Ekspresionline.com–Polemik kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi UNY tempo lalu cukup memicu reaksi emosional di kalangan mahasiswa. Sebagian besar dibuat marah, kala tulisan hasil Tim Kolaborasi Liputan Kekerasan Seksual di Indekos yang dimuat di Suara.com, berdesakan isu dengan konten-konten hiburan di beranda digital mahasiswa.
Seorang perempuan beralih identitas sebagai Andini, mengungkap kisah dirinya yang mengalami kekerasan seksual oleh senior Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang diikutinya. Mirisnya, kampus tempat Andini berkuliah seakan naif terhadap isu kekerasan seksual yang menimpa salah seorang mahasiswinya.
Bukan hanya marah saya pikir, mereka yang terganggu secara batin melakukan kerja-kerja kekepoannya di beranda digital. Kerja-kerja kekepoan yang didorong oleh spontanitas emosional, lantas melahirkan oknum preman digital.
Citra preman yang secara aktual lekat akan gaharnya penampilan fisik, kini menjelma teks-teks digital dan visual. Mereka merangsek beranda digital melalui upaya membocorkan ‘spill’ identitas asli penyintas, pelaku, hingga UKM duduk perkara polemik ini. Bila perlu, mereka tak segan memvonis sanksi sosial sepihak, malar-malar, masif merujaknya habis-habisan.
Lalu, setelah semua identitas itu terungkap, lantas apa capaian yang telah diperoleh? Apakah kehadiran preman-preman digital, sekaligus eksekutor vigilantisme itu, dapat membantu penanganan kekerasan seksual yang Andini alami?
Andini di UNY
Tanpa mengurasi rasa hormat saya kepada pembaca, mari saya perkenalkan dengan UNY, kampus yang unggul, inovatif, serta kreatif, lamun terlampau naif terhadap isu kekerasan seksual. Di mana sebagian masyarakat kampusnya masih menggunakan relasi kuasa sebagai basis perjuangan kekerasan seksual. Namun jikalau persoalan kekerasan seksual tengah berkecamuk, mereka justru mengemis regulasi kepada pihak birokrasi–yang sebenarnanya makin menambah ketimpangan kuasa.
Mungkin masyarakat UNY luput dalam membaca isu kekerasan seksual yang hanya dimaknai sebatas perkara formal, kaku, dan hanya dapat ditempuh melalui laju birokrasi struktural—yang sebenarnya “suram”. Sebagaimana permasalahan gender pada umumnya, kekerasan seksual juga mesti dibaca sebagai problem kultural. Problem yang bahkan begitu dekat dengan liku kehidupan mahasiswa. Misalnya praktik gerilya yang menjelma spill di akun-akun menfess, “tukang rujak” di Twitter, hingga yang mengatasnamakan dirinya seorang “aktivis kekirian”, tetapi terangsang oral pada perbincangan-perbincangan vigilantisme di kedai kopi.
Berkaitan dengan polemik Andini, saya akan banyak bercerita ihwal pengalaman ketika singgah di “semesta” warung makan (burjo). Di salah satu semestanya, saya menemukan mayoritas wisatawannya ialah masyarakat UNY. Dalam kacamata saya, kehadiran wisatawan di sana tak hanya dilandasi atas kepentingan biologis, melainkan juga erat akan kebutuhan sosiologis. Kebutuhan yang mana konsumennya saling bertukar informasi guna mengiri ruang percakapan.
Demi terpenuhinya kebutuhan sosiologis, Andini sebagai identitas asli bocor di ruang percakapan mereka. Kebocoran yang dibawa berkeliaran dari teks-teks digital, kemudian melebur menjadi laku oral. Mungkin juga, melebur sebagai syarat menjalin interaksi sosial.
Saya sepakat dengan argumen Amos pada terbitan esai sejenis di Ekspresi, yang mengajak agar semua orang menyudahi spill identitas korban kekerasan seksual. Bahwa, “Identitas korban [kekerasan seksual] KS adalah hal yang harus dilindungi, bukan menjadi hal yang dieksploitasi”.
Sebagaimana kasus di semesta burjo tersebut, alih-alih mengapresiasi langkah speak up Andini dengan berempati kepadanya, para wisatawan justru mengeksploitasi kasus tersebut, semata guna memuaskan hasrat keingintahuan mereka.
Dalam ruang percakapan aktual tersebut, Andini ditempatkan sebagai objek yang tereksploitasi; dibedah secara brutal identitasnya; diramu secara vulgar kronologisnya, dan; secara lugu menempatkan pengalamannya terpisah dari diri mereka. Seolah-olah hanya Andini-lah yang mengalami kekerasan seksual di kampus.
Saya curiga bahwa bocornya identitas Andini tidak hanya terjadi di semesta burjo semata, melainkan kebocoran ini juga terjadi di berbagai ruang aktual lainnya.
Konsekuensi dari kebocoran tersebut dapat memperkeruh ruang hidup penyintas. Malar-malar berpotensi membawa beban baru yang bahkan belum sepenuhnya lepas dari beban hidupnya sebagai penyintas kekerasan seksual. Lebih parahnya, ia mesti menangung semua itu seorang diri—“Andini”, ditanggungnya sebagai beban.
Andini adalah Saya dan Saya melawan
Saya pikir, upaya kultural yang dapat masyarakat UNY lakukan guna bersolidaritas terhadap Andini, selain menempuh laju birokrasi–yang berdarah-darah, yakni kesudian diri menempatkan Andini sebagai subjek yang setara. Tawaran radikalnya yakni kesudian untuk melebur bersama Andini, sebagai sebuah simbol atau identitas perlawanan. Sehingga dalam hal ini, saya menempatkan Andini berada dalam diri saya sendiri.
Persyaratan mental agar dapat meleburkan diri dengan Andini adalah memegang bekal kesadaran. Kesadaran untuk berpihak dan berempati terhadap penyintas, sekaligus berkenan menyembuhkan kelainan mental yang sifatnya patriarki, dangkal, serta vulgar.
Ketika upaya kultural semacam ini dapat disepakati bersama, beban Andini sebagai penyintas, target spall–spill di akun menfess, hingga perempuan yang berani speak up tetapi justru dibocorkan identitas aslinya, dapat berkurang.
Beban Andini tidak lagi ditangung seorang diri semata, tetapi kita juga dapat bersolidaritas menangung beban tersebut. Dengan kata lain, Andini yang telah bocor identitas aslinya, berubah menjadi identitas kolektif. Bisa pula dimaknai sebagai simbol perlawanan terhadap masalah gender, patriarki, serta kekerasan seksual lainnya.
Ketika diri mampu beresonansi dengan Andini, kita dapat menemukan bahwa perjuangan Andini menjadi bagian dari perjuangan kita.
Jika Tashoora menggunakan “Agni” dalam lagunya sebagai simbol perjuangan melawan kekerasan seksual di “kampus gajah”, sepantasnya pula kita menggunakan Andini sebagai simbol perlawanan kolektif terhadap upaya kekerasan seksual di kampus UNY.
***
Sebagai pertimbangan, tulisan ini tidak bermaksud secara gamblang menyudutkan identitas asli Andini. Bagaimanapun juga penyintas telah mengalihkan identitasnya sebagai Andini. Maka, tulisan ini adalah bentuk apresiasi serta solidaritas saya yang turut menangung perjuangan Andini sebagai “Andini”.
Pun tulisan ini tidak mentah menyasar kepada kawan-kawan yang berjuang di garda terdepan. Garda di mana telah dilakukannya pengawalan inklusif terhadap penyintas seksual melalui rumitnya laju birokrasi, bahkan rela tidak ter-spill oleh akun menfess. Sejatinya, saya angkat topi terhadap perjuangan kalian. Setidaknya lebih bijak ketimbang masyarakat menfess yang geram dan sekadar menuntut kejelasan terhadap kasus tersebut, tetapi tanpa melakukan upaya lain yang lebih berarti.
Tulisan ini juga bagian dari upaya saya menawarkan pandangan lain. Pandangan yang menghadirkan isu kekerasan seksual melampaui perjuangan keadilan gender yang teregulasi—secara struktural, sehingga maknanya tidak dapat dipisahkan dari tindak tanduk kultural dan sosiologis kita.
Suden
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri