Ekspresionline.com–Gesekan, pukulan, dan tiupan alat musik terdengar dari pendopo Balai Budaya Karangkitri, Pangungharjo, Bantul, Yogyakarta. Setelah dilihat, suara tersebut berasal dari alat musik yang dimainkan oleh band dari Jogja Disability Art dalam acara “Pameran Anak Saba Sawah”, yang diadakan oleh Biennale Jogja, Minggu (22/10/23).
Begitu sampai di sana, suara musik instrumental langsung memenuhi telinga. Suara musik tersebut sahut-menyahut dengan bisingnya suara puluhan instalasi kitiran yang sama kencangnya saat tertiup angin.
Tak berhenti di sana, bebauan juga menyambut. Gundukan-gundukan limbah hasil olahan terpampang jelas sepanjang mata. Limbah tersebut memenuhi sekitar lahan dan sawah. Lokasi yang diambil memang dekat dengan alam yang terdiri dari sawah, sungai dan bendungan.
Berjalan sedikit ke arah belakang, saya menengok sungai. Air keruh berwarna hitam pekat. Sampah rumah tangga memenuhi aliran air sampai menghambatnya mengalir. Sepertinya jadi sarang penyakit. Meski begitu, masih nampak sepat dan wader bertahan di sana. Tak mau kalah, banyak lelaki juga bertahan di sana untuk menjebak dua makhluk itu.
Sebelum dibuka, pameran “Anak Saba Sawah” sudah nampak ramai. Tercatat kurang lebih sebanyak sembilan puluhan anak yang diundang dari berbagai sekolah. Mereka memadati pameran hingga bermain ke alam sekitar. Di sana, anak-anak bermain mengikuti naluri alamiahnya. Memancing, masuk ke air, berlari, berteriak dan mencari hal-hal yang disenanginya.
***
Musik instrumental pun akhirnya berhenti. Seorang mulai bicara dan acara berlanjut. Sambutan dari berbagai pihak dimulai. Pihak-pihak tersebut antara lain, Koordinator Pameran, Karen Hardini; Direktur Biennale Yogyakarta, Alia Swastika; dan Lurah Panggungharjo, Umi Hanniah.
Umi Hanniah pun sempat menyinggung kondisi alam sekitar yang ada di wilayahnya. “Begitu masuk di sini, aroma yang tercium [sampah], nggih,” ujar Umi. Selain Umi, Karen dan Alia juga mengungkapkan bahwa lingkungan sekitar sudah mulai tak terawat dan cenderung tercemar.
Dari belakang panggung, tiba-tiba, muncul delapan bocah yang macak wangun. Berpakaian serba hitam, bocah tersebut menunggang kuda dari anyaman bambu. Tak lupa, kakinya dihiasi gelang klinting yang mengundang riuh di tiap geraknya. Tak lupa sebagai pelengkap, wajahnya dirias jadi menakutkan bak serdadu. Akhirnya mereka pun menari diiringi oleh musik khas Tari Jaranan. Para bocah menyimak. Orang tua mereka nampak senang, karena karya anaknya dibawakan dan dipamerkan secara langsung.
Dalam sebuah blog, Romeadecade, menjelaskan bahwa Jaranan bermula dari sebuah iringan prajurit kerajaan dalam sebuah acara tertentu. Tarian ini ditemukan pada abad ke-11, ceritanya tarian ini menjadi pengiring dalam prosesi pernikahan antara Klono Sewandono beserta Dewi Songgo Langit.
Para prajurit Jaranan menutup aksi mereka dengan duduk bersila, menghadap penonton. Riuh tepuk tangan menjadi apresiasi atas aksi mereka. Saya pun cukup kagum dengan keberanian bocah bocah ini. Mereka berani tampil dihadapan banyak orang. Saat ditanya oleh MC (Master of Ceremony) apa yang mendasari keberanian mereka, mereka pun menjawab, keberanian itu didapat dari rasa kesenangan mereka untuk mengikuti acara ini. Dari situ, saya pun semakin antusias untuk melihat lebih jauh pameran. Penampilan selanjutnya ditampilkan oleh anak-anak Panggungharjo. Mereka menampilkan permainan tradisional, ancak-ancak alis.
Ini adalah kali pertama saya mendengar permainan tradisional ancak-ancak alis. Bahkan mungkin baru pertama mendengar kosakata ancak-ancak alis. Sulit bagi saya untuk menelaah atau bahkan mendeskripsikannya. Karen pun mengungkapkan apa itu ancak-ancak alis serta bagaimana makna dari permainan ini.
“Terkait ancak-ancak alis penting untuk diketahui. Karena ancak-ancak alis itu menceritakan proses penanaman padi, dari mulai menanam sampai ke meja makan,” begitulah yang diungkapkan oleh Karen dalam wawancara dengan Ekspresi.
Permainan ancak-ancak alis dimainkan dengan membentuk barisan seperti kereta, setiap orang memegang pundak dari orang yang ada di depannya. Orang yang paling depan bertugas untuk memimpin berjalan. Mereka masuk ke terowongan. Terowongan terbuat sepasang tangan dari dua orang yang digabung lalu diarahkan ke atas. Semuanya pun bernyanyi. Setelah lirik lagunya habis, lagu pun berhenti. Disaat itu juga, tangan yang menjadi terowongan tadi diturunkan untuk menangkap orang yang melewatinya.
Setelah menangkapnya, bocah-bocah tersebut bernyanyi kembali. Lirik lagu dari ancak-ancak alis berbunyi seperti ini, “Ancak-ancak alis, si alis kebo janggitan, anak-anak kebo dhungkul, Si dhungkul bangbang teyo, tiga rendeng, enceng-enceng gogo beluk, unine paling cerepluk, ula sawa, ula dumung, gedhene sak lumbung bandhung, sawahira lagi apa?”
Lirik tersebut sebenarnya menceritakan tentang 19 tahapan bertani, tahapan tersebut dimulai dari meluku (membajak) sampai nyajeni (memberi sesaji). Tahapan dari meluku sampai nyajeni membutuhkan waktu sepanjang lebih dari 105 hari. Tahapan panjang ini seringkali tidak diketahui oleh masyarakat sekarang, karena mulai tergerusnya nilai nilai yang ada dalam proses tersebut.
Dalam kajian yang lebih panjang, Lagu berbahasa Jawa ini dibedah dalam jurnal ilmiah yang ditulis oleh Suyami (2019) dengan judul “Ancak-ancak Alis: Ekspresi Budaya Agraris dalam Permainan Anak”. Di sana dijelaskan, bahwa permainan ancak-ancak alis merupakan permainan tradisional yang menceritakan proses panjang tentang penggarapan padi. Ternyata, permainan ini tak hanya berkutat pada kajian agraria dan geografis. Penelitian ini memberikan sudut pandang mitologi, serta filosofi dari permainan tersebut.
Masih menurut Suyami, permainan ancak-ancak alis memberikan sarana transformasi nilai dan internalisasi sebuah pengetahuan yang sangat penting dan harus dimengerti, dipahami, dihayati, dan dikuasai oleh anak-anak, sebagai generasi penerus bagi kehidupan kaum petani. Namun sayangnya, pada saat ini, permainan ancak-ancak alis sudah kurang begitu dikenal di kalangan masyarakat. Terlebih tentang kandungan nilai pengetahuannya, yakni pengetahuan tentang budidaya penanaman padi, yang merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Para pengunjung pun berkerumun di dekat panggung permainan, mereka mengabadikan momen tersebut menggunakan kamera ponsel. Sembari bermain, para pemain pun mulai berjalan meninggalkan panggung tersebut. Para pemain mengajak pengunjung untuk mengikuti mereka. Sampai ke depan panggung joglo, mereka berhenti dan membentuk formasi seperti semula. Di sini pengunjung pun diajaknya bermain bersama. Satu persatu melewati terowongan yang kali ini sudah dibuat bersama banyak orang.
Semua penonton pun akhirnya berpaling dari panggung ke permainan yang dibuat oleh bocah-bocah. Semua perhatian tertuju pada mereka. Untuk menciptakan ambience yang menyenangkan, pengunjung pun diajak untuk bermain bersama. Selanjutnya, permainan pun diakhiri dengan membunyikan permainan tradisional lain yakni otok-otok. Suaranya yang berisik ditambah kencangnya angin yang meniup kitiran membuat suasana sekitar menjadi ramai, hal ini sekaligus membuka pameran secara resmi.
***
Pengunjung mulai berpencar, tak bertumpu pada satu objek lagi. Ada yang melihat kincir angin, ada yang menikmati karya anak-anak, ada yang menikmati karya di dalam ruangan. Saat itu juga, sudah tak terlihat antara batas wilayah untuk pameran juga alam terbuka. Semuanya melebur.
Saya pun tertarik untuk melihat sungai (lagi), karena di sana cukup banyak dikunjungi. Saya duduk bersama anak-anak. Di sini banyak spot untuk memancing atau hanya sekedar melihat ikan. Nampak dari kejauhan, ada tiga orang anak membawa satu ikan yang berukuran hampir sama dengan lengan mereka. Mereka pun langsung memancing perhatian para khalayak. Bergegas mereka mencari ember untuk mengamankan ikan tersebut dari kematian. Akhirnya, mereka berhasil menemukan ember yang muat dengan ukuran ikan itu.
Mereka cukup menarik perhatian saya. Saya ikut mendekat untuk mencari tahu, mereka dapat ikan tersebut dari mana, dan bagaimana mereka menangkapnya. Saat ditanya, dua dari ketiga anak tersebut cenderung pasif. Seorang anak menjelaskan kepada saya, temannya bernama Earl menangkap ikan tersebut dari kubangan air yang berada di dekat sungai. Setelah lama bercerita, masing masing dari kami berkenalan, lalu diketahui anak yang menceritakan petualangan tadi adalah, Kafka.
Pertama kali saya mendengar nama itu saya langsung tersenyum. Ternyata seorang novelis Ceko yang meninggal tahun 1924 telah bereinkarnasi menjadi seorang anak, dan sekarang anak itu berada di hadapan saya.
Kafka kecil—begitulah saya memanggilnya—berasal dari Sanggar Anak Alam (SALAM). SALAM adalah sebuah komunitas pendidikan yang ingin meretas jarak antara anak, orang tua wali, dan lingkungan sekitar—yang bertempat di daerah Bantul, Yogyakarta. Sedikitnya, ada dua alasan mengapa dia bisa sampai ke Biennale venue Karangkitri ini. Pertama, ia cukup senang dengan kegiatan yang berbau alam. Kedua, ia adalah seorang seniman dalam pameran ini.
Di saat yang sama setelah saya bertanya tentang bagaimana mereka mendapatkan ikan tersebut, kami duduk di batu yang saya duduki di awal tadi. Ia mengungkapkan rasa senangnya ketika berada dalam pameran ini. Ia banyak menyebut bahwa karya karya yang dipajang sangat menarik. Suasana di sini membuatnya nyaman, mirip seperti yang ia pelajari di SALAM. Sambil menghadap ke langit kami mengobrol. Ia pun berkata, “Aku sangat senang ada di sini, karena di sini banyak temannya, di sini tuh juga bisa bermain di alam.” Entah mengapa saat kami mengobrol, ia sangat sering menatap langit, sesekali gundukan sampah, sesekali sampah, tetapi saya rasa dari kalimat yang terucap, ia senang tak-terpermanai.
Cukup lama kami duduk di atas batu tersebut, lambat laun suasana makin sore. Cahaya matahari sore bersinar kuning mendominasi sekeliling pameran. Kami pun memutuskan untuk melihat karya Kafka kecil. Kafka kecil membuat karya berupa “Boneka Tangan Kertas”. Karya tersebut dibuat dalam serangkaian “Workshop Mainan Anak” dengan Biennale, difasilitatori oleh Dwi Winarsih.
Karya tersebut berbentuk sebuah mainan tangan yang bisa dimainkan mirip dengan wayang. Cara memainkannya dengan memasukan tangan lewat belakang karya tersebut lalu menggerakkan tangan, kaki, dan lidah dari karya tersebut. Kafka kecil terinspirasi dari tokoh pahlawan yang sering ia lihat di film-film.
***
Sejauh ingatan saya, Kafka kecil tidak punya alasan khusus mengenai pembuatan karyanya. Alasannya hanya menyukai proses pembuatan karya tersebut, karena dibersamai banyak teman. Setelah perbincangan tersebut, kami memutuskan untuk beristirahat sambil mencari makan, Kafka kecil pun juga kembali berkumpul ke keluarganya.
Saya bersama seorang awak Ekspresi duduk di dekat panggung utama sambil menunggu acara terakhir dimulai, pemutaran film Bioscil (Bioskop Cilik). Kami pun mencoba merefleksikan apa saja yang telah terjadi hari ini, mulai dari kita berkendara dari pusat kota menuju desa terpencil di daerah Bantul.
Saya mengingat perjalanan itu adalah sebuah perjalanan biasa. Sebelum datang ke sini pun saya juga belum melakukan pencarian informasi seputar pameran, kosong. Tidak ada ekspektasi yang lebih mengenai pameran ini. Saya mengira pameran ini mirip dengan pameran yang biasa diadakan di kota, atau bisa disebut penuh gemerlap dan kemewahan layaknya pameran seni.
Sesampai disana, ternyata ekspektasi tersebut seakan perlahan luntur. Gambaran mengenai gemerlap pameran langsung runtuh ketika saya mengingat sore tadi. Pertama kali berkunjung di sini, sudah disambut oleh kumuh dan bau sampah, serta limbah pencemaran sungai. Instalasi, ruang pameran, dan segala pelengkapnya, membuat saya ingin menyelam lebih dalam.
Refleksi tersebut membawa saya ke perbincangan singkat untuk menemukan makna sebetulnya dari “Pameran Anak Saba Sawah” bersama Karen Hardini. Secara singkat, Karen menjelaskan, “Judul yang kita pilih sudah sangat lokalitas gitu ya, maksudku ‘Sobo Sawah’ gitu, Sebuah aktivitas atau kata yang sebenarnya sudah jarang dilakukan sekarang”, begitu Karen menjelaskan.
Dengan Pameran Anak Sobo Sawah, Biennale Jogja ingin menumbuhkan keakraban dan rasa keingintahuan anak terhadap aktivitas di sawah, seperti kegiatan bercocok tanam. Harapannya, keingintahuan dan kedekatan dengan sawah akan membuat membuat mereka semakin mengenal lingkungan sekitar dan tidak memandang sebelah mata aktivitas para petani.
Selain hal tersebut, Melalui pemilihan judul tersebut, Biennale Jogja ingin mengajak anak-anak untuk mengenal lingkungan sekitar melalui persawahan. Biennale Jogja yang sebelumnya juga melibatkan anak, tetapi hanya sebagai partisipan. Namun, pada kesempatan kali ini, Biennale Jogja membuat pameran khusus untuk anak.
Dalam hati saya menyimpulkan bahwa, salah satu faktor lingkungan mulai tercemar adalah ulah manusia. Manusia sudah mulai tidak mengenal lingkungannya. Ketika mereka lupa akan siapa yang memberikan mereka kebutuhan pokok sehari hari mereka akan menganggap hal itu (lingkungan) tidak terlalu penting. Seiring berjalan waktu fungsi dari lingkungan mulai berkurang. Maka dari itu, mendekatkan dan mengingatkan kembali peran lingkungan jadi agenda penting dalam “Pameran Anak Saba Sawah”.
Menurut pengamatan saya, Biennale berhasil membawa wacana pameran ini ke dalam praksisnya dengan melakukan alterasi tempat pameran. Semula saya kira tempat pameran hanyalah pendopo Balai Budaya Karangkitri, tetapi setelah pameran berjalan sawah, kosong, sungai, atau sepanjang mata memandang berubah menjadi tempat pameran. Akhirnya pameran ini hanyalah wadah untuk membawa para pengunjung untuk mengunjungi tempat pameran sesungguhnya, sawah.
Kafka kecil dan teman-temannya adalah bukti. Mereka menjadi seorang mahluk bermain dalam ruangan persawahan. Mereka mencoba melakukan refleksi Kembali bahwa sawah adalah sebuah tempat yang penting untuk tetap ada dan dilestarikan.
Aldino Jalu Seto
Editor: Ayu Cellia Firnanda