Penulis: Lyz Lenz, Lillian Ross, David Samuels, Anthony Sadid, dan Joanna Cattanach
Penerjemah: Fahri Salam
Penerbit: MOJOK
Cetakan: 2018
Jumlah Halaman: iii + 61
Ekspresionline.com—Semua esai yang ada di buku Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad diambil dari blog Fahri Salam—yang sebenarnya jauh lebih lengkap. Sebab dalam blognya, Fahri Salam menerjemahkan beberapa prosa nonfiksi yang sama kerennya seperti esai-esai di buku ini. Namun, bagi orang gampang gerah membaca lewat layar digital, lebih afdol membacanya di kertas—buku konvensional.
Terdapat beberapa esai yang menarik perhatianku. Misalnya esai “Mari Berkenalan dengan Pamela Colloff, Penulis yang Bagusnya Brengsek Banget di Texas” yang ditulis Lyz Lenz. Cara Colloff meliput sebuah berita amat unik dan berbeda dari wartawan kebanyakan.
Colloff merumuskan segalanya; meriset isu hingga membuat daftar pertanyaan. Saat wawancara, ia lebih memilih mendengarkan secara seksama tanpa menggunakan alat perekam. Setelahnya, ia akan menulis apa yang diingatnya dari percakapan tersebut: “Wawancara yang baik adalah suatu percakapan,” catat Colloff. “Bukanlah interogasi, yang membuat kamu berusaha menggali sesuatu dengan mengajukan tuduhan,” (hal. 10).
Esai ini mengingatkan kita pada Gabriel Garcia Marquez. Metode Collof menjalankan sebuah proses reportase–yang bukan sekadar wawancara konvensional–, beririsan dengan pandangan Gabo (panggilan Gabriel Garcia Marquez). Sekalipun, Gabo lebih sengak lagi terhadap alat perekam.
Silvana Paternostro dalam esai “Three Days with Gabo” mengutip percakapannya dengan Gabo terkait metode reportase. “Tape perekam itu adalah beo digital. Ia punya kuping tapi tak punya hati. Ia tidak menangkap detail sehingga menjadi tugas kita [wartawan] untuk mendengar melampaui kata-kata, menangkap apa yang tidak diucapkan lantas menuliskan cerita lengkapnya,” ujarnya.
Bagi Gabo, reportase adalah rekonstruksi ruwet yang bersetia pada “cerita”. Ia bersikap pesimis pada wartawan yang hanya terbiasa menyorongkan alat perekam untuk wawancara. Sebab, sangat bodoh rasanya mempercayai alat perekam bisa berpikir, bisa merasa; anggap saja, wartawan sudah “mencabut sambungan otak” buat mempercayai alat perekam itu. Itulah mengapa, Gabo menganggap wartawan adalah dedikasi dan renjana, bukan sekadar pekerjaan.
Seorang jurnalis harus setia terhadap proses, mulai dari penggalian riset hingga menuliskannya. Itulah yang dilakukan Colloff dan juga Lawrence Wright. “Proses Prosa Wright” yang ditulis Joanna Cattanach, memaparkan proses Wright menciptakan prosa nonfiksi. Wright adalah seorang jurnalis yang tekun dan punya disiplin amat tinggi.
Proses Wright menulis The Looming Tower itu amit-amit ketatnya. Ia mewawancarai 600 narasumber, mengumpulkan informasi penting dalam kartu berukuran 4×6 cm. Riset bagi Wright adalah bagaimana membangun alur cerita, tulis Joanna. Metode risetnya dikenal dengan proses wawancara horizontal atau teori gelang karet.
Sama seperti judulnya, dalam buku ini, kita memang diajak, atau setidaknya untuk tahu soal reportase dari pakarnya.
***
“Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad” mengisahkan saudagar buku di ibukota Irak, Mohammed Hayawi yang memiliki kekayaan hidup abadi. Hidupnya dedikasikan untuk mengembangkan bisnis warisan toko buku peninggalan ayahnya, toko buku Renaisans. Ia kelola toko buku itu bersama keluarganya dan kemudian Hayawi membuka cabang beberapa toko buku lain. Lalu, di satu masa yang tidak menguntungkan, ia tewas terkena ledakan bom di Jalan al-Mutanabbi, jalan di mana toko bukunya berdiri.
Anthony Shadid mengabadikannya menjadi sebuah prosa. Ia tulis kisah Hayawi dengan serangkaian peristiwa yang berkelindan di Irak. Kekhasan Hayawi tampak pada dialognya bersama Anthony. Dari mulut Hayawi, meluncur kata-kata sederhana seorang rakyat yang menginginkan kedamaian, bukan lengkingan bom di tiap sudut kota. “Ia muslim yang taat, tapi cemas atas naiknya sentimen agama dalam politik.” (hal.42) tulis Anthony, menggambarkan kecemasan yang lambat laun merasuk ke iklim perpolitikan Irak.
Hayawi tewas pada musim panas 2003 di Jalan al-Mutanabbi yang tersohor akan lanskap kebudayaan. Saat itu, Irak ternodai dengan aksi teroris. Di tahun yang sama pula, Irak kembali ke Tahun Nol. Perumpamaannya, Irak merupakan kotak harta karun berisi kekayaan budaya dan sejarah sudah dirusak habis-habisan sampai ke akarnya.
Hal ini ditandai dengan kejadian 12 April, penjarahan besar-besaran Museum Arkeologi Bagdad. Dua hari setelahnya, sekitar sejuta buku di Perpustakaan Nasional dibumihanguskan. Perpustakaan di berbagai universitas di Bagdad, yang terkenal sebagai pusat kebudayaan Islam turut terbakar. Tidak hanya di Bagdad, situs-situs bersejarah dan perpustakaan di kota-kota lain, seperti Basra, Mosul, dan Tikrit juga dihancurkan bom, dibakar, dan dijarah semena-mena.
Fernando Baez dalam buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa mengutip Robert Fisk, jurnalis koresponden Independent untuk Timur Tengah: “Bagi Irak, ini adalah Tahun Nol; dengan dihancurkannya benda-benda antik di Museum Arkeologi pada hari Sabtu dan pembakaran Arsip Nasional kemudian perpustakaan Al-Qur’an, identitas budaya Irak tengah dihapus. Mengapa? Siapa yang menyalakann api ini? Untuk tujuan gila macam apakah warisan ini dimusnahkan?”
Robert Fisk marah pada keacuhan tentara-tentara Amerika Serikat. Sedangkan politikus negara adikuasa itu sekadar berkomentar prihatin dan lepas tangan. Para tentara memang tidak ikut serta dalam penghancuran kebudayaan secara langsung. Namun, sikap mereka sudah menjelaskan omong kosong “kepedulian” Amerika Serikat. Hayawi berkomentar: “Janji orang Amerika pada Irak seperti seperti berusaha menggenggam air di tanganmu. Tumpah di sela-sela jemarimu,” (hal. 42).
Jalan al-Mutanabbi mengalami kematiannya ketika Irak diberi sanksi oleh PBB atas invasi Kuwait. Jalan itu jadi onggokan toko-toko buku dengan berbagai monograf lawas yang terasing dari pembaca.
Perang menimbulkan kehancuran ilmu pengetahuan. Misalnya pada toko-toko buku di Afghanistan yang juga mengalami era-era penghancuran. Taliban saat itu menguasai Afghanistan, dan semua buku yang berisi gambar makhluk hidup (manusia dan binatang) diberangus. Para tentara itu hanya menyoroti buku-buku bergambar, mereka melewatkan buku-buku yang tak bergambar, kendati bertentangan dengan ideologi yang mereka usung. “Para tentara buta huruf dan tidak bisa membedakan doktrin Taliban yang ortodoks dari sekumpulan surat, makhluk hidup dari benda mati,” tulis Asne Seierstad dalam bukunya, Saudagar Buku dari Kabul.
Kita bisa ingat sebuah kalimat dari Rumah Kertas karya Carlos Maria Dominguez, bahwa sebuah buku tidak akan hancur lebur kecuali dikehendaki demikian, dengan merobek-robek halaman, lalu membakarnya.
Khansa Nabilah
Editor: Abdul Hadi