Ekspresionline.com—Lembaga Pers Mahasiswa Arena UIN Sunan Kalijaga menggelar diskusi publik bertajuk “Papua, Rasisme dan Persoalan HAM” pada Rabu (4/9/19). Diskusi publik tersebut diselenggarakan di Gelanggang Teater Eska UIN. Ahmad Jamaludin, mahasiswa pascasarjana UIN hadir sebagai salah satu pembicara bersama Dodok Putra Bangsa, aktivis Jogja Ora Didol, serta Oni Oscar dari Aliansi Mahasiswa Papua.
Menurut Ahmad, orang-orang sekarang ini senang sekali membedakan manusia berdasarkan suku, ras, dan agamanya. “Di Jogja sendiri banyak kos maupun kampung yang mendiskriminasi orang Papua. Perbedaan kita dengan Papua memang ada di masyarakat, namun perbedaan ini beberapa tahun terakhir semakin menguat dan dapat kita lihat bagaimana pembedaan ini dapat merusak tatanan di dalam masyarakat,” paparnya.
Diskriminasi terhadap orang Papua di Jogja juga dipaparkan oleh Dodok. “Puncaknya sekitar 15, 16, 17, atau 18 Juli 2016, Brimob datang dengan seruan ‘Papua ngamuk’. Sampai saat ini kalau mahasiswa Papua mau aksi, di Jalan Kusumanegara ditutup aparat dengan alasan Papua ngamuk di Asrama Kamasan.” Ia menambahakan munculnya pesan siaran (broadcast) yang menggunakan kalimat “Papua ngamuk” juga turut mengubah pola pikir masyarakat terhadap orang Papua.
Ahmad menambahkan, diskriminasi sistemik membuat tidak banyak orang Papua yang dilibatkan dalam sistem pemerintahan. “Ada sebuah sistem yang timpang dalam penegakan keadilan di Indonesia,” tambahnya.
Kemudian Ahmad menjelaskan doktrin nasionalisme Indonesia dengan meminjam konsep “komunitas terbayang” Benedict Anderson. “Kita ditanamkan doktrin bahwa kita harus nasionalis, dari Sabang sampai Merauke dengan orang-orang yang tidak pernah kita temui. Imajinasi seperti itu yang dipegang oleh orang-orang dengan keyakinan NKRI harga mati,” jelasnya.
Setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Baginya, salah satu masalah serius setelah kemerdekaan Indonesia adalah hipernasionalisme yang dibarengi tidak dilibatkannya masyarakat dalam negosiasi perihal nasib bangsa Indonesia.
Selanjutnya, Ahmad memberikan tanggapan tentang kemerdekaan Papua, “Saya tidak sepakat dengan Papua merdeka, karena hak warga dan hak manusia bisa diayomi dengan tetap gabung bersama Indonesia. Tapi saya juga tidak menolak jika mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora karena itu bagian dari sejarah Papua,” pungkasnya.
Dodok juga memberikan tanggapan senada, “Saya tidak setuju Papua pisah dari Indonesia, tapi saya juga tidak rela orang Papua ditindas oleh Indonesia.”
Sedangkan mengenai kemerdekaan Papua, Oni Oscar memiliki tanggapan yang berbeda. Ia setuju dengan kemerdekaan Papua, karena permasalahan Papua berkaitan dengan sejarah dan ide-ide leluhurnya. Oni menambahkan bahwa sejak dulu, Papua memang tidak terlibat dalam penggagasan negara Indonesia.
Selanjutnya ia menanggapi tentang permasalahan di Papua apabila sudah lepas dari Indonesia. “Ya memang harus diakui referendum tidak menjamin masalah masalah kemanusiaan dan pelanggaran HAM di Papua akan hilang, keluar dari sistem,” pungkasnya.
Nastiti Ajeng
Editor: Ikhsan Abdul Hakim