengarkan ceritanya. Belakangan ini, mungkin viralnya beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) yang tak tepat sasaran di media sosial memicu orang-orang berpandangan semua penerima KIP-K sebenarnya hanya berpura-pura miskin.
Suatu ketika ponsel jadulnya mendadak mati, sementara ia belum punya uang untuk membeli yang baru, beruntung laptop jadulnya masih dapat digunakan. Berbulan-bulan ia hanya dapat berkomunikasi lewat laptop karena ponselnya tak bisa diperbaiki lagi. Perkembangan komunikasi digital membuat mereka yang tidak mendapatkan akses digital akan kesulitan menyeimbangkannya. Presensi kuliah kini dilakukan secara digital, diskusi kelompok dilakukan secara daring, pembuatan tugas kini diunggah secara digital, dan bahan perkuliahan yang relevan lebih mudah diakses lewat digital. Saya kira penderitaannya akan sampai di situ saja, beberapa waktu kemudian akibat motornya yang sama jadulnya, ia mengalami kecelakaan, nasib laptopnya pun rusak. Dia pernah berkata, dia akan membeli laptop jika dana biaya hidupnya turun. Sayangnya seperti yang kita tahu, web KIP-K diserang hacker. Ketika penyerangan itu dianggap candaan di sejumlah media sosial, ia hanya bisa menunggu pencairan dana biaya hidup itu tanpa kepastian. Dia harus menjalani ketimpangan di antara mahasiswa lain yang memiliki ponsel dan laptop yang memadai. Apakah dia mampu? Tentu dia harus mampu sebagai anak beasiswa yang harus punya IPK tinggi agar beasiswa tidak dicabut.
Kuliah hanya untuk yang mampu-mampu saja maka saya membenarkan ucapan Sekretaris Kemendikbudristek menanggapi soal kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi pada bulan Mei lalu. Saya kira ucapan Ibu Tjitjik Sri Tjahjandarie benar adanya bila perkuliahan ini adalah kebutuhan tersier. Orang-orang yang kebutuhan primer dan sekundernya belum terpenuhi, jangan bermimpi untuk kuliah karena kuliah hanya untuk yang mampu-mampu saja. Cukup jadi miskin dan tak pendidikan agar tetap mudah untuk dibodohi.
Tentang dibodohi, saya sebagai orang-orang yang tidak berpura-pura miskin dan mendapat beasiswa KIP-K merasakan salah satu syarat menjadi bodoh adalah miskin. Namun, saya tidak akan membodoh-bodohi diri sendiri jika saja dapat kuliah. Menurut studi Hackman 2010, adanya keterkaitan pengaruh tingkat kecerdasan kognitif anak dengan pendapatan orang tua akibat stimulasi di rumah. Saya cukup setuju akan hasil studi ini, pada kenyataan orang miskin cenderung kesulitan mendapatkan pendidikan sejak dini. Bagaimana bisa memikirkan tingkat literasi anak jika untuk memenuhi kebutuhan wajib saja kesulitan. Bagaimana orang tua dapat berpikir tentang pemenuhan kondisi biologis anak untuk merangsang tingginya kecerdasan kognitifnya jika mereka hanya bertengkar soal ekonomi setiap hari. Jangankan pendidikan tinggi, sebatas pendidikan dasar saja hanya dapat dipenuhi bagi yang mampu-mampu saja.
Saya mungkin bagian dari orang-orang beruntung untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, punya tingkat kognitif yang cukup baik hingga dapat dibiayai beasiswa. Akan tetapi, saya melihat sendiri beberapa tetangga saya putus sekolah akibat tak mampu membiayai pendidikan karena tingkat kognitifnya rendah dan tak punya kesempatan mendapatkan beasiswa. Jangankan berpikiran melanjutkan perguruan tinggi negeri, masuk sekolah negeri dengan persaingan yang ketat itu pun, mereka tak diterima.
Dari pengalaman tersebut, muncul keinginan untuk merubah narasi bahwa pendidikan tinggi adalah untuk yang mampu secara ekonomi saja. Ada banyak cerita perjuangan mahasiswa seperti teman saya yang seharusnya menjadi inspirasi dan motivasi untuk membuat sistem pendidikan yang lebih inklusif. Mungkin bagi beberapa orang, biaya pendidikan tinggi hanya sebagian kecil dari pengeluaran mereka, tetapi bagi sebagian lainnya, itu adalah perjuangan bertahun-tahun yang membutuhkan keberanian, pengorbanan, dan bahkan keberuntungan.
Sekretaris Kemendikbudristek menyebutkan bahwa kenaikan UKT adalah sebuah kebijakan yang tidak dapat dihindari karena kebutuhan operasional perguruan tinggi yang meningkat. Namun, apakah kenaikan ini sudah mempertimbangkan nasib mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu? Apakah subsidi pendidikan sudah benar-benar tepat sasaran? Saya rasa, permasalahan utama bukan pada kenaikan biaya itu sendiri, tetapi bagaimana sistem dapat memastikan bahwa tidak ada anak bangsa yang kehilangan kesempatan hanya karena alasan ekonomi.
Penting bagi kita semua, terutama pemerintah dan lembaga pendidikan, untuk melihat pendidikan sebagai investasi jangka panjang bagi masyarakat. Program beasiswa seperti KIP-K seharusnya tidak hanya menjadi solusi sementara, tetapi juga alat untuk mengurangi ketimpangan sosial dalam jangka panjang. Selain itu, pengawasan terhadap program ini perlu ditingkatkan agar benar-benar menyasar mereka yang paling membutuhkan.
Pendidikan tidak seharusnya menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Perjuangan mahasiswa seperti teman saya yang harus menghadapi berbagai keterbatasan adalah bukti bahwa masih banyak yang ingin berusaha dan berjuang meskipun keadaan tidak berpihak pada mereka. Saya berharap, cerita-cerita seperti ini tidak hanya menjadi potret perjuangan tetapi juga menjadi pemicu perubahan dalam sistem pendidikan kita.
Jika keberuntungan adalah syarat untuk mendapatkan pendidikan, kita sedang menciptakan generasi yang terputus dari mimpi-mimpi mereka. Pendidikan seharusnya menjadi hak, bukan keberuntungan. Kita semua, sebagai bagian dari masyarakat, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk meraih masa depan yang lebih baik, terlepas dari latar belakang ekonomi mereka.
Aprilia
Editor: Mutia Himmatul Hayah