Ekspresionline.com–Ulfa Dwi Amalia, mahasiswa Program Studi Kebijakan Pendidikan dikenalkan dengan aliran Salafi oleh teman sefakultasnya. Ia diajak untuk mengikuti kajian Salafi di Masjid Pogung Raya (MPR). Awalnya, ia menganggap Salafi sebagai aliran yang menyeramkan. Namun, anggapannya luntur setelah mengikuti kajian.
Ia mendapat respons baik dari jamaah yang lain. Ditambah ia tidak menutup diri untuk berdiskusi dengan teman-temannya yang lebih dulu belajar Salafi. “Aku rasa enggak perlu ada yang ditakutkan,” jelasnya saat diwawancarai di Student Center (SC) UNY pada akhir tahun 2019.
Salafi menjadi salah satu kelompok Islam yang dibahas dalam penelitian Setara Institute dan LPPM Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) yang dirilis pada pertengahan 2019 lalu. Penelitian Setara menyimpulkan bahwa 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia “terpapar radikalisme”. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menjadi salah satu kampus yang disebut terpapar radikalisme.
Dalam penelitian dijelaskan tujuan utama gerakan Salafi adalah purifikasi atau tashfiyah. Fokusnya pada pemurnian akidah. Secara politik, mereka menyatakan patuh pada pemerintah sejauh dipimpin oleh orang Islam dan setia pada NKRI.
Kegiatan dakwah mereka berpusat di masjid-masjid sekitar kampus. Di Yogyakarta, aktivitas dakwah Salafi terkonsentrasi di area sekitar kampus UNY dan UGM.
Berbeda dengan Ulfa, narasumber yang ingin disebut namanya sebagai Abdullah, mulai berkenalan dengan Salafi pada masa akhir duduk di bangku SMA. Berasal dari lingkungan yang tidak religius di Banyumas, ia mengenal Salafi dari saudaranya yang bekerja di Kalimantan.
“Di desaku itu main dukun dianggap biasa, malah orang yang melakukan salat lima waktu di masjid dianggap aneh,” katanya saat ditemui di depan SC UNY, Jumat (24/1).
Hampir serupa dengan Abdullah, mahasisa FIS berinisial FA juga tidak berasal dari lingkungan agamis. Ia pertama kali memakai jilbab ketika SMA. Keputusannya itu sempat mengakibatkan friksi dengan orang tuanya. Perkenalannya dengan agama semasa SMA diperoleh melalui diskusi dengan kakaknya yang biasa ikut kajian keagamaan—rata-rata oleh Muhammadiyah—di Solo. Hal itu memantiknya untuk terus belajar agama.
Saat menjadi mahasiswa, FA mulai mendengarkan kajian di Youtube. Ia melakukan penjajakan ke berbagai golongan Islam. Ia pun mencoba gabung dengan Al-Islah, UKMF kerohanian FIS. Namun, ia merasa tidak cocok dengan organisasi itu karena “politik” di dalamnya. “Kerasanya pas pemilu, kalau nggak pas pemilu ya biasa. Itu sih yang membuat saya kurang nyaman,” jelas FA.
Pada proses pencariannya, akhirnya FA menemukan kenyamanan di antara jamaah Salafi. Bersama temannya, ia mengikuti kajian rutin di Pogung dan memutuskan mendalami Salafi.
Untuk kajian di daerah Pogung, ia merasa cocok dengan ketegasan Muhammad Abduh Tuasikal, lulusan generasi awal Ma’had Al ‘Ilmi, pesantren binaan Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA), lembaga dakwah Salafi. Secara umum, ia merasa nyaman dengan pembelajaran yang serius dan kaku seperti yang dilakukan di Pogung. Ditambah lagi, menurut FA, ustaz Salafi selalu merujuk sumber-sumber primer (ayat/hadis) dalam kajiannya.
Hampir serupa dengan FA, Ulfa suka dengan metode penyampaian Muhammad Abduh Tuasikal dan Raehanul Bahraen. Penyikapannya pada suatu masalah dengan tegas dan penyampaian yang logis menjadi alasan Ulfa mengidolakan kedua ustaz tersebut.
Sementara Abdullah, saat tiba di Jogja, mendapat informasi kajian Salafi dari lingkaran pertemanannya. Dari lingkaran pertemanan itu pula, ia pernah menempati indekos di daerah Pogung, dekat Masjid Pogung Dalangan (MPD). Selain biasa kajian di daerah Pogung, ia pernah mengikuti kajian Salafi di Masjid Ulil Albab UII.
Mendatangi masjid yang mengadakan kajian Salafi memang menjadi cara mereka untuk belajar. Namun, mereka mengaku hampir tidak pernah mengikuti kajian di Masjid Mujahidin UNY. Mereka lebih nyaman mengikuti kajian yang terfokus dan sistematis seperti yang diadakan di daerah Pogung.
Belajar dari Generasi Salaf
Studi Din Wahid berjudul “Nurturing Salafi Manhaj: A Study of Salafi Pesantrens in Contemporary Indonesia”, menjelaskan bahwa istilah Salafi berasal dari kata salaf yang berarti ‘pendahulu’, secara khusus merujuk pada tiga generasi pertama dari komunitas Muslim (al-salaf al-salih). Salafi kemudian didefinisikan sebagai orang yang mengikuti manhaj (jalan) Salaf.
“Salafi itu kemurnian Islam, sih. Aku jauh dari zamannya Nabi dan Sahabat—lebih dari 1500 tahun, tapi merasa bisa menjalankan sunnahnya, rasanya jadi dekat di hati,” ucap Abdullah. Ia memang tertarik mendalami Salafi karena “kemurnian ajarannya”. Baginya, manhaj Salaf memahami agama dari orang-orang terdahulu yang diajari oleh Rasulullah SAW.
Dengan tujuan kemurnian islam, dakwah Salafi dianggap sebagai kontra wacana terhadap paham-paham “menyimpang”. Paham “menyimpang” yang dimaksud Abdullah, ia mencontohkan, seperti Syiah dan liberal. “Bahaya banget pemikiran kayak gitu, liberal,” komentarnya terhadap disertasi kontroversial Abdul Aziz, mahasiswa Doktoral UIN Suka yang berjudul “Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital”.
Berkelindan dengan pemurnian ajaran, FA menyebut pemurnian tauhid lekat pada ajaran Salafi. “Prinsip mereka itu benar-benar memurnikan tauhid. Memang saya butuh itu—kayak dasarnya belajar [agama],” jelasnya. Dari hal tersebut ia merasa nyaman dengan Salafi, setelah melakukan penjajakan ke berbagai golongan Islam.
Serupa dengan FA, menurut Ulfa hal pertama yang dipelajari oleh Salaf adalah tentang tauhid. “Tauhid itu dasar,” ucapnya. Ia juga menambahkan bahwa tauhid adalah pelajaran yang tidak akan pernah selesai.
Bagi Ulfa, pemurnian tauhid bisa berkaitan dengan hal-hal sederhana yang bahkan bisa dianggap sepele padahal sebenarnya berkaitan dengan tauhid. Berkaitan akan hal tersebut, ia mencontohkannya dengan perasaan takut ketika berada di tempat angker, takut akan terjadi hal buruk pada dirinya, dan percaya pada mitos. Menurutnya, hal semacam itu sebenarnya menyalahi akidah dan membuat tauhid menjadi tidak murni.
Di sisi lain, Ulfa mengatakan bahwa kebanyakan orang mengalami misperspesi tentang Salafi. “Kamu kan Salaf, jadi enggak usah pakai mobil, ya masa kalau Salaf terus kemana-mana harus naik unta,” katanya memberi contoh sambil tertawa. Ajaran Salafi memang merujuk pada zaman Nabi dan Sahabat—yang akhirnya disebut dengan kemurnian ajaran—tapi penerapannya pada urusan ibadah, jelasnya lebih lanjut.
Setelah belajar Salafi, Ulfa menganggap tradisi keagamaan yang lekat dengan Nahdlatul Ulama seperti tahlilan dan peringatan maulid nabi adalah ibadah yang bidah. Menurutnya, Nabi pada zamannya tidak melakukan ibadah seperti itu. Hal semacam itu pun tidak ada tuntunannya, jelasnya lebih lanjut.
“Bidah itu sesuatu apa ya, kayak tambahan atau mungkin sesuatu yang diada-adakan, sesuatu yang ditambah-tambahin untuk perihal ibadah,” ucap Ulfa. Serupa dengan yang dikatakan Ulfa, Abdullah mengatakan bahwa bidah adalah hal-hal baru dalam ibadah. Kata dia, semua ibadah hukumnya haram sampai ada dalil yang memerintahkan untuk dilakukan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Din Wahid menjelaskan bahwa manhaj Salafi tidak hanya mencakup cara berpikir dalam masalah agama, tetapi juga cara berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penelitiannya di pesantren Salafi, ia mengamati para santri tidak hanya mempelajari Salafisme, tetapi juga mempraktikkan aturan-aturan, seperti mengenakan jalabiya (jubah dengan lengan panjang), menumbuhkan jenggot, dan menghindari isbal (memanjangkan dan mengikuti pakaian di bawah mata kaki).
Penjelasan Din Wahid tersebut juga tampak pada cara berpakaian Ulfa dan FA. FA mengatakan bahwa dirinya secara bertahap mengenakan pakaian yang sesuai aturan. “Awalnya aku pakai jilbab dobel dulu, supaya tidak menerawang, kalau langsung pakai aneh-aneh [jalabiya] kan mahal,” katanya sambil tertawa. Ia menabung untuk membeli pakaian agar sesuai dengan kebenaran yang diyakininya.
Demikian pula dengan Ulfa. Ia memutuskan untuk menggunakan niqab sejak mengenal Salafi. Ia memandang penggunaan niqab hukumnya sunah, sementara menutup aurat hukumya wajib bagi perempuan muslim. “Meskipun di rumah, aku tetap usahakan selalu seperti itu [mengenakan jalabiya], jangan sampai aku balik kaya yang dulu, memakai celana, enggak kerudungan ke mana-mana,” jelasnya lebih lanjut.
Setelah belajar Salafi selama dua tahun, Ulfa mengaku mengalami perubahan mendasar pada kepribadiannya. “Aku merasa lebih tenang, dan enggak gampang marah,” ucapnya. Sementara Abdullah merasa “seperti terlahir kembali” sehingga menjadi pribadi yang lebih tenang, santai, dan tertata.
Al-Mudarris, Perkumpulan Mahasiswa Salafi di UNY
“Al-Mudarris adalah komunitas manhaj Salaf khusus mahasiswa UNY,” jelas Yuli Widiatmoko, alumni Pendidikan Geografi 2015, via Whatsapp, Jumat (31/1). Komunitas tersebut diperuntukkan bagi mahasiswa yang sedang atau memiliki keinginan belajar manhaj Salaf, jelasnya lebih lanjut.
Ia gabung Al-Mudarris sejak tahun 2016 dan memegang struktur sebagai sekretaris. Saat ini, selaku alumni, ia hanya berperan membantu ketika ada kegiatan saja.
Sebenarnya nama Al-Mudarris baru digunakan sekitar tahun 2017. Nama komunitas ketika awal berdiri adalah Forum Muslim UNY (Formuny). Menurut keterangan Widi, Formuny diinisiasi oleh beberapa mahasiswa, salah satunya Riksa Ginanjar, mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia angkatan 2011.
Widi menjelaskan bahwa dibentuknya komunitas mahasiswa UNY dengan manhaj Salaf bertujuan untuk menjembatani agar dakwah sunah bisa masuk ke lingkungan kampus. Supaya tujuan tersebut bisa tercapai, Formuny membuat Majalah Al-Qashash. Di samping itu juga mengelola laman Media Muslim UNY pada 2012, berlanjut ke akun Instagram sejak akhir 2015.
Formuny pun mengalami pasang surut, pernah mati suri. Saat dihidupkan kembali—selain membuat majalah—ada program tambahan kajian rutin dan kelas Bahasa Arab. Keanggotaan dalam Al-Mudarris dibedakan antara laki-laki (ikhwan) dan perempuan (akhwat). Saat ini, anggota Al-Mudarris yang ikhwan berjumlah 32 orang. Reporter Ekspresi pun menghubungi pihak akhwat melalui Instagram muslimah_uny untuk meminta keterangan lebih lanjut, namun ditolak.
Abdullah tergabung menjadi salah satu anggota Al-Mudarris. Saat diwawancara, ia menunjukkan di dalam grup tersebut terdapat 19 anggota. Menurutnya, grup hanya dijadikan sebagai sarana berbagi info kajian.
“Saya langsung dimasukkan ke grup Whatsapp,” kata Abdullah, saat ditanya bagaimana ia bisa gabung Al-Mudarris. Sementara Ulfa dan FA tidak tahu menahu mengenai Al-Mudarris.
Widi mengatakan bahwa rekrutmen keanggotaan Al-Mudarris memang dilakukan secara personal. Kajian yang dilakukan secara rutin di area Pogung, membantu Widi untuk mendeteksi mahasiswa UNY yang sedang belajar manhaj Salaf. Ia akan memasukkan mahasiswa UNY yang ditemuinya saat kajian di Pogung ke dalam grup Whatsapp.
Tempat utama kegiatan Al-Mudarris adalah Masjid Mujahidin dan Al-Muttaqin Karangmalang. Bagi Widi selama melakukan kegiatan di kedua masjid tersebut tidak pernah ada kendala. Kegiatan terakhir yang dilakukan oleh Al-Mudarris di Masjid Al Mujahidin tertanggal 26 Oktober 2019 dengan tajuk “Untukmu yang Merindukan Surga” bersama Ustazah Azizah Ummu Yasir. Sejak tanggal tersebut baru ada kajian lagi pada 21 Maret 2020 dengan tajuk “Pintu Surga yang Harus Dijaga”, namun dibatalkan karena merebaknya penyebaran virus korona. Sementara di Masjid Al-Muttaqin, terakhir ada kajian rutin pekanan tentang fikih dari kitab Safinatun Najah bersama Ustaz Muhammad Ihsan.
Untuk mengadakan kegiatan, Al-Mudarris mengandalkan infak jamaah dan menggalang donasi. Menurut keteragan Widi, Al-Mudarris hanya beberapa kali saja bekerja sama dengan Forum Kajian Islam Mahasiswa (FKIM)—salah satu program bidang dakwah YPIA—dalam mengadakan kegiatan.
“Beberapa kampus kerja sama dengan FKIM untuk mengadakan kegiatan kajian. Namun, Al Mudarris baru beberapa kali kerja sama dengan FKIM, seringnya bergerak secara mandiri,” jelas Widi.
Pogung Pusat Dakwah Salafi
Sejak menjadi mahasiswa baru, Widi sudah aktif mengikuti kajian yang diadakan di masjid Pogung. Kala itu, ia ikut kajian pertama kali di MPR. Keaktifannya tersebut menjadikan ia dipercaya menjadi takmir di MPD. Serupa dengan Widi, Yusmanto Rosyid, mahasiswa Pendidikan Matematika 2016, juga aktif mengikuti kajian di masjid daerah Pogung yaitu MPD, MPR, dan Al-Ashri. Lalu, ia kini menjadi takmir bersama dengan Widi.
Yusman tergabung menjadi takmir atas ajakan kenalannya, seorang mahasiswa UIN Suka, tepat seminggu sebelum bulan Ramadan tahun lalu. Menurut keterangan Yusman, rekrutmen takmir dilakukan melalui ajakan personal, tidak ada pendaftaran yang bersifat formal. Sementara pergantian takmir dilakukan bila ada takmir yang pergi, misalnya karena pulang kampung, pindah rumah, atau menikah.
Takmir di MPD terbagi menjadi takmir warga setempat dan mahasiswa. Saat ini, takmir mahasiswa berjumlah 12 orang yang berasal dari UGM, UIN Suka, dan UNY. “Dari UNY ada tiga orang,” jelas Yusman lebih lanjut ketika di temui di Food Court, Kamis (6/2).
Takmir mahasiswa, seperti Widi dan Yusman, khusus ditempatkan di seksi ibadah. Selaku seksi ibadah, mereka diharuskan tinggal di masjid. Seksi ibadah bertanggung jawab mengelola kegiatan ibadah dan program seperti TPA, donasi, dan kajian.
Mengenai kajian, dalam rentang enam bulan, MPD berhasil menyelenggarakan sekitar 200 lebih kajian. Pengisi kajian didominasi oleh ustaz yang terkoneksi dengan Ma’had Al ’Ilmi, baik sebagai staf pengajar atau alumni seperti Muhammad Saifudin Hakim, Muhammad Romelan, Muhammad Abduh Tuasikal, Abu Umair, dan Aris Munandar. Ustaz-ustaz tersebut memiliki jadwal kajian rutin di MPD. Berkaitan dengan hal tersebut, Yusman menjelaskan bahwa MPD tidak memiliki keterkaitan secara struktural dengan YPIA yang menaungi Ma’had Al ’Ilmi. Kajian Ma’had Al ’Ilmi yang dilakukan di MPD pun semata-mata karena pihak Ma’had Al ’Ilmi hanya melakukan peminjaman tempat.
“Banyak lulusan Ma’had Al ‘Ilmi yang menjadi ustaz lalu mengisi kajian di masjid Pogung,” jelas Pembina YPIA, Aris Munandar, pada Selasa (3/3). Namun, Aris tidak membenarkan kalau Ma’had Al ‘Ilmi dianggap sebagai wadah pendidikan untuk menjadi ustaz. “Prinsipnya semua muslim wajib belajar agama dan tidak semua muslim harus jadi ustaz,” ucapnya saat ditemui di Masjid Al-Ashri setelah mengisi kajian.
Aris menjelaskan bahwa Ma’had Al ‘Ilmi hanya memberi dasar untuk kebutuhan setiap muslim. Tujuannya agar menjadi muslim yang melek agama. Sementara yang akhirnya menjadi ustaz adalah yang memiliki potensi kemudian mengembangkan diri, katanya lebih lanjut.
Aris bergabung di YPIA sejak lembaga dakwah tersebut masih bernama Lembaga Bimbingan Islam Al-Atsari (LBIA). Sebelum berganti menjadi yayasan, sekitar tahun 2002, ia membantu mengajar pada program Ma’had Al ’Ilmi sebagai program tertua yang dinaungi YPIA. Ketika masih bernama LBIA, program yang diadakan antara lain Dauroh Muslim Muslimah Dasar (DMMD), Bahasa Arab Dasar (Badar), dan MSA (Ma’had Sabtu Ahad).
MSA merupakan cikal bakal berdirinya Ma’had Al ‘Ilmi yang menjadi sarana penggemblengan mahasiswa dan kader pilihan yang diharapkan bisa menjadi penggerak dakwah di masa depan. Seiring dengan berjalannya waktu, MSA diubah menjadi Ma’had Al ‘Ilmi dengan jumlah pelajaran yang lebih banyak dan pengajar yang lebih banyak pula. Program DMMD dan Badar pun terus dikembangkan.
Aris mengakui bahwa program YPIA utamanya menyasar mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa adalah “agen perubahan” dan kelompok penting untuk mengembangkan dakwah di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, Pogung dipandang sebagai daerah strategis karena menjadi area indekos mahasiswa.
Program yang disediakan YPIA dibagi menjadi empat bidang yaitu pendidikan, dakwah, media dan kemuslimahan. Pada bidang pendidikan, selain Ma’had Al ‘Ilmi, ada pula program belajar bahasa Arab, tahsin dan tahfiz, serta wisma muslim sebagai tempat mahasiswa yang ingin mendapatkan lingkungan yang kondusif dalam belajar dan mengaji. Saat ini, YPIA mengelola sekitar 10 wisma. Sedangkan FKIM termasuk program dalam bidang dakwah.
Pada laman YPIA dituliskan bahwa berdirinya lembaga tersebut dirintis oleh beberapa ustaz, mahasiswa, serta alumni. Ada enam ustaz yang disebut, antara lain Abu Sa’ad, Kholid Syamhudi, Noor Akhmad Setiawan, Fauzan, Abu Yazid, dan M. Rofi’. Abu Sa’ad sempat menjadi kepala bidang pendidikan dan dakwah Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy yang dibina oleh Abu Nida.
Aris mengatakan bahwa YPIA tidak bekerja sama dengan yayasan lain. Pembiayaan dalam kegiatan dilakukan secara mandiri dengan membuka donasi untuk umum melalui muslim.or.id. Ia pun meyangkal asumsi yang menyebut pendirian YPIA terkait dengan Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy. “Kalau berhubungan dalam artian kenal teman ya memang ada dan tidak salah, hanya sebatas kenal dan tahu,” jelasnya.
Umi Zuhriyah
Haris, Ikhsan, Diah
Editor: Ikhsan Abdul Hakim
Koreksi: Artikel ini sebelumnya memuat keterangan Ulfa yang mengimplikasikan bahwa Salafi mengharamkan praktik ziarah kubur dan peringatan maulid nabi. Pemuatan keterangan tersebut menyesatkan. Pasalnya, Salafi menganggap ziarah kubur hukumnya sunah, baru diharamkan ketika dianggap menyembah selain Allah. Selain itu, komunitas Salafi mengakui tiga pendapat (mubah, makruh, haram) mengenai peringatan maulid nabi. Namun, ulama dan ustaz Salafi condong ke pendapat yang mengharamkan.
Terdapat kesalahan penulisan nama yayasan binaan Abu Nida. Nama yang benar adalah Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy, sebelumnya tertulis Yayasan At-Turots Al-Islamy.
Dalam artikel ini, keterangan mengenai Abu Sa’ad ditulis seolah masih aktif di Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy. Keterangan tersebut tidak tepat. Pasalnya, Abu Sa’ad meninggal pada Agustus 2016 dan lebih aktif di Yayasan Peduli Muslim jelang akhir hayatnya.
Laporan 2: Jalan Mulus KAMMI Memenangkan Politik Kampus
Laporan 3: Gema Pembebasan: Dakwah Khilafah di Kampus Pendidikan
Laporan 4: Salafi: Dakwah Pemurnian Islam di Kampus
Laporan 5: Stigma Radikal dan Problem Kebebasan Berekspresi di UNY