Ekspresionline.com–Berbagai masalah dalam penggunaan buku pelajaran sekolah telah melahirkan berbagai produk hukum. Pada tahun 2008, lahir Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2008. Salah satu isi dari peraturan tersebut adalah larangan bagi pihak sekolah ataupun tenaga kependidikan menjual buku pelajaran kepada murid. Aturan tersebut diperkuat melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 75 Tahun 2016 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2017.
Akan tetapi, bagaimana penegakan aturan tersebut? Berikut petikan wawancara reporter EKSPRESI, Rofi Ali Majid dengan Muryanto dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DIY. Kami bersua di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DIY yang berlokasi di Jalan Cendana No. 9 Yogyakarta.
Soal aturan buku sekolah, beberapa daerah sudah melarang sekolah untuk menjual buku pelajaran seperti buku Lembar Kerja Siswa (LKS) ke muridnya, bagaimana dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
Kalau buku pelajaran itu kan sekolah juga belanja dan itu memang ada aturannya. Untuk pembelian buku itu kalau anggaran di dalam Bantuan Operasional Sekolah (BOS) itu 20%, tapi pembeliannya diutamakan melalui e-katalog. Itu dari pemerintah.
Kan sudah ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah untuk buku pelajaran, sekolah tidak boleh menjual buku pelajaran ke murid?
Ya memang tidak boleh. Selama ini setahu saya, sepengamatan kami tidak ada di SMK, ini SMK nggih. Kalau yang SMA saya kurang tau. Itu nggak ada sekolah yang memerintahkan siswanya untuk beli buku.
Alasannya kenapa sih, kok sekolah tidak boleh jual buku pelajaran ke murid?
Ya itu memang peraturan pemerintah, sudah demikian dan itu memang sudah ada bantuan pemerintah dari BOS. Di situ kan ada aturan-aturan yang harus dilaksanakan oleh sekolah terkait dengan penggunaan dana tersebut, termasuk di dalamnya untuk pembelian buku pegangan guru, buku pelajaran untuk siswa, atau pun juga untuk memperkaya koleksi perpustakaan sekolah.
Mekanisme pengadaan buku pelajaran itu bagaimana?
Mekanisme pengadaan ya melalui e-katalog, di situ kan ada semacam brosur [katalog buku], termasuk penerbit dan harga bukunya, itu nanti sebagai pedoman. Ketika di dalam e-katalog itu tidak ada yang dicari, maka boleh membeli di luar. Akan tetapi itu tidak seluruhnya, pedomannya tetap dengan e-katalog tadi. Sehingga sekolah belanja bukunya itu langsung ke penerbit yang sudah terdaftar di e-katalog tadi.
Penerbit apa saja yang terdaftar di e-katalog?
Nah, saya kurang paham itu. Karena di dalam e-katalog saya sendiri belum pernah melihat, belum pernah membuka, dan kalau mau tahu mendingan tanya ke sekolah langsung. Nanti kan bisa tahu mana saja yang bisa diajak kerjasama dengan sekolah.
Dalam beberapa tahun terakhir kan ada perubahan kurikulum, apakah itu berpengaruh dalam pengadaan buku pelajaran?
Sangat berpengaruh. Makanya untuk sekarang ini anjuran itu sudah mengarah ke e-katalog, itu karena terkait dengan perubahan kurikulum, sehingga di situ buku-buku sebagian besar memang sudah ada, meskipun ada buku-buku yang belum ada di dalam e-katalog itu.
Di beberapa sekolah ada yang menjual buku LKS lewat koperasi, itu boleh tidak?
Kalau untuk sekarang tidak boleh itu. Jadi semua buku itu sudah dibeli oleh sekolah dengan dana BOS tadi. Memang kadang kala bukunya belum mencukupi, tapi meski belum mencukupi tetap tidak diperkenankan menjual buku pelajaran ke murid.
Itu bisa diatasi dengan satu meja satu buku ya?
Iya, bisa seperti itu.
Misal ada sekolah yang menjual buku pelajaran kepada muridnya dengan alasan buku dari negara tidak sesuai, mekanisme pelaporannya bagaimana?
Kalau ke dinas tidak ada pelaporan-pelaporan kayak gitu. Jadi terkait dengan itu semua kan ada mekanisme keseluruhan sehingga untuk pengadaan buku kemudian pembeliannya, itu sudah diatur di dalam panduan BOS tadi dan belum pernah ada laporan yang menyimpang dari itu. Sehingga, seandainya memang ada kasus, itu nggak mungkin dilaporkan ke dinas pendidikan dan itu secara otomatis memang menyalahi aturan.
Kalau andai kata itu sebagai alasan bahwa buku yang dikeluarkan pemerintah melalui e-katalog kurang sesuai, itu tidak boleh dijadikan alasan. Selama ini belum pernah saya dengar alasan seperti itu ke dinas pendidikan, kalau ada pastinya sudah ada tindakan-tindakan
Reporter kami ada yang habis Pengenalan Lapangan Persekolahan, dia mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris. Guru di sekolah tersebut kesusahan kalau pakai buku pelajaran dari negara, sehingga lebih memilih menggunakan LKS untuk memudahkan. Bagaimana tanggapan anda?
Nah, ini kan belum ada laporan ke dinas pendidikan. Sehingga kami sendiri juga belum bisa menindaklanjuti.
Laporan 2: Industri Buku dan Evolusi Sistem Tata Niaga
Laporan 3: Digitalisasi Industri Buku: Dari Distribusi hingga Konsumsi
Laporan 4: Wattpad: Dari Media Sosial ke Industri Buku Cetak
Laporan 5: Buku dalam Bayang-Bayang Negara
Laporan 6: Kancah Suram Penerbit Perguruan Tinggi
Laporan 7: Masih Ada Pendidik yang Jual Buku Pelajaran ke Murid
Laporan 8: Sekolah dan Tenaga Kependidikan Dilarang Jual Buku Pelajaran
Laporan 9: Dari Jogja, Mereka Melawan Pembajakan
Opini: Pratik Jual Beli Buku Pelajaran Adalah Bentuk Pengabaian terhadap Hak Siswa