Ekspresionline.com–Prolog
Belakangan ini, isu Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi perbincangan hangat di kancah nasional. Berbagai media tak ketinggalan turut menyorot isu ini. Mulai dari media massa, media sosial, sampai ke media “rumpi” ibu-ibu kompleks. Artinya, penyebarannya cukup masif sampai ke ranah privat paling sentimentil—rumah tangga.
Saya beranggapan bahwa isu UKT (di luar rumah tangga) yang telah masuk ke ranah diskursus ibu-ibu kompleks pastilah menarik. Maksudnya, isu ini punya tendensi yang begitu jauh dan dalam. Karena UKT atau isu pendidikan tidak pernah jauh dari kelindan masalah keluarga, maka isu ini sangat mudah menjangkit perhatian kaum populis.
Lalu, mengapa polemik UKT sekarang ini menjadi permasalahan yang mendadak serius dan bahkan jadi perbincangan banyak orang? Padahal isu ini bukan isu yang baru, sehingga hampir tak pernah menarik bagi kalangan mahasiswa, apalagi ibu-ibu kompleks.
Ternyata, ada suatu kisah ‘thread’ yang disajikan oleh akun Twitter @rgantas dan menyebabkan persoalan ini disorot oleh banyak pihak. Kisah itu milik Riska. Dia “digambarkan” begitu pilu sehingga mampu mengemparkan jagad dunia maya. Bahkan saya sendiri pun tak mampu membacanya sampai rampung lantaran mata yang tak lagi bisa menahan tangisan di tengah kisah.
Dalam thread tersebut, saya dibuat tercengang dengan perjuangan seorang mahasiswi UNY yang berjuang mati-matian demi membayar UKT untuk tetap melanjutkan pendidikannya. Dia adalah seorang yang gigih dalam belajar. Entah mengapa, semangatnya dalam menempuh pendidikan tinggi untuk mengubah masa depan, dapat memikat simpati banyak orang. Malahan bisa menjadi sebuah motivasi untuk kawannya dalam belajar. Sayang, orang segigih ia harus pergi meninggalkan kita terlebih dulu.
Memikiran kisah Riska membuat saya merinding. Iba rasanya harus melihat seorang kawan merasakan hal semacam itu. Lantas siapa yang harus bertangung jawab atas kisahnya?
Polemik UKT di UNY
Setelah saya mendalami kisah Riska pada perenungan yang lumayan panjang, ada gejolak batin menyembul dari kepala.
Saya mencoba membuat pemikiran ulang mengenai Riska dan persoalan UKT di UNY. Sepenangkapan pengalaman saya, seringkali metafora-metafora kasus serupa dengan Riska turut terjadi di UNY. Hanya saja—mungkin—kisahnya tidak sampai meletus sekeras naiknya kisah Riska oleh twit @rgantas.
Terakhir kali ketika saya mencoba mengikuti perkembangan isu UKT di UNY, ternyata UNY Bergerak dan LPM Ekspresi sudah mengadakan survei bersama untuk mengetahui polemik UKT mahasiswa di sini. Survei ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak mahasiswa yang keberatan membayar UKT. Hasilnya, sebanyak 1.045 mahasiswa mengisi angket dengan keterwakilan setiap angkatan 100%, keterwakilan fakultas 100%, dan keterwakilan jalur masuk 100%. Artinya hasil angket ini, saya rasa cukup mewakili mahasiswa UNY.
Saya tidak menyangka kawan-kawan dari UNY Bergerak dan LPM Ekspresi bisa mendapatkan responden sebanyak ini. Saya berasumsi ribuan mahasiswa yang mengisi angket ini karena tidak adanya wadah yang ideal bagi mahasiswa yang keberatan membayar UKT. Masalahnya, beberapa mahasiswa yang keberatan membayar dan telah mengajukan penyesuaian golongan, mayoritas hasilnya nihil. Sebanyak 97,80% mahasiswa yang mengisi angket merasa keberatan dengan golongan UKT-nya.
Polemik ini semakin rumit. Salah satunya karena tidak ada skema penyesuaian golongan UKT dengan alasan penurunan ekonomi di Surat Edaran (SE) No. 1/SE/2023. Skema yang diakomodasi hanya diperuntukkan bagi mahasiswa yang orang tua atau pihak yang membiayai kuliahnya meninggal dunia.
Saya melihat survei di atas berusaha menunjukkan bahwa “Riska” bukan cuma satu. Begitu banyak Riska-Riska lainnya yang punya akar permasalahan sama. Tak lain ialah problem UKT yang menjadi momok bagi mahasiswa.
Meninjau dari situ, Riska bukan lagi dipandang sebagai permasalahan kultural atau emosional—kisah pilu. Ia melibatkan problem yang lebih kompleks. Karena sejatinya, yang bermasalah bukan kisahnya tetapi sistem di dalam institusi kampus, khususnya UNY.
Bahkan misalnya tanpa adanya kisah Riska, saya melihat UNY bobrok secara struktural. Ia tak mau mengakomodasi pendidikan yang inklusif. Buktinya, tidak ada toleransi bagi mahasiswa yang mengalami penurunan ekonomi di SE yang ditandatangani Sumaryanto pada 5 Januari itu.
Kritik Wacana bagi Mahasiswa dan Kampus
Ironinya, ribuan lebih mahasiswa, sekali lagi saya ulangi, ribuan lebih mahasiswa bermasalah dengan kebijakan ini. Namun kita bisa lihat sampai saat ini, tidak ada satu “aksi” pun yang sudah dilancarkan oleh segenap civitas academica ke Birokrasi UNY. Sikap macam apa ini?
Pertanyaan itu membuat saya terus bepikir. Apakah mahasiswa sekarang sudah kehilangan sensibilitas mereka?
Sebenarnya tak harus menemukan sampai seribu, seratus ribu, lebih-lebih hingga satu juta mahasiswa untuk melancarkan aksi. Satu saja mahasiswa tak bisa kuliah karena masalah biaya, itu artinya negara dan kampus telah gagal dalam menjalankan mandat pendidikan.
Saya pun mengharapkan bahwa mahasiswa dapat menjadi garda terdepan untuk mendobrak kebijakan pendidikan yang batil. Persoalannya, mahasiswa sebagai agen perubahan tak bisa banyak diharapkan.
Selain itu, susasana intelektual di UNY juga tidak terbentuk dengan baik. Hal itu dikarenakan birokrasi kampus tidak mengerti tradisi intelektual sama sekali. Setiap kali kawan-kawan membangun “wacana aksi”, berbagai tindak represif digalakkan. Mulai pemangilan sepihak tanpa konsensus, teror dari dosen atau sesama mahasiswa, bahkan ancaman (pemukulan, drop out, pencabutan hak-hak kuliah, skors, dll.).
Saya mendapat kabar terbaru, @rgantas alias sang Pembuat Twit yang juga mahasiswa UNY dipanggil oleh Rektor UNY, Sumaryanto. Kabar ini bisa di lihat di Detik.com dengan tajuk Rektor Panggil Pembuat Utas Mahasiswa UNY Berjuang Bayar UKT hingga Wafat (17/1/2023). Pemanggilan ini mengingatkan saya dengan tradisi era Orde Baru Soeharto (OBS) yang kerap digalakkan untuk mematikan “gerakan mahasiswa”.
Lalu, bagaimana menciptakan kultur intelektual yang kritis jika kita berwacana, beraksi, dan bergerak saja harus menanggung ketakutan represifitas?
Alih-alih menciptakan mahasiswa yang kritis, institusi kampus justru menajikan kuasa pengetahuan mereka untuk menjadikan mahasiswa sebagai seorang pekerja. Misalnya, kampus yang menerapkan kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) menggiring mahasiswanya dari orientasi pendidikan akademik ke muatan vokasional yang kuat. Wacana ini juga disinggung oleh Agus Suwignyo di Kompas.id dengan judul Guncangan Kampus Merdeka (10/1/2023).
Sepertinya alasan di atas menjadi lebih konkret lagi karena intensitas mahasiswa yang melawan aturan-aturan menindas di kampus lambat laun menurun.
Hal lain yang bisa menjadi sorotan adalah birokrasi kampus yang melarang mahasiswanya berdemonstrasi. Hal ini menjadi suatu problem yang cukup “lucu”.
Saya tak akan mencoba membandingkan dengan aksi yang revolusioner, tetapi pada sektor paling dasar. Kawan-kawan di taman kanak-kanak (TK) saja punya kuasa atas otoritas tubuhnya untuk menolak makan atau tidur siang dan lebih memilih bermain. Artinya, di usia dini pun, kebebasan bertindak tak pernah dibatasi dalam pemikiran apalagi perbuatan. Mengapa justru ketika di usia remaja dan dewasa, justru hak dan kebebasan itu direpresi?
Ketika kebebasan berpikir dan bertindak telah dikungkung oleh represifitas, mahasiswa justru acap kali memilih tunduk dan diam. Mereka memilih kalah. Bahkan usaha untuk “bangkit” dari represifitas sangat minim. Itu pun bila kondisi psike mahasiswa masih sanggup untuk melawan penindasan.
Menukil dari salah satu unggahan UNY Bergerak, “Karena mendiamkan penindasan adalah penindasan itu sendiri.” Bila dikaitkan dengan kasus ini, birokrasi sebagai institusi yang menindas serta mahasiswa yang memilih diam adalah subjek dari penindasan yang dimaksud.
Polemik yang terjadi di UNY bukanlah perkara janggal. Kampus ini seharusnya memproduksi mahasiswa yang berani melawan penindasan. Sementara itu, mereka malah mencoba mengonstruksi mahasiswa menjadi penurut yang patuh pada aturan. Buruknya, aturan itu sebenarnya merugikan mereka.
Penyebabnya adalah hegemoni kuasa yang tertanam di dalam tempurung kepala para otoritarian kampus. Hegemoni ini merupakan bentuk dominasi struktural yang menggunakan kekuasaan. Maksudnya, kampus digunakan oleh para otoritarian yang merasa lebih besar dibandingkan seluruh mahasiswa dan organ di dalamnya untuk melanggengkan dominasinya.
Epilog
Pola-pola konstrustuksi yang dilakukan kampus membuat mahasiswa beralih individualis. Mereka dipaksa berpikir bahwa isu-isu ini akhirnya bisa diselesaikan secara perseorangan. Padahal polemik UKT bukan hanya persoalan pribadi, tetapi problem sistemik yang menjangkit banyak orang.
Jika boleh, saya akan kembali mengingatkan pembaca ke kisah awal yang sudah dipantik. Saya mengambarkannya dalam Lagu Hidup karya Sisir Tanah.
Jika kau masih cinta kawan dan saudara
Jika kau masih cinta kampung halamanmu
Jika kau cinta jiwa raga yang merdeka
Tetap saling melindungi
Dalam lagu ini, saya menggambarkan Riska dan korban-korban lainnya sebagai subjek tertindas dalam persoalan UKT. Mereka mengingatkan kita semua untuk terus berimajinasi mengenai apa pun, termasuk kebebasan berpikir dan bertindak. Lagu Hidup mengimbau kepada kita untuk senantiasa menjaga kewarasan terhadap persoalan paling dekat (kawan, saudara, kampung, halaman, dan jiwa raga pribadi), atau bahkan persoalan terjauh sekali pun.
Modal utama untuk menjalin kewarasan itu adalah “cinta”. Karena cinta, manusia menasbihkan esensinya sebagai makhluk sosial yang saling menjaga demi menopang kehidupan. Termasuk cinta-lah yang merekatkan mahasiswa-mahasiswa untuk berjuang melawan penindasan.
Saya mengakhiri tulisan ini dengan kutipan dari Eko Prasetyo dalam diskusi yang dihelat oleh UNY Bergerak dengan judul “ADA APA DENGAN UNY? Kesaksian Korban UKT di UNY”.
Dalam diskusi itu, Eko Prasetyo menutup pembicaraannya dengan sebuah pertanyaan retoris, “Hari ini sejarah memihak kepada kalian dan pertanyaannya, apakah kalian mampu memanggul beban sejarah itu?”
Aldino Jalu Seto (Kontributor)
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri