Ekspresionline.com–Perempuan Pengkaji Seni (PPS) menggelar pameran tunggal dengan tajuk Sido Ngroso, Sido Nglakoni di Cemeti – Institute for Art and Society. Pameran berlangsung selama kurang dari satu bulan, yaitu mulai tanggal 30 Juni hingga 27 Juli 2023.
Sido Ngroso, Sido Nglakoni adalah wujud dari kerja kolektif, feminis, aktivisme dan upaya menuliskan sejarah. Seperti ketika kita melupakan kasus-kasus yang pernah ada di Jawa Timur, seperti Lapindo dan Lakardowo yang diusung dalam karya Rumah Tanpa Jejak.
PPS memberi jalan untuk masyarakat agar terhubung kembali dengan tanah-tanah yang sudah ditinggalkan. Sido Ngroso, Sido Nglakoni merefleksikan pengalaman tubuh perempuan, pengalaman terasingkan, terpojok-kan, terlupakan, tetapi perempuan selalu ada dan bertahan. Ngroso dan Nglakoni adalah bentuk nyata dari negosiasi dan resistensi perempuan.
Pameran ini merupakan presentasi PPS yang berupaya untuk berkontribusi dalam diskursus dan wacana seni kontemporer, terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek politik gender dan konteks lokal kesenian di Jawa Timur.
Sebanyak 12 seniman PPS terlibat dalam pameran tunggal ini. Karya-karya yang dipamerkan merupakan hasil refleksi akan keresahan para seniman terhadap berbagai masalah sosial yang terjadi di sekitarnya. Pameran ini mengangkat isu-isu dan fenomena yang terjadi di Jawa Timur.
Dengan tajuk Sido Ngroso, Sido Nglakoni, PPS mengajak pengunjung dan khalayak umum untuk merasakan persoalan yang diangkat dalam pameran ini. Dari proses merasakan tersebut diharapkan dapat melakukan sesuatu atas perasaan yang lahir dari refleksi akan persoalan.
Fatwa Amalia, salah satu perwakilan menjelaskan perihal Sido Ngroso, Sido Nglakoni yang menjadi tajuk pameran tunggal ini.
“Sido Ngroso dan Sido Nglakoni itu kan khas Jawa banget ya, [khas] Jawa Timur Banget. Sido Ngroso, Sido Nglakoni. Nah, Ngoroso sendiri itu kan merasa bahwa kita untuk mengungkapkan sesuatu, untuk menggali apapun itu perlu dengan rasa. Sido Ngoso, jadi kita merasakan dulu apa yang ada di sini [permasalahan di sekitar].”
Bagi Fatwa, meskipun ia dan para seniman PPS tidak merasakan secara langsung akan permasalahan yang hadir di sekitar mereka, tetapi dengan melalui riset, mereka dapat merasakan dan berempati dengan orang-orang di sekitar.
Lebih lanjut, Fatwa menjelaskan mengenai makna dari Sido Nglakoni. “Sedangkan nglakoni itu tadi, ketika kita sudah merasa, kita perlu melakukan [mengambil tindakan atas persoalan yang terjadi]. Akhirnya kita sido nglakoni, jadi melakukan sesuatu atas perasaan yang sudah kita dapatkan dari riset-riset tadi,” jelas Fatwa saat diwawancarai awak Ekspresi (1/7/23).
Lebih kurang enam bulan dihabiskan untuk mempersiapkan pameran tunggal ini. “Enam bulan itu mulai dari idenya, terus penggarapan karya-karyanya ini. Dua bulan benar-benar untuk riset dan untuk materialnya ini kita bikin empat bulan,” tambah Fatwa.
Permasalahan sosial yang diangkat pada pameran ini di antaranya adalah lumpur Lapindo di Sidoarjo, pencemaran lingkungan di Lakardowo, situasi pekerja garmen di kawasan industri berbagai area di Jawa Timur, hingga perihal tradisi carok Madura.
Ayu Cellia Firnanda
Reporter: Ayu Cellia Firnanda
Editor: Rosmitha Juanitasari