Ekspresionline.com–Di bawah terik matahari, Bu Kumiyati, bersama rekan-rekan seprofesinya para pedagang kaki lima (PKL) Malioboro lantang berdiri di barisan depan aksi Jogja Memanggil pada Kamis (20/02/2025). Mereka dengan berbinar membaur dalam balutan massa lainnya yang berpakaian hitam.
“Alasannya [ikut aksi] biar PKL Malioboro itu benar-benar diperjuangkan. ‘Kan, selama direlokasi kami merosot pendapatannya,” ujar Kumiyati pada Ekspresi.
Kumiyati merasa terus merugi semenjak pemindahannya ke Teras Malioboro 2 di Beskalan. Ia mengatakan sudah hampir dua bulan jualannya tidak laku sama sekali.
“Pokoknya [pendapatan kami] terjun bebas selama dipindah ke TM [Teras Malioboro] 2 di Beskalan. Kami sudah hampir dua bulan enggak ada laku sama sekali,” ujarnya.
Dikutip dari Detik, Kepala Dinas Koperasi dan UKM DIY mengatakan akan ada relokasi pedagang Teras Malioboro II di Beskalan mulai 2025. Total akan ada 1.041 pedagang yang direlokasi.
Rencananya, para pedagang akan menempati bangunan tiga lantai seluas 8.000 meter persegi. Menurut dinas terkait, mereka akan diberi fasilitas terbaik menggunakan Dana Keistimewaan DIY. Di samping itu, pemerintah juga menekankan mereka harus berkomitmen dan mau berbenah apabila mau difasilitasi.
Pemda DIY menyatakan sudah ada kesepakatan dengan para pedagang bahwa mereka hanya akan menempati Teras Malioboro II selama dua tahun. Setelahnya, Pemda telah menyiapkan tempat relokasi baru di area Beskalan.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal lain. Kumiyati dan rekannya yang lain belum juga mendapat kepastian relokasi.
“Kemarin itu memang ada relokasi, tapi dari pihak kami enggak diikutsertakan dalam setiap wacana,” ujar Kumiyati.
Karena alasan itulah Kumiyati dan PKL Malioboro lainnya menyuarakan tuntutannya dalam aksi Jogja Memanggil. Mereka merasa dimiskinkan dengan pendapatannya yang semakin berkurang.
Perjuangan yang kokoh dengan mentalitas yang tinggi ditunjukkan para PKL yang mayoritas Ibu-Ibu tersebut. Semangat mereka tak kalah membara dibanding massa aksi para mahasiswa.
Pada awal Februari, tepatnya pada Jumat (07/02/2025) sempat terjadi kericuhan saat PKL Malioboro melancarkan aksinya di depan gedung DPRD Yogyakarta. Massa orang tak dikenal berjumlah sekitar 20 orang merangsek dan membubarkan massa dengan kericuhan.
Beberapa pihak menyatakan kelompok yang menyerang para pengunjuk rasa tersebut adalah sesama pedagang yang dirugikan oleh aksi. Namun beberapa pihak pula merasa yakin mereka merupakan kelompok preman.
“[Kami menduga] ada oknum tertentu yang menyuruh preman [untuk ikut aksi]. Kemungkinan seperti itu. Jadi, seolah-olah [pelaku] itu dari pihak kami [sesama pedagang],” ujar Sumiyati.
Walaupun pernah direpresi secara verbal bahkan melalui kekerasan, Kumiyati dan rekannya tampak tak kapok ikut menyusuri Malioboro yang dilimpahi sinar menyengat siang itu.
Bekas Teras Malioboro II jadi Tempat Sampah
Drama relokasi pedagang seolah tiada habisnya. Keputusan pemindahan pedagang oleh Pemda DIY belum mampu memenuhi harapan mereka.
Beberapa waktu lalu sempat viral di media sosial sampah memenuhi Teras Malioboro II lama. Sampah berplastik-plastik tersebut diperkirakan mencapai 30-40 rit (muatan truk). Dinukil dari Kompas, Ahmad Haryoko, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta menyatakan bahwa sebagian besar sampah tersebut adalah sampah sisa pedagang.
Di sisi lain, Kumiyati berpendapat bahwa gunungan sampah tersebut bukan dari pihak PKL melainkan dari pihak UPT ( Unit Pelaksana Teknis). Saat mereka meninggalkan lokasi hanya tersisa sampah basah, kardus, dan besi-besi.
“Soalnya waktu kami pergi cuma ada sampah-sampah biasa, kayak plastik, kardus, sama besi-besi,” terang Sumiyati.
“[Sampah] itu pun sudah diambil pemulung. Jadi, kalau untuk sampah yang kemarin di situ itu sampah basah,” lanjutnya..
Tak lama setelah mengundang tanya warganet, DLH segera melakukan pemindahan sampah dari bekas Teras Malioboro II ke TPS Piyungan.
Sumbu Filosofi: Tahta untuk rakyat?
Kami terus menyusuri jalan pasca menyambangi Kumiyati dan rekannya. Suara-suara teriakan dan orasi muncul sepanjang jalan Malioboro.
Berbagai elemen menyampaikan orasinya dengan menaiki mobil komando. Tampak sebuah mobil pick up yang kabinnya dipasangi dua megafon, di atasnya meraung suara mesin diesel sebagai sumber energi listrik.
Di pojokan trotoar, seorang perempuan paruh baya dengan menggendong boks berisi minuman segar untuk dijual sedang asyik merekam video jalannya demonstrasi. Ia adalah Sari, seorang pedagang asongan asal Temanggung yangsudah berjualan di Malioboro selama tujuh tahun.
Ia tersenyum saat dihampiri, dari raut wajahnya ia merasa antusias akan adanya demonstrasi. Dengan ponsel pintarnya ia mengabadikan rentetan massa aksi yang terlihat membentangkan spanduk berisi tuntutan maupun sekedar remah-remah kekecewaan pada pemerintah.
“Ya, senang saja. Biar [ada] kemajuan,” Sari dengan malu menyikapi aksi tersebut.
Saat ditanya terkait larangan berjualan asongan di Malioboro, ia takut-takut menjawab. Dengan ragu ia merasa tidak berani dan berkapasitas menjawabnya.
“Kalau saya, apa, ya … Enggak usah jawab, Mas,” ujarnya, “Jangan divirallin ya, Mas.”
Ia menjadi salah satu pedagang yang kecewa dengan kebijakan penertiban pedagang asongan dan PKL, terutama terhadap Sultan Hamengkubuwono X selaku pihak Kraton Yogyakarta. Aturan yang mulai berlaku menurutnya sangat berdampak pada masyarakat kecil.
Dahulu, Sari berjualan di Titik Nol Yogyakarta. a bercerita bahwa petugas UPT sering mengejar dan menyita dagangannya. Suaminya merupakan seorang tukang becak yang penghasilannya tak menentu. Dengan pekerjaan keduanya yang tak banyak menghasilkan untung, Sari dan suaminya mengais rezeki dengan penuh kekhawatiran.
Tak hanya soal pekerjaan, Sari juga mengeluhkan sulitnya membayar sekolah anaknya. Ia mengkritisi keputusan efisiensi anggaran pemerintah yang nantinya membatasi kepentingan publik demi kelancaran program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Ya, maunya gitu [meniadakan program MBG,” Sari mengakui. “Masa sekolah makannya gratis, tapi sekolahnya nggak.”
*****
Kami meninggalkan Sari dengan ketakzimannya melihat demonstrasi. Ia dan pedagang asongan lainnya merasa terberkati dengan adanya massa yang membludak. Rezeki Tuhan, begitulah mungkin gumamnya di hati.
Jalanan yang padat membuat sebagian massa beralih ke pedestrian, sebagian bahkan memilih berteduh di depan pertokoan. Kami membaur dengan wisatawan yang asik juga melihat jalannya aksi di sepanjang pedestrian Malioboro.
Peristiwa janggal muncul di depan kami. Terlihat seorang perempuan paruh baya yang tengah berjualan dicegat oleh seorang petugas berseragam hitam. Perempuan itu membawa troli berisi boks sejumlah air mineral yang ia jual.
Dalam seragam petugas tersebut tertulis “Jogorogo”. Di pundaknya terpampang logo salah satu instansi milik Pemda DIY. Ia terlihat tengah menegur pedagang tersebut yang tengah melayani pelanggan. Tak lama, perempuan pedagang asongan tersebut segera menyingkir dengan tertunduk.
Kami lantas mengejar seorang pria yang disinyalir petugas UPT Malioboro itu. Saat kami temui dengan ramah ia mengiyakan bahwa dirinya petugas UPT.
Ia juga membenarkan bahwa dirinya menegur pedagang asongan agar tidak berjualan di area pedestrian. Saat diminta keterangan lebih lanjut, ia menolak untuk menjawab.
Malah, ia mengarahkan kami untuk menemui pimpinannya di posko. Petugas itu merasa dirinya tidak berkapasitas untuk memberikan pernyataan.
Kami pun segera menuju posko yang ditunjuk di depan Pasar Sore Malioboro. Pak Bendi, itulah setidaknya yang teringat dari arahan pria berseragam UPT tadi yang harus kami tuju.
Malang tak dapat ditolak, kami tidak menemui sang pimpinan UPT tersebut. Hanya ada beberapa anggota UPT yang berada di posko dan menanyai identitas kami. Saat kami jawab, mereka menyatakan pimpinan mereka ikut mengawal di samping massa aksi.
*****

Tak mau menghabiskan waktu, kami kembali untuk mencari sosok sang ibu yang ditegur tadi. Beruntung, kami menemukan sosok ibu itu tengah berjualan di depan barisan polisi yang nampak tak acuh dengan keberadaanya.
“Boleh wawancara, Mas, tapi dibeli ya?” ujar pedagang itu yang ternyata bernama Sayi. Ia bersedia diwawancarai asal dibeli dagangannya.
“Kita di sini enggak boleh dodol, Mas,” ujar Sayi sembari mengambilkan dua botol air yang kami beli. Ia tak memiliki kembalian, alasan itulah yang membuat kami membeli dua botol.
Wajahnya keruh penuh peluh. Rambutnya yang memutih berkilauan di bawah panas matahari yang menyengat.
Sayi berkisah dirinya sering dikejar-kejar pihak UPT. Saat tertangkap dagangannya sering disita dan ia dipersilahkan pulang.
“[Dagangan saya sering] disita, nggak dikembalikan,” tuturnya.
Senyum tipis menyembul pada wajah Bu Sayi setelah dagangannya kami beli. Segera ia melanjutkan perjalanan menjajakan air segar ke massa aksi, meninggalkan kami, berpindah dari satu kerumunan ke kerumunan lain.
Kumiyati, Sari, dan Sayi adalah potret mereka yang menantang keadaan demi sesuap nasi bagi keluarga. Perjuangan mereka tak surut oleh panas dan derasnya arus represivitas penguasa.
Peristiwa tersebut merupakan suatu pengalaman yang jelas, ketika kami melihat pengusiran dan larangan pedagang asongan di Malioboro. Cerita-cerita mengenai pedagang asongan yang disita dagangannya dan direpresi pemangku kebijakan bukan gosip semata.
Pemda DIY tengah gencar melakukan penataan wilayah guna menertibkan kawasan yang oleh UNESCO diakui sebagai warisan budaya tak benda. Kawasan tersebut merupakan penarikan garis lurus dari gunung Merapi sampai pantai selatan.
Menurut pihak Keraton, Sumbu Filosofi–sebutan untuk kawasan tersebut–merupakan suatu wilayah yang sarat akan nilai filosofi Jawa. Menurut Menur Ajar Permono, dosen UIN Sunan Kalijaga, kawasan tersebut merupakan simbol Sangkan Paraning Dumadi (perjalanan kehidupan). Kawasan tersebut disinyalir strategis untuk mengembangkan kawasan wisata berkelanjutan berbasis budaya.
Dengan alasan demikian maka terbitlah Pergub DIY Nomor 2 Tahun 2024. Dalam peraturan tersebut termuat arahan gubernur mengenai tata kelola kawasan Sumbu Filosofi.
Dalam liputan oleh Mojok, atas dasar pengakuan UNESCO itulah banyak timbul penggusuran, penangkapan pedagang asongan, dan relokasi PKL dari satu Teras ke Teras lain terjadi. Malioboro, Panggung Krapyak, Parangkusumo, dan “Sultan Ground” lainnya menjadi lokasi yang terkena hempasan isu penertiban.
Rizqy Saiful Amar
Reporter: Rizqy Saiful Amar, Danang Nugroho, Ilham Noor Fahmi, Faturrahman
Editor: Nugrahani Annisa