Ekspresionline.com—Baru saja lampu mati,seorang lelaki bertopi merapalkan hanacaraka seraya menepukkan kedua tangannya. Dalam temaram, hanacaraka dibacakan layaknya suatu wirid yang berjalan khidmat. Baru saja Teknoteks: Ajisaka berkumandang, diiringi irama jimbe dan riuh tepuk tangan. Puisi Afrizal Malna itu dituturkan sebagai pembuka Repertoar Lanjut Part 2 di teras Student Center UNY, Sabtu (16/09/2023).
Membran jimbe itu tampaknya tak sudi bila tangan-tangan pawangnya berhenti menabuhkan dirinya. Suaranya berkeliaran bertuan di angkasa. Hanacaraka dibacakan lelaki bertopi dengan arahan semburat kemerahan melangkah menuju panggung. Lelaki bertopi itu membacakan dua baris terakhir puisi Afrizal Malna itu di hadapan penonton seraya merunduk pada tanah.
Dua pengawal mati.
Di depan gerbang bahasa.
Pementasan malam itu dimulai dengan musikalisasi puisi karya Afrizal Malna sebagai ritual pembuka yang sakral. Darmi, salah seorang inisiator musikalisasi puisi, menyebutkan bahwa sejarah aksara Jawa sebagai sesuatu yang sulit dimaknai. Darmi merefleksikan pada masa sekarang ini, kepercayaan sangat mahal. Begitulah lelaki berambut panjang itu meresapi ayat-ayat hanacaraka.
Dalam kisah Hanacaraka yang menubuh dalam tradisi masyarakat, dikisahkan dua pengawal Aji Saka yang berselisih paham sampai-sampai keduanya gugur. Perselisihan keduanya bermula dari Dora yang diutus Aji Saka untuk menyampaikan perintahnya kepada Sembada agar menjaga pusakanya. Kecurigaan muncul di antara keduanya hingga berujung pada tragedi.
Selain musikalisasi puisi, pementasan teater Mencari Taman dan monolog Mulut turut dipentaskan dalam “Repertoar Lanjut Part 2” pada 16 September 2023. Kedua pementasan yang masing-masing berupa teater dan monolog itu disadur dari naskah sastrawan kenamaan Indonesia, Noorca M. Massardi dan Putu Wijaya.
Tangis Anak-anak dan Duka Ekologis dalam Arus Modernitas
Kasih terbaring lemas di kasurnya sepanjang hari akibat lara yang diidapnya. Hari-harinya tak mungkin lepas dari udara buruk dan desing kereta, pesawat terbang, juga kapal. Sebagai imbasnya, Papa dan Mama melarangnya keluar rumah.
“Anak-anak! Anak-anak! Anak-anak jangan buka jendela, ada debu di luar.”
“Jangan main di jalan! Bisa mati kamu.”
“Tutup hidung kamu! Udaranya kotor.”
“Pokoknya harus di rumah terus.”
“Jangan minta jajan! Mengerti?”
“Tolong! Tolong! Tolong, Kasih.”
Kasih berimajinasi mendapatkan masa kanak-kanaknya dari boneka-boneka di kamarnya. Boneka-boneka itu menari, bernyanyi, dan mengajak Kasih bermain. Tak hanya Kasih, mereka juga memanggil Bulan, kawan Kasih, dari tidurnya. Bulan yang bijak banyak bertutur kepada Kasih menyoal eksistensi diri, keluarga, sampai pembicaraan soal Tuhan.
![](https://ekspresionline.com/wp-content/uploads/2023/11/IMG_0103-scaled.jpg)
Alih-alih menunjukkan ketakberdayaan anak-anak, pementasan Mencari Taman ingin memberi harapan kepada anak-anak. Seperti yang dikatakan Bulan kepada Kasih, “Di sini ada tempat tujuan, di sini ada harapan.”
Anak-anak tak seharusnya mendapati nestapa dalam petualangan mencari kehidupan mereka. Kasih menemukan kehidupan kanak-kanaknya di Taman Sukrasana, di sana ia dan kawan-kawannya temukan kesenangan dan keceriaan yang tak pernah mereka dapat.
Nestapa yang menimpa Kasih barangkali menjadi sorotan pada pementasan drama Mencari Taman. Anak-anak sebagai kelompok rentan dalam proses modernisasi tak jarang ditumbalkan. Dalam kisah yang dialami Kasih aspek pendidikan, ekonomi, bahkan hak kesehatan anak-anak tak terpenuhi.
![](https://ekspresionline.com/wp-content/uploads/2023/11/IMG_0105-1-scaled.jpg)
Sehubungan dengan itu, repertoar dilatarbelakangi atas keinginan awak UNSTRAT merespons fenomena baru-baru ini. Berangkat dari ketertarikan sang sutradara, Khasanah Rahmawati yang akrab disapa Nana, pada kisah yang dibawakan Noorca M. Massardi. “Teater tidak hanya kesenian, tapi juga kemanusiaan,” ungkap Nana pada Ekspresi, Sabtu (16/09/2023).
Kesadaran itu muncul sebab dipicu oleh niatan untuk merespons permasalahan sekitar. Nana menyebutkan polusi udara akhir-akhir ini menjadi akar keresahannya untuk kemudian mementaskan Mencari Taman. “Sebenarnya [kami] ingin merespons bahwa sekarang lingkungan kita sedang tidak baik-baik saja, contohnya Jakarta.”
“Walaupun di Yogyakarta memang tidak seperti Jakarta, tapi akhirnya itu berpengaruh secara global kayak pemanasan global, darurat sampah, gitu-gitu juga yang ingin disampaikan,” lanjutnya.
Kelihaian Noorca menyisipkan wacana besar dalam drama anak-anak layak diapresiasi. Pembawaan topik serius secara ceria terbilang jarang dalam naskah drama anak-anak. Naskah “Mencari Taman” sendiri ditulis tahun 1970-an dan terhimpun dalam Kumpulan Naskah Drama Pemenang Sayembara Naskah Sandiwara untuk Anak-Anak.
Noorca menyentuh relung batin terdalam manusia lewat Mencari Taman dengan menghadirkan Kasih untuk menggambarkan ketulusan dan keluguan anak-anak. Kepiawaian Nana dan para aktor mengeksekusi naskah drama anak-anak menjadi suatu kritik atas fenomena akhir-akhir ini. Jiwa pertunjukan ini terasa lengkap pada tiap adegan dengan pembawaannya yang apik dan menyentuh.
Paradoks Kebebasan Pasca-transformasi Budaya
Seorang lelaki berkucir menyeret kotak sampah, lalu melepas kesah yang ia lempar penuh resah akan sampah yang akrab dihadapinya. Ocehannya berlanjut hingga soal perempuan tak bermulut di kampung. Ia membalik kotak sampah dan terus asyik berkisah.
Lelaki itu masih berkisah sembari mengayunkan sapunya ke kiri dan kanan sampai gesekan lidi dan batu tak terelakkan. Perempuan yang dikisahkan lelaki itu ibarat bom tanpa sumbu peledak yang sewaktu-waktu akan meledak dahsyat. Lelaki tadi menambahkan betapa bahaya perempuan yang dikisahkannya barusan.
![](https://ekspresionline.com/wp-content/uploads/2023/11/IMG_0128-scaled.jpg)
Belum rampung kisah perempuan tak bermulut di kampung, lelaki itu lantas berganti kisah mengenai harga BBM yang naik akibat perkara politik dan permainan orang dalam. Dengan adanya kisah yang baru tersebut, warga terpaksa berhenti bertikai soal perempuan tak bermulut itu.
Di tengah urusan BBM naik, tiba-tiba lelaki itu naik ke atas kotak sampah. Ia berteriak menirukan petugas keamanan. Sebuah perkara baru mulai dinarasikannya.
“Tangkap! Tangkap biang keladinya!”
“Mana mulut kamu?”
Ia berkisah tentang petugas yang datang menangkap perempuan tak bermulut dengan dalih keamanan bersama dan menganggap penerimaan perempuan sebagai suatu pengacauan. Petugas tersebut menegaskan keberadaannya untuk menjaga warga dari ketidaknyamanan, tak luput pula olehnya muluk-muluk soal stabilitas negara. Ia mengancam siapa saja yang dianggap mengganggu stabilitas negara akan ditangkap seperti perempuan tadi.
Lelaki berkucir berkisah lagi soal warga yang memperkarakan penangkapan perempuan tak bermulut. Bagi warga, perempuan itu bersikap santun tanpa mulut. Kesewenangan petugas itu menimbulkan pertanyaan lagi buat warga.
Penangkapan perempuan tak bermulut sekilas menggugah ingatan atas represi “petugas” di Rempang, Kulon Progo, atau Wadas. Penangkapan paksa, ancaman, dan todongan bedil tak pernah seutuhnya lepas sedari monolog Mulut ditulis sampai Polisi Yang Baik Hati rilis.
Setelah perempuan tak bermulut dikurung setahun lamanya, ia hadir dengan mulut di wajahnya. Warga lagi-lagi heboh. Perempuan itu dianggap cerewet, bawel, dan menyebalkan. Kehebohan itu lagi-lagi teralihkan oleh perkara flu burung, ironisnya para pemimpin sibuk rebutan kursi dan korupsi yang meningkat seturut jumlah korban judi.
![](https://ekspresionline.com/wp-content/uploads/2023/11/IMG_0141-scaled.jpg)
Setelah keteralihan itu, warga membiarkan perempuan tadi dengan menggarap kesulitan harian yang datang beruntun. Mereka tak peduli pula dengan janji-janji surgawi politisi. Mereka hanya mengamalkan ajaran nenek moyang untuk melupakan segala sesuatu, sebab masalah-masalah baru harus segera dihadapi.
Siklus yang monoton kembali berulang. Lagi-lagi petugas datang untuk menangkap perempuan yang pernah diberikannya mulut, dan warga kembali heboh akibatnya. Petugas berdalih kalau mulut perempuan tadi hanya mengacaukan keadaan dan merusak citra bangsa. Ia beranggapan kalau pengacauan itu dapat memengaruhi warga.
Nasib perempuan tak bermulut berakhir tergantung tak bernyawa di pohon nangka. Warga geram atas kemalangan yang menimpa perempuan itu. Tak habis-habisnya masalah, hidup warga tambah susah. Mereka kudu bersiap sewaktu-waktu harga BBM atau tarif listrik naik dengan bayang-bayang kematian perempuan tak bermulut bertahun lamanya.
Tak lama setelah kematian perempuan tak bermulut, warga dihebohkan dengan kelahiran bayi tak bermulut. Lagi-lagi warga teringat pada perempuan tak bermulut. Warga berharap pada mata bayi yang kosong melompong, bahwa ia mampu bicara menggantikan ketiadaan mulutnya. Tapi harapan itu pupus dan warga kecewa.
Kebebasan barangkali menjadi suatu paradoks jika ditilik hari ini. Syahdan, sutradara Mulut, skeptis dalam memikirkan kebebasan masa kini. “Dikasih mulut, sudah banyak berbicara dan lain-lain, apakah itu menjadi hal yang baik sebenarnya? Akhirnya berujung pada pertanyaan itu,” ujarnya pada Ekspresi, Sabtu (16/09/2023).
Syahdan membandingkan transformasi budaya berpendapat yang terjadi di masa lalu dan masa kini. Sebelum transformasi kebudayaan kebebasan berpendapat sangat dikekang. Penghilangan sebagai metode pembungkaman diproduksi pemerintah untuk mencipta “subjek tak bermulut” yang dibungkam lewat kebijakan atau peraturan.
Seperti kisah Hanacaraka, perbedaan pendapat tak jarang disalahpahami. Pendapat yang terlontar tak jarang menjadi persoalan. “Berkaca saat ini banyak orang-orang memfitnah, menggunjing, mengomentari, melempar pandangan, dan kesan tanpa tahu sebenarnya berdasarkan [pada] satu atau dua hal yang kuat atau tidak. Itu perlu dipertimbangkan,” tutur Syahdan.
Ia menambahkan bahwa masyarakat sering kali teralihkan dari masalah yang ada di sekitarnya. Seperti yang termaktub dalam naskah Mulut, televisi sibuk mendalami perselingkuhan. Begitu pun surat kabar yang asyik mengulik RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi sampai kabar penangkapan perempuan tak bermulut luput mereka liput.
Monolog Mulut disadur dari naskah milik Putu Wijaya, sastrawan kondang Indonesia. Menilik ke tahun ‘70-an, banyak dari seniman lakon dan teater terpengaruh eksistensialisme dan absurdisme, salah satunya Putu Wijaya. Seperti yang dipikirkan Syahdan terhadap naskah Mulut, Putu Wijaya kerap menghadirkan hal-hal samar dan tak karuan dalam naskahnya. “Putu Wijaya menggarap naskah-naskah yang implisit sekali, memang simbolik beberapa naskahnya. Banyak dari naskahnya memang begitu.”
Naskah Putu Wijaya menghadirkan anekdot atau patahan yang mengalihkan satu topik besar ke topik lain yang menambah kompleksitas cerita. Kompleksitas cerita digiring melalui kenaikan BBM atau kenaikan biaya sekolah menarik minat Syahdan dan kawan-kawan mengangkat monolog Mulut. “Kalau dari naskah aslinya memang patahannya seperti itu … bagi kami itu kayak gurih banget.”
Faza Nugroho
Editor: Nugrahani Annisa