Bagi orang-orang yang tidak mengerti mengenai bantuan dana pemerintah bagi mahasiswa, mungkin kurang memperhatikan perihal program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. KIPK KIPK ini merupakan salah satu program dari Kemendikbud untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu dari segi perekonomiannya dalam memenuhi pembayaran-pembayaran berkaitan dengan pendidikan seperti UKT dan kebutuhan sehari-hari atau living cost mereka. Bantuan ini diberikan senilai 6,6 juta untuk kemudian dibagi lagi menjadi 4,2 juta rupiah untuk biaya hidup dan 2,4 juta rupiah untuk memenuhi UKT para mahasiswa.
Baru-baru ini, pemerataan bantuan dana KIPK rupanya menjadi perbincangan bagi para mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta karena adanya perbedaan waktu pencairan dana bantuan tersebut. Perbedaan waktu ini kemudian menuai tanda tanya di kalangan mahasiswa karena dana bantuan ini memang sangat dibutuhkan bagi mahasiswa terkhususnya untuk memenuhi biaya hidup mereka. Untuk menganalisa isu ini, penulis mengumpulkan data yang didapatkan melalui survei mahasiswa penerima KIPK pada tahun 2020 (KIPK-2020) sejumlah 288 orang dengan menggunakan media Google Form.
Kendala mahasiswa penerima KIPK-2020, dari Kesulitan Mengurus Berkas hingga Kurangnya Komunikasi
Menurut hasil survei yang sudah penulis lakukan bersama anggota Litbang LPM Ekspresi, kendala utama mahasiswa dalam penggunaan KIPK ini adalah adanya keterlambatan cairnya dana bantuan kehidupan (living cost) mahasiswa. Dari 288 responden, 44,5% (128 mahasiswa) menyatakan mereka mengalami keterlambatan dalam menerima bantuan dana KIPK. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat ketidakjelasan kurun waktu pencairan dana bantuan KIPK 2020 yang kemudian menyulitkan mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Beberapa mengeluhkan keterlambatan karena rata-rata mahasiswa lain yang terdaftar di KIPK menerima bantuan tersebut di awal bulan, sedangkan mereka baru mendapatkannya satu bulan setelahnya atau pertengahan bulan. Padahal, banyak dari mereka yang membutuhkan dana tersebut untuk membayar tagihan bulanan indekos atau untuk membeli buku-buku referensi perkuliahan. Salah satu responden juga menyatakan bahwa dia sampai harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ketika dana bantuan ini belum cair.
Penulis kemudian mempertanyakan lebih lanjut mengenai alasan keterlambatan menurut para mahasiswa. Rupanya, mahasiswa juga tidak memiliki alasan pasti dari keterlambatan pencairan dana ini. Namun, beberapa mahasiswa memberi tanggapan bahwa ada kemungkinan data yang mereka kumpulkan ke pihak kampus belum terverifikasi. Hal ini kemudian dibantah oleh Prof. Dr. Edi Purwanta, M. Pd., Wakil Rektorat II UNY.
“Komitmen birokrasi baik, problem utamanya lacakan nomor rekening tidak lengkap termasuk nomor HP, laporan teman pelaksana masih ada lo mahasiswa yang tidak punya rekening,” ucap Pak Edi.
Selain masalah keterlambatan pencairan dana, hal lain yang kerap disoroti oleh mahasiswa pengguna KIPK adalah perihal ketentuan dari pendaftaran KIPK dan sistem pengurusan berkas untuk mengklaim dana bantuan KIPK tersebut. Pasalnya, hal ini juga menjadi salah satu faktor keterlambatan cairnya dana KIPK itu sendiri. Dalam survei, ada mahasiswa yang mengatakan bahwa ia tidak mendaftar, tetapi mendapat email langsung dari pihak kampus. Namun, tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai detail isi email dari pihak kampus ini.
Beberapa mahasiswa juga mengaku tidak mengetahui tata cara dalam proses pendaftaran dan pengumpulan berkas-berkas karena kurangnya inisiatif dari pribadi mereka sendiri dan kurangnya komunikasi dengan pihak mahadiksi atau FOMUNY terkait pengurusan berkas. Dari sini, dapat diketahui bahwa keterlambatan dana bisa jadi disebabkan oleh pihak mahasiswa penerima KIPK itu sendiri.
Pernyataan ini juga sejalan dengan jawaban Pak Edi ketika ditanya mengenai faktor lain keterlambatan pencairan dana selain dari pihak mahasiswa, beliau mengatakan “Hasil monitoring saya tidak, karena bila data rekening dan nomor HP sudah ok, langsung diproses.” Kemudian ketika beliau ditanya mengenai rentang waktu dan proses dalam pencairan dana bantuan KIPK ini, sampai tulisan ini terbit tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Ketidaktahuan ini juga disebabkan oleh dampak dari pandemi Covid-19 di mana semua penjelasan dan arahan hanya dijelaskan secara online melalui grup Whatsapp. Kurangnya komunikasi tatap muka serta arahan-arahan yang hanya dijelaskan melalui satu file PDF, membuat mereka bingung harus menanyakan detail lebih lanjut kepada siapa—jika mereka memiliki pertanyaan. Ada juga yang kebingungan karena penyerahan berkas dilempar dari satu website ke website yang lain.
Walaupun beberapa mahasiswa berargumen mengenai ketidaktahuan ini, jumlah mereka masih lebih sedikit daripada mahasiswa penerima KIPK yang sudah memahami proses pendaftaran dan pengumpulan berkas yang dibutuhkan. Hasil survei menunjukkan bahwa 207 mahasiswa penerima KIPK 2020 (71,9%) cukup mengetahui bagaimana mengurus berkas untuk pencairan dana KIPK ini. Mayoritas mahasiswa juga menyatakan bahwa pengurusan berkas ini terbilang cukup mudah, yang penting aktif mencari info dan memantau grup FOMUNY jikalau ada info baru mengenai dana bantuan mereka.
Program KIPK Merdeka: Mempertanyakan Keadilan bagi Kaum Mahasiswa
Untuk tahun ajaran 2021/2022 ini, Kemendikbud mencanangkan program KIPK Merdeka yang diperuntukkan khusus bagi mahasiswa baru tahun 2021, yang berarti mahasiswa penerima KIPK pada tahun-tahun sebelumnya (KIPK 2020 dan Bidikmisi) tidak dapat mengikuti program ini. Sistem pemberian bantuan ini juga berbeda dengan sistem KIPK pada tahun-tahun sebelumnya. Jika KIPK 2020 memberikan bantuan dengan jumlah yang sama rata (4,2 juta rupiah untuk biaya hidup dan 2,4 juta rupiah untuk pembayaran bantuan UKT), program KIPK Merdeka ini akan membagi jumlah bantuan pada mahasiswanya sesuai dengan prodi mereka masing-masing.
Jika mahasiswa tersebut masuk di prodi dengan akreditasi A, penerima akan mendapatkan bantuan maksimal 12 juta rupiah. Kemudian, jika masuk di prodi dengan akreditasi B, maka ia akan mendapatkan maksimal 4 juta rupiah. Jika masuk di prodi dengan akreditasi C, maka bisa mendapatkan bantuan maksimal 2,4 juta rupiah. Begitu juga dengan biaya hidup, individu yang mendaftar KIPK akan mendapatkan bantuan sesuai dengan indeks harga daerah.
Indeks harga daerah ini dibagi dalam 5 jenis klaster. Misalnya, mahasiswa yang masuk pada klaster 1 akan mendapat bantuan sebesar Rp800.000; klaster 2 mendapat bantuan sebesar Rp950.000; klaster 3 mendapat bantuan sebesar Rp1,1 juta, sedangkan untuk klaster 4 sebanyak Rp1.250.000 dan klaster 5 sebanyak Rp1,4 juta.
Program baru ini rupanya cukup menimbulkan pro dan kontra di kalangan mahasiswa. Dari hasil survei, mayoritas mahasiswa kontra menyatakan ketidaksetujuannya dengan program KIPK Merdeka ini karena menimbulkan ketidakadilan di kalangan mahasiswa. Beberapa juga mengungkapkan keresahan akan timbulnya kesenjangan dan kecemburuan sosial pada penerapannya ke depan.
Sedangkan, mahasiswa pro cenderung menerima kebijakan tersebut dan beranggapan bahwa program ini baik untuk diterapkan. Mereka juga mengungkapkan bahwa kebijakan ini sesuai dengan keadaan sekarang karena setiap daerah memiliki biaya hidup yang berbeda-beda, sehingga lebih menguntungkan mahasiswa untuk mengelola keuangan mereka. Namun, beberapa juga beranggapan bahwa sepertinya akan lebih baik jika sistem ini diberlakukan juga untuk angkatan-angkatan sebelumnya.
Ketika mahasiswa diminta untuk memilih, ternyata persentase mahasiswa yang memilih program KIPK Merdeka lebih banyak (69,1% atau199 mahasiswa) daripada program KIPK 2020 (30,9% atau 89 mahasiswa), karena dirasa lebih menjanjikan dan lebih adil bagi seluruh mahasiswa.
Tanggapan Pihak FOMUNY Mengenai Keterlambatan Pencairan Dana Bantuan KIPK Mahasiswa
Kendala yang dialami mahasiswa terkait kesulitan komunikasi dengan pihak mahadiksi memang menjadi salah satu faktor terbesar dari masalah keterlambatan pencairan dana bantuan ini. Tegar dari FOMUNY menyebutkan, komplain mengenai keterlambatan cairnya dana bantuan pada semester ini lebih banyak daripada semester sebelumnya. Akan tetapi, tidak ada data konkrit mengenai jumlah mahasiswa yang mengajukan komplain.
Kemudian untuk keterlambatan biaya hidup mahasiswa, tergantung dari pihak bank itu sendiri. Maka dari itu, kurun waktu cairnya dana ke tangan mahasiswa juga tidak bisa dipastikan. Jika kemudian ada mahasiswa yang terlambat mendapatkan dana, maka pihak FOMUNY akan meminta data mahasiswa yang bersangkutan, untuk kemudian diserahkan pada pihak birokrasi agar dapat segera diproses pencairan dananya.
Selain itu, menurut Vanessa (pihak FOMUNY) keterlambatan dana juga biasanya disebabkan oleh mahasiswa itu sendiri, karena mereka terlambat melakukan registrasi. Namun, perbedaan nominal untuk biaya hidup tidak pernah terjadi. “Kalau masalah perbedaan jumlah tidak ada, besarnya tetap 4,2 juta. Kalau perbedaan waktu itu ya tergantung dari mahasiswanya saat melakukan registrasi. Jika melakukan registrasi terlambat, turunnya pun akan terlambat,” ucapnya.
Amelinda Salsabila Laily
Reporter: Defi Trianingsih
Editor: Aang Nur Hikmah