Ekspresionline.com—Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi salah satu persoalan menahun yang tak kunjung menemukan titik akhir. Beberapa hal yang menjadi persoalan ialah mengenai ketidaksesuaian golongan UKT dengan kondisi ekonomi mahasiswa dan sulitnya mendapatkan penyesuaian golongan.
Beberapa waktu lalu, publik diramaikan oleh kisah Nur Rizka Fitri Aningsih. Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNY angkatan 2020 itu berjuang untuk membayar biaya UKT semasa hidupnya. Berbagai hal telah dilakoninya untuk melunasi UKT dan melanjutkan pendidikannya, termasuk mengajukan keringanan UKT. Dari biaya awal Rp3,14 juta, Rizka mendapat keringanan sebesar Rp600 ribu.
Rizka merupakan satu dari ratusan mahasiswa UNY yang berjuang keras untuk membiayai UKT-nya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh UNY Bergerak bersama Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi, 50,05% mahasiswa bekerja agar dapat membiayai studinya. Lalu, diikuti dengan 24,11% mahasiswa berutang dan 12,82% menjual aset atau barang berharganya demi bisa melanjutkan pendidikan.
Sejatinya, UNY menyediakan opsi penurunan, pemotongan, hingga pembebasan UKT bagi mahasiswa yang merasa keberatan dengan besaran biaya yang diperoleh. Terdapat beberapa skema dan persyaratan kondisi yang harus dipenuhi untuk mengajukan penyesuaian pembayaran UKT. Akan tetapi, beberapa persyaratan tersebut dianggap terlalu berat bagi sebagian mahasiswa.
Persyaratan Sulit, Alur Pengajuan Rumit
Berdasarkan Surat Edaran (SE) No. 1/SE/2023 tentang “Ketentuan Pembayaran Biaya Pendidikan/Uang Kuliah Tunggal (UKT) Semester Genap 2022/2023 Universitas Negeri Yogyakarta”, terdapat empat skema pengajuan penyesuaian UKT. Salah satunya adalah skema perubahan kelompok UKT dengan syarat meninggalnya orang tua/wali yang menanggung biaya kuliah.
Persyaratan tersebut mengundang keberatan dari beberapa pihak. Tak terkecuali IMM, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Politik (FISHIPOL) angkatan 2022. IMM pernah mencoba mengajukan penyesuaian UKT sesuai dengan skema perubahan kelompok UKT. Namun, pengajuannya ditolak oleh pihak kampus.
Pengajuan penyesuaian UKT IMM menemui titik buntu setelah tidak mendapatkan persetujuan dari wakil dekan fakultas. Menurut wakil dekan fakultasnya, kondisi IMM tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan penurunan UKT. Kedua orang tua IMM masih hidup, sehingga tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan penyesuaian UKT.
“Masa harus bunuh orang tua dulu baru bisa turun UKT-nya?” ujar IMM saat diwawancarai Ekspresi melalui Whatsapp, Senin (16/01/2023).
IMM mendapatkan UKT sebesar Rp4,84 juta pada semester 1. Menurutnya, pemberian besaran UKT ini sedikit aneh karena tidak sesuai dengan penghasilan dan beban keluarganya.
“Sebenarnya ini sedikit aneh, karena penghasilan orang tua saya hanya Rp2-3 juta sebulan dan ini masih kurang untuk hidup berempat.”
Ia pernah mengajukan program beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). Akan tetapi, pengajuannya ditolak. Untunglah, ia mendapatkan sponsor dari bank untuk melunasi biaya kuliahnya pada semester 1.
Sejak saat itu, IMM berusaha mencari informasi penyesuaian UKT melalui Dosen Pembimbing Akademik (DPA), bagian kemahasiswaan, dan dekan FISHIPOL. Dari ketiganya, ia diarahkan untuk mengajukan langsung ke birokrasi pusat, tapi kembali dianggap tidak memenuhi syarat.
Setelahnya, ia kembali berkonsultasi kepada wakil dekan fakultasnya, lalu diarahkan untuk mengumpulkan berbagai berkas untuk penyesuaian UKT. Ia diminta untuk mengumpulkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), Kartu Keluarga (KK), dan surat penghasilan kepada pihak jurusannya. Namun, pihak jurusan tidak tahu-menahu mengenai hal tersebut. Alhasil, pengajuan tersebut mandek dan tidak ada perkembangannya lagi.
“Sistemnya itu belum jelas gitu, apalagi bagi yang enggak memenuhi syarat. Kan itu ada websitenya [si-c3 UNY], nah itu mahasiswa yang enggak memenuhi syarat langsung enggak di-acc. Kalau offline, malah mondar-mandir enggak tahu ending-nya,” keluh IMM.
Akibat kesulitan dalam membayar UKT, IMM bahkan sempat terpikirkan untuk mengundurkan diri dari UNY. Namun, karena ia masuk melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), ia tidak bisa mendaftar perguruan tinggi negeri melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Sementara itu, ia merasa keluarganya tidak sanggup untuk membiayainya berkuliah di Perguruan Tinggi Swasta.
“Orang tua jadi bingung, [kalau] mau daftar kampus swasta [secara] mandiri juga enggak ada biaya,” ujarnya. “Susah intinya kalau orang enggak punya disuruh bayar UKT besar.”
Kasus sulitnya mengajukan penurunan golongan UKT ini juga dihadapi oleh ANF, mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP) angkatan 2020. ANF mendapatkan UKT golongan IV, sebesar Rp3,14 juta. Hampir tiap semester, ia telah berusaha mengajukan penurunan UKT. Namun sayang, ia hanya bisa mendapat keringanan berupa angsuran pembayaran.
“Sepengetahuanku sih, hanya mahasiswa yang orang tuanya meninggal saja yang dapat menurunkan nominal UKT-nya. Selain yang orang tuanya meninggal, ya hanya dialihkan ke angsuran,” ujar ANF kepada Ekspresi, pada Minggu (15/01/2023).
ANF mengaku bahwa ia masih keberatan dengan sistem pembayaran UKT melalui angsuran. Menurutnya, UKT yang perlu dibayarnya menjadi menumpuk tiap semester. Sementara itu, orang tua ANF telah pensiun, dan kini ia membiayai UKT-nya seorang diri.
“Masih keberatan, jadi numpuk-numpuk UKT-nya tiap semester,” terangnya. “Terakhir ini UKT saya sekitar Rp5,5 juta.”
ANF juga menghadapi ruwetnya alur pengajuan penurunan UKT. Ia telah mencoba berkonsultasi kepada dekan kemahasiswaannya dan diarahkan untuk mengajukan keringanan pada birokrasi kampus. Berbagai berkas administrasi yang disyaratkan pun telah dipenuhinya. Namun, hasilnya nihil; ia tak mendapatkan respon apapun dari birokrasi.
“Saya antar suratnya ke meja di biro kampus bagian administrasi atau apa gitu, saya lupa. Tapi sama aja, enggak ada respon apa-apa,” ujar ANF. “Terpaksa deh, dapet penyesuaian yang angsuran.”
Alasan Persyaratan Orang Tua atau Wali Mahasiswa Meninggal
Direktur Perencanaan dan Keuangan UNY, Sukirjo, menjelaskan alasan persyaratan penurunan golongan UKT berupa meninggalnya orang tua atau wali mahasiswa. Persyaratan tersebut sebenarnya mencakup perubahan tingkat ekonomi mahasiswa secara signifikan. Misalnya, meninggalnya orang tua atau wali mahasiswa, bencana alam, maupun bangkrut.
Namun menurutnya, meninggalnya orang tua atau wali mahasiswa merupakan hal yang lebih umum terjadi. Alhasil, kondisi itulah yang akhirnya dicantumkan dalam skema penurunan golongan UKT.
“Jadi intinya itu orang tua wali yang berubah secara signifikan kemampuan ekonominya. Itu kan salah satunya bisa musibah orang tua meninggal dunia, bencana banjir, kebakaran, atau bangkrut. Cuma yang paling sering terjadi kan orang tua meninggal setelah [anaknya] masuk jadi mahasiswa,” ucap Sukirjo ketika diwawancarai Ekspresi, pada Rabu (18/01/2023).
Untuk kondisi di luar meninggalnya orang tua atau wali–seperti mengalami sakit atau musibah tertentu–akan ditelaah secara case by case. Namun, hal-hal tersebut sengaja tidak dicantumkan di dalam SE. Sukirjo mengkhawatirkan adanya salah persepsi dalam menafsirkan persyaratan dari case by case.
“Kalau meninggal dunia itu kan, memang kasus yang umum. Itulah yang kita atur secara umum, jadi aturannya yang berlaku untuk semua,” ujarnya. “Kalau case by case kita sulit untuk mengatur, nanti menerjemahkannya ada di masing-masing [mahasiswa], beda persepsi.”
Sistem Pengajuan Case by Case
Sistem case by case dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi mahasiswa di luar ketentuan yang telah dicantumkan dalam SE. Alur pengajuannya pun berbeda dari skema umum dalam peraturan.
Mahasiswa dapat melayangkan surat terlebih dahulu ke Tata Usaha (TU), melalui si-c3 UNY, atau menemui birokrasi langsung jika kondisinya mendesak. Selain itu, mahasiswa juga perlu melengkapi persuratan yang diperlukan, seperti SKTM, surat keterangan dari kelurahan atau kecamatan, dan sebagainya. Setelahnya, pengajuan tersebut akan divalidasi oleh verifikator, baik dari pengurus fakultas maupun Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Namun, Sukirjo mengatakan, tidak semua pengajuan case by case dapat diterima serta mendapatkan penyesuaian UKT. Pihak birokrasi perlu memastikan bahwa mahasiswa tersebut benar-benar berhak mendapatkan keringanan.
“Tidak semua case by case diterima. Kan kita verifikasi juga. Idealnya itu wawancara dengan orang tua, di PTN lain itu pakai Zoom dengan orang tua,” ujarnya.
Verifikasi tersebut perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pemberian penyesuaian UKT tepat sasaran. Hal ini dilakukan karena seorang mahasiswa pernah mendapatkan keringanan UKT tanpa sepengetahuan orang tua atau walinya.
“Kita pernah memberikan keringanan [UKT], tapi orang tuanya enggak tahu. Jadi dia ikut-ikutan temannya. [Secara ekonomi] dia mampu, tapi temannya dapat [keringanan UKT], jadi dia ingin ikut. Jadi salah sasaran,” lanjutnya.
Oleh karenanya, jika terdapat mahasiswa yang mengajukan penyesuaian UKT secara langsung, mahasiswa tersebut akan diminta untuk menelepon orang tuanya sebagai bentuk verifikasi.
“Kalau dia datang dengan jujur, [akan terlihat] beda daripada dengan surat. [Jika] datang langsung kan kita tahu; tahu orangnya, cara omongnya. Nanti kita diskusi, jadi memang kelihatan kalau butuh bantuan. Terus telepon orang tuanya, kan kita ada interaksi [untuk menilai],” tutur Sukirjo.
Akan tetapi, pertemuan langsung dengan pihak Sukirjo bukanlah hal yang wajib untuk dilakukan. Jika persyaratan dan surat yang diajukan telah lengkap, Sukirjo menyatakan bahwa pihaknya akan langsung setuju untuk memberikan penyesuaian UKT.
“Kalau surat-menyurat sudah lengkap, langsung kita acc. [Namun] ada juga surat yang tidak lengkap, makanya tidak kita yakini, sehingga ditambahi dengan ketemuan [dengan pihak Sukirjo] tadi,” ucapnya.
Nugrahani Annisa
Reporter: Annisa Fitriana, Nugrahani Annisa, dan Deidra Dawardhani
Editor: Annisa Fitriana