Oleh Rony K. Pratama
(Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY)
Ekspresionline.com–Sejak opini saya dimuat Ekspresionline Kamis silam, dua tanggapan disampaikan Koboi Kampus dan Abdul Hadi. Keduanya punya corak respons, namun dipertautkan pendapat yang relatif sama, yakni argumentasi saya luput dari inti pembahasan Rizal Amril.
Kalau keduanya mendaras secara jeli, poin yang saya utarakan cenderung menekankan pada politik label “Orde Baru” berikut praktik penyematannya yang saya sebut perspektif hiperbolis. Ketimbang opini Abdul yang cenderung membangun argumen secara deduktif, saya lebih memilih konstruksi kekhasan uraian Rizal yang setidaknya mengartikulasikan secara induktif.
Daripada Rizal, Abdul menguraikan gagasan dari perspektif umum ke khusus. Abdul, lagi-lagi, mengambil pijakan prolog lewat produksi istilah “Orde Baru” yang diasosiasikan olehnya kerap menggunakan “ungkapan kondang kritik yang membangun”. Saya kira bila ia memahami poin kritik pada tulisan saya sebelumnya niscaya tak akan mengulang kesalahan serupa.
Baik Abdul maupun Koboi Kampus lemah dalam membaca secara kritis tulisan saya yang mempersoalkan pilihan penamaan “Orde Baru” sebagai rujukan untuk melabeli rektorat. Labelisasi semacam itu menunjukkan ketidakpahaman atas wacana kuasa-pengetahuan melalui bahasa yang beroperasi di dalamnya.
Baiklah kalau mereka tak memahami konsep ini. Berikut akan saya jelaskan secara sederhana, singkat, dan relevan. Pertama, Orde Baru di bawah rezim Soeharto melabeli dirinya dengan diksi baru dan menyematkan lama untuk pemerintahan Soekarno. Penamaan tersebut jelas politis. Soeharto mewacanakan pemerintahan ‘yang baru’ dan menggeser ‘yang lama’ dan formasi diskursif ini berdampak sistemik pada produksi pengetahuan setelahnya.
Kedua, politik label demikian berimplikasi luas, salah satunya, melalui bahasa. Ketiga, menarasikan kembali istilah “Orde Baru” berikut mengambil sifatnya untuk kemudian disematkan ke Rektorat adalah upaya serampangan, tergesa-gesa, dan ahistoris.
Itu kenapa saya menyarankan kepada Rizal untuk memakai tiga pendekatan metodologis agar apa yang disematkan dalam tulisannya dapat dipertanggungjawabkan. Bukan sekadar “penelusuran sederhana” sebagaimana disebutkannya, melainkan mengajak Rizal lebih argumentatif dalam menyusun gagasan tertulisnya.
Pada tulisan sebelumnya, saya menyebut secara eksplisit, kenapa merekomendasikan Rizal agar mendaras ulang penyematan itu. Semata-mata karena, “Tugas saya sebagai kawan yang sempat berdiskusi dalam satu forum bedah buku Matinya Kepakaran karya Tom Nichols….”
Tapi Abdul impoten dalam membaca secara semantik rekomendasi itu. Ia malah menyebut “Rony ternyata membantah dengan mengeluarkan jurus-jurus menggurui ala Yasonna Laoly.” Sebuah ucapan yang, sekali lagi, serampangan dalam merespons rekomendasi di atas.
Belum lagi stigmatisasi berupa “kedudukannya sebagai peneliti literasi menempatkannya di menara gading pengetahuan yang tak tersentuh isu akar-rumput mahasiswa” yang diuraikan Abdul makin memperjelas bahwa ia memang tak memahami duduk perkara yang saya kemukakan.
Kritik saya menyasar pada konstruksi argumen dan politik label yang dilakukan Rizal, namun Abdul memperluasnya ke topik-topik yang irelevan dengan poin-poin yang saya paparkan. Kalau ia ingin menyeret saya ke sederet isu-isu kampus, lalu mempartisi saya sebagai bagian dari Rektorat yang mereka kritik, itu sah-sah saja. Saya menghargai kebebasan pendapat seluas-luasnya.
Bila saya tak menyinggung sejumlah masalah yang dianggap “inti” dari kritik Rizal bukan berarti argumen saya jauh panggang dari api. Saya membatasi ranah tulisan, bukan memperlebar data untuk dikerangkakan ke dalam esai. Saya memfokuskan satu topik untuk didialogkan, bukan menumpahkan data untuk dinarasikan—kekhasan opini Abdul yang terlihat bukan “menulis” melainkan “berak” secara tergesa-gesa itu.
Demokrasi Deliberatif
Selain aspek yang sengaja saya sodorkan sebagai kritik kepada Rizal, namun dianggap Abdul “menggurui” itu, maka saya akan memperlebar perbincangan ini ke dalam tiga poin—sesuai kritik Abdul.
Pertama, saya tak sepakat dengan sitiran Kardono Setyorakhmadi yang diambil Abdul sebagai landasan premis dalam mendikotomikan keberjarakan antara analisis ilmiah dan ketakberesan di lapangan. Abdul seakan-akan mengimani pula pernyataan cibiran berupa “kebanyakan teori minim terjun ke lapangan” sebagai sebuah pembenaran.
Teori adalah kristalisasi dari praktik, sedangkan praktik—seberanekarupa coraknya—selalu berbasiskan teori. Menghitamputihkan keduanya berarti banal membaca letak ontologis konsep teori dan praktik. Aksi massa dengan keanekaragaman kajian wacana yang diusung, model organisasi macam apa yang diorkestrasikan, pembagian tugas seperti bagaimana yang didistribusikan, suka tak suka, adalah hasil dialektika antara teori dan praktik.
Kedua, sikap saya terhadap kritik mahasiswa kepada Rektorat, sekali lagi, sesuai tulisan saya sebelumnya, adalah bentuk kebebasan beropini yang mesti dilindungi secara hukum. Saya menolak pembungkaman pikiran, apa pun bentuknya, selama wacana yang diusung didasarkan atas penyelidikan ilmiah. Kalau memang label “antikritik” itu disematkan kepada individu maupun instansi tertentu, saya kira tugas berikutnya adalah melakukan kajian.
Setelah kajian lalu dikomunikasikan. Kawal terus-menerus sampai mendatangkan konsensus. Bukan malah terus memproduksi wacana “antikritik” di media sosial yang alih-alih emansipatoris, malah justru terkungkung pada selebrasi semu. Boleh jadi ia berdampak signifikan terhadap aktivisme digital yang menjadi modal besar bagi pengerahan massa. Namun, itu diperlukan kerja kolektif, bukan malah menegaskan keliyanan terus-menerus.
Ketiga, saya sepakat dengan salah satu poin cita-cita LPM Ekspresi, yakni “intelektual kritis”. Sejak tujuh tahun silam saya pertama kali mengirimkan esai ke Ekspresionline, poin ini saya beri makna sebagai laku. Bagaimana ia dipraksiskan? Saya meminjam konsep demokrasi deliberatif yang dipaparkan Jürgen Habermas.
Ketumpangtindihan isu mahasiswa yang mengemuka dan dipercakapkan di ruang publik UNY, sebagaimana disebutkan Abdul, memerlukan kerja bersama dari kedua belah pihak. Demokrasi deliberatif menekankan sekaligus meningkatkan partisipasi publik secara luas (sivitas akademika), bukan malah saling “mencurigai”, apalagi “merepresi”.
Demokrasi deliberatif bermakna tersirat bahwa formasi pendapat, aspirasi pikiran, maupun kedaulatan harus termediasikan secara demokratis. Di sini jelas tugas Abdul yang telah mengutip banyak isu “akar rumput” sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut. Agar tiada prasangka di antara kedua belah pihak, bila arah pembahasan hendak dibawa secara produktif, maka saya menyarankan duduk bersama.
Saya menunggu Abdul—juga Rizal—gayung bersambut atas partisipasi ini. Supaya yang diduga “pemberangusan demokrasi” itu kita uji keabsahannya di ruang publik.
Editor: Ikhsan Abdul Hakim
Tulisan 2: Perspektif Hiperbolis “Rektorat UNY Bau Orde Baru”: Menguji Argumentasi Rizal Amril Yahya
Tulisan 3: Bagaimana Rektorat UNY Menjadi Anti-Kritik?
Tulisan 4: Politik Label dan Fetis Aksi: Tanggapan untuk Abdul Hadi
Tulisan 5: Bersama Rony, Melawan Rony, Melawan Represifitas Rektorat
Tulisan 6: Antara Sosok dan Nilai: Khayalan Rofi Mencari Sikap