Ekspresionline.com–Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat mulai diterapkan pemerintah sebagai upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 yang terus merebak di Indonesia. Kegiatan ini merupakan perpanjangan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sebelumnya sudah dilaksanakan. Awalnya, PPKM Darurat ini hanya akan dilakukan hingga 20 Juli 2021 saja. Namun, pada akhir masa PPKM Darurat tersebut, pemerintah melalui Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyatakan bahwa PPKM Darurat akan diperpanjang hingga akhir Juli 2021. Perpanjangan PPKM Darurat ini memang bertujuan untuk menekan angka positif Covid-19. Namun, bagaimana dengan efektivitas dan risikonya? Terlebih, masih banyak masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi akibat berlakunya pembatasan sosial yang sebelumnya juga diterapkan.
Bagi saya, bukan suatu masalah apabila PPKM Darurat ini harus diperpanjang, asalkan hal tersebut dapat dibarengi dengan kerja nyata pemerintah untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya. Bagaimana tidak? Semua kegiatan yang melibatkan pertemuan dengan orang lain tidak diperbolehkan, termasuk dalam hal tersebut adalah upaya untuk mencari nafkah. Bahkan, belakangan ini marak tersebar video yang menunjukkan tindakan represif yang dilakukan oknum aparat kepada para pedagang kaki lima yang beritanya menyebar di semua media digital. Jika demikian, bagaimana cara masyarakat mendapatkan haknya untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya?
Pada Kamis, 29 Juli 2021, saya sempat berbincang dengan Pak Untung yang merupakan penjual buah keliling. Dari penuturannya, beliau mengaku turut terdampak akan adanya PPKM Darurat ini, khususnya dari segi finansial. “Lha wong dagang sebelum PPKM saja susah, mbak, apalagi sekarang PPKM saya nggak dibolehin masuk ke desa lain. Nggak ngarep lebih, bisa makan saja alhamdulillah.” Pak Untung juga mengeluhkan kinerja pemerintah yang dinilai lambat dalam menangani pandemi saat ini. Beliau sangat menyayangkan kondisi Indonesia yang masih belum dapat terbebas dari pandemi seperti negara lain. “Negara lain sudah bisa ngerayain pesta sepak bola, liburan ke mana saja tanpa takut virus lagi. Lha di sini kita mau cari uang saja kena cegat sana sini. Ya mungkin untuk orang kantoran mudah saja, mbak, mereka bisa kerja dari rumah. Kalau orang seperti saya? Nggak keluar, yo nggak makan.” Beliau menambahkan, orang yang melanggar PPKM bukan berarti tidak mau menuruti pemerintah, tetapi bisa saja ada alasan ekonomi yang mendesaknya untuk beraktivitas di luar. Pemerintah seharusnya tidak hanya membuat peraturan dan larangan, tetapi juga disertai solusi yang menjamin kesejahteraan masyarakat.
Berbicara mengenai solusi, mari sejenak bernostalgia pada tahun 2018, yaitu ketika pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2018. Undang-undang tersebut merupakan aturan baru yang menjadi harapan bagi masyarakat untuk dapat merasa terlindungi kesehatannya. Namun, kini aturan tersebut kembali dipertanyakan eksistensinya dalam penanganan pandemi belakangan ini.
UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 merupakan payung hukum yang diterapkan untuk mendukung pemerintah dalam upaya melindungi kesehatan masyarakat dari gangguan penyakit maupun faktor risiko kesehatan yang berpotensi menimbulkan darurat kesehatan masyarakat, baik di perbatasan pintu masuk negara maupun di dalam wilayahnya.
Undang-undang yang disahkan pada 7 Agustus 2018 ini menjadi bentuk pertanggungjawaban negara untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam penyelidikan kesehatan serta penyelenggaraan karantina kesehatan di pintu masuk dan wilayah Indonesia sesuai dengan Peraturan Kesehatan Internasional tahun 2005. Dengan 14 bab dan 98 pasal yang terkandung di dalamnya, UU No. 6 Tahun 2018 digunakan sebagai pengganti UU No. 1 dan 2 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Udara.
Beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pemerintah berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 antara lain:
- Memberikan perlakuan yang sama kepada semua warga negara dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan (Pasal 7).
- Memberikan dan menjamin pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari selama karantina kepada setiap warga (Pasal 8).
- Menjamin pemenuhan kebutuhan hidup dasar warga negara yang menjalani karantina rumah atau isolasi mandiri (Pasal 52).
- Menjamin kebutuhan hidup dasar warga negara yang menjalani karantina wilayah (Pasal 55).
Namun sayangnya, aturan tinggal aturan. Pemerintah hanya menggunakan Undang-undang tersebut untuk memberi sanksi terhadap masyarakat yang melanggarnya. Undang-undang tersebut seharusnya dapat menjamin kebutuhan hidup warganya selama karantina mandiri maupun wilayah, seperti yang tertulis di dalam Pasal 4, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.”
Untuk saat ini, fasilitas isolasi mandiri sudah disediakan pemerintah bagi siapa saja yang dinyatakan positif Covid-19. Namun, penyaluran bantuan bagi warga yang terdampak kerap kali mengalami kendala, mulai dari dana bantuannya yang dikorupsi, keterlambatan penyaluran, hingga target penerima bantuan yang dianggap salah sasaran. Selain itu, wacana penyediaan hotel sebagai fasilitas isolasi mandiri untuk anggota DPR tidak mencerminkan isi dari Pasal 7 Undang-Undang No. 6 tahun 2018 tentang pemberian perlakuan yang sama kepada semua warga negara dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Pemerintah diharapkan dapat melaksanakan Undang-undang tersebut secara menyeluruh sehingga kehidupan rakyat kecil turut terjamin. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemberdayaan para pelaku usaha mikro, termasuk pedagang kaki lima, untuk dapat bertahan selama pandemi. Pemerintah juga perlu mengevaluasi secara keseluruhan mengenai manajemen penyaluran bantuan sehingga dapat sampai ke masyarakat dengan utuh dan tepat sasaran.
Ita Silvia
Editor: Aulia Zahro Wahdani