Ekspresionline.com–Cahaya kekuningan dari lampu menghujani seisi ruangan yang cukup luas itu. Selasa malam (2/5/2023), ruang bazar buku di The Ratan, Panggungharjo, Bantul, ramai diisi ratusan orang. Ruangan tersebut terbagi menjadi dua: tempat para tamu undangan lengkap dengan kursinya, tepat di depan panggung; dan tempat para pengunjung lain, yang mengisi ruang bazar buku berlangsung.
Waktu belum lagi menunjukkan pukul 19.30 WIB, namun ruangan berdinding kaca tersebut telah dipenuhi oleh riuh redam suara pengunjung Jogja Art+Book Fest 2023. Beberapa di antara mereka berusaha untuk mendapatkan tempat paling depan, beradu dengan garis pembatas pengunjung. Antusiasme tergambar pada wajah mereka.
Malam itu bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Sebagai rangkaian dari Jogja Art+Book Fest 2023, hari lahirnya Ki Hajar Dewantara itu diperingati melalui pembacaan pidato kebudayaan oleh Seno Gumira Ajidarma. Tak tanggung-tanggung, penulis dan sastrawan yang kerap mengisi kolom cerpen di surat kabar nasional itu, hendak membacakan pidato bertajuk “Sekolah Liar. Mengapa Tidak?”
Acara dibuka oleh penampilan musik yang dibawakan oleh Fajar Merah. Diiringi oleh petikan gitar akustik, anak dari Wiji Thukul itu melantunkan dua buah lagu dengan judul “Lagu Anak” dan “Bunga dan Tembok”. Suara merdunya memantul di setiap dinding ruang, menghanyutkan para pengunjung dalam emosi lagu yang dinyanyikannya.
Selepas penampilan tersebut, Seno Gumira Ajidarma menaiki podium yang berada di atas panggung. Mengenakan setelan kaos dan celana hitam, juga membiarkan rambut putihnya yang panjang tergerai begitu saja, penampilan Seno tampak sederhana. Namun, sorot pandang seisi ruangan langsung tertuju padanya, juga pada setiap kata yang mengalir dari mulutnya.
Perlawanan Diam Taman Siswa terhadap Ordonansi Kolonial
Dengan pembawaan santai dan senyum di wajahnya, Seno membacakan naskah pidato yang dibawanya. Sesuai dengan hari besar yang tengah diperingati, pidato tersebut membahas tentang keberadaan sekolah liar sebagai bentuk perlawanan terhadap batasan-batasan dalam dunia pendidikan. Untuk itu, ia mengambil Raden Mas Soewardi Soeryaningrat sebagai contoh tokoh yang melakukan gebrakan dalam dunia pendidikan.
Soewardi Soeryaningrat, yang pada kemudian hari dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, ialah pendiri sekolah Taman Siswa. Pada tahun 1930-an, pemerintah kolonial Belanda sedang gencar melakukan Ordonansi Sekolah Liar untuk “menertibkan” sekolah-sekolah yang berada di Hindia Belanda. Ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah dibatasi dan diawasi secara ketat untuk memastikan tidak ada bibit nasionalisme yang ditanamkan. Para siswa yang belajar pada masa itu diharapkan untuk lulus sebagai individu yang bekerja untuk kepentingan Belanda, dan kebutuhannya bergantung pada bangsa-bangsa Barat.
Seno kemudian menggarisbawahi kehadiran Taman Siswa sebagai bentuk perlawanan, yakni dengan mengedepankan sistem pendidikan dan tradisi kebudayaan yang dianutnya. Perlawanan yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara terhadap Ordonansi Sekolah Liar, kutip Seno dari tokoh pendidikan nasional tersebut, bukanlah perlawanan yang terang-terangan. Akan tetapi, perlawanan yang diam-diam, yang dilakukan berdasarkan keteguhan batin, bukan fisik.
Taman Siswa menjadi suatu pilihan yang mendukung rakyat untuk bebas dalam memilih pendidikan bagi anaknya, karena sekolah swasta pada waktu itu lahir dan dipelihara oleh rakyat. Maka, secara otomatis, menjadi milik rakyat. Kehadiran ordonansi oleh pemerintah kolonial menjadi pembatas akan hak-hak rakyat tersebut, dan apabila mengamininya, maka akan menjadi kematian dari kebebasan pendidikan.
Sikap Ki Hajar Dewantara ini, menurut Seno, ialah suatu pernyataan kesatriaan. Sikap ini pula, meskipun dilakukan secara diam-diam, tetap berpegang teguh pada keyakinan untuk tidak tunduk terhadap kekangan pemerintah kolonial.
“Pernyataan seperti ini merupakan pernyataan kesatriaan kepada musuh. Ia [Ki Hajar Dewantara] tidak memohon, tapi memaklumkan bahwa ia tidak menganggap sah ordonansi itu,” tutur Seno dalam pidatonya.
“Pemberitahuan perlawanan diam-diam, tidak lain dari pernyataan terbuka permusuhan, yang dalam bahasa Jawa disebut mbalela, artinya tidak jauh dari memberontak.”
Sekolah Sebagai Pengecer Ilmu
Akan tetapi, tidak semua sekolah liar itu bermakna gerakan dalam pendidikan yang juga membawa kepentingan politik. Seno bertutur bahwa terdapat pula sekolah liar yang berhaluan untuk mencari keuntungan ekonomi, sehingga sekolah berperan lebih sebagai pengecer ilmu, atau tempat untuk menjual-beli ilmu.
Kali ini, ia mengangkat contoh dari dunia pewayangan. Begawan Kombayana, atau juga dikenal sebagai Mahaguru Dorna, menjadi tokoh yang disoroti oleh Seno untuk menggambarkan posisi sekolah sebagai toko yang menjual ilmu. Dalam hal ini, Dorna menempati posisi sebagai si guru ‘penjual ilmu’, yang secara eksklusif hanya mengajarkan ilmu kepada bangsa Arya atau keturunan Bharata, yang juga dikenal sebagai Pandawa dan Kurawa.
Seno membandingkan Dorna dengan Ki Hajar Dewantara. Dorna, yang dalam pewayangan digambarkan sebagai sosok yang mengenakan busana necis untuk menunjukkan jabatan dan kehormatannya, berbanding terbalik dengan karakter Semar yang menjadi panutan Ki Hajar Dewantara, yang sekaligus menjadi asal-muasal munculnya nama panggilan tersebut. Semar digambarkan bertelanjang dada dengan segala kesederhanaannya. Tentu saja, hal ini sangat berbeda dengan Dorna yang bersifat keduniawian.
Penggambaran ini, menurut Seno, ialah suatu bentuk sindiran terhadap sekolah liar yang mendagangkan ilmu. “Gambar ini [Begawan Dorna] bersifat karikatural dan bersikap kritis terhadap kaum guru sekolah liar saat itu, yang tergolong ‘tukang dagang intelek’, yang memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai barang komoditas.”
Untuk mempertegas perniagaan pendidikan yang dilakukan Dorna, Seno mencantumkan kisah Ekalaya, seorang putra mahkota dari negeri Nisada. Bertekad untuk belajar memanah kepada Begawan Dorna, Ekalaya melakukan perjalanan jauh dengan melintasi gunung dan hutan untuk mencapai Hastinapura, tempat Begawan Dorna berada. Namun, setibanya di sana, Dorna menolak untuk mengajari Ekalaya. Alasannya, ia telah bersumpah untuk mengajari Bangsa Arya semata. Tujuan dari tindakan Dorna ini tak lain dan tak bukan ialah untuk memastikan keturunan hanya Bharatalah yang mendapatkan pendidikan terbaik, dan dengan demikian dapat “mempertahankan statusnya” di atas bangsa-bangsa lain.
Tak hanya itu, Seno beranggapan bahwa tindakan Dorna sejatinya merupakan suatu tindakan menjual ilmu. Ia hanya menurunkan ilmu itu kepada Pandawa dan Kurawa agar mendapatkan imbalan dari mereka.
“Terdapat agenda tersembunyi Dorna yang jika diungkap dengan jujur terpaksa ditelan; bahwa ia memang menjual ilmunya kepada penawar tertinggi,” ucap Seno. “Ia menurunkan ilmu hanya kepada keturunan Bharata, atas kemewahan dan kehormatan yang diterimanya.”
Setelah ditolak oleh Dorna, Ekalaya tak surut semangat belajarnya. Ia pergi ke tengah hutan, membuat patung Dorna (karena meskipun telah direndahkan oleh Dorna, ia tetap menghormatinya), dan belajar caranya memanah seorang diri. Ia berhasil menjadi seorang pemanah yang ulung, bahkan mengalahkan Arjuna di kemudian hari. Tindakan Ekalaya ini juga dapat dianggap sebagai sekolah liar, dengan menciptakan ruang belajarnya sendiri setelah dikekang oleh sistem pendidikan Begawan Dorna.
Sekolah Liar di Masa Kini
Dari pemaparan tentang perlawanan Taman Siswa dan kisah Begawan Dorna dengan Ekalaya, Seno membawa hadirin untuk melakukan refleksi terhadap pendidikan di masa kini. Apakah saat ini, kurang lebih seabad setelahnya, kita sudah bebas dari pembatasan dan perdagangan dalam pendidikan? Apakah sistem pendidikan yang berlaku saat ini sudah benar tak akan melahirkan masyarakat yang bergantung pada bangsa Barat dengan gaya hidup borjuis? Apakah pendidikan nasional saat ini tak lagi meniru pendidikan kolonial, yang tak berfokus pada pengembangan badan dan pikiran, tapi untuk menjadikan mereka sebagai buruh?
Untuk itu, Seno membawakan kasus mengenai seorang mahasiswa seni, yang pada tahun 1985 ditolak rencana tugas akhirnya. Mahasiswa itu bernama Moelyono. Pada waktu itu, ia mengusulkan tugas akhir dengan topik Kesenian Unit Desa (KUD). Konsep ini diangkat dari kemiskinan yang dialami oleh petani Maung, Tulungagung. Ia memamerkan karya seninya yang berupa sebuah bangunan mirip bangau dengan tikar dan buku gambar berisikan drawing seorang tokoh konglomerat. Di hadapannya terdapat jejeran tikar yang masing-masing diduduki sepincung daun pisang yang berisi tanah dengan semaian tanaman ladang.
Dalam arsip koran yang memuat kisah Moelyono ini, terdapat pernyataan dari pihak kampusnya, bahwa karya eksperimen seperti ini lebih tepat untuk dilakukan mahasiswa program S-2 atau S-3. Seno beranggapan bahwa Moelyono, melalui karyanya, telah mengembangkan konsep pendidikan yang melawan wacana oleh kelompok yang dominan.
“Sebagai seorang guru gambar, ia mengembangkan konsep pendidikan seni rupa yang jelas melawan wacana pendidikan seni kelompok dominan,” ujar Seno.
Tak berhenti di situ, Moelyono juga memberdayakan anak-anak di daerah Brumbun, Jawa Timur. Di sana, ia mengajarkan pendidikan kesenian kepada anak-anak setempat menggunakan sumber daya yang ada di sana. Karena sulit untuk mendapatkan buku dan alat gambar, sarana yang digunakan ialah ranting dan pasir pantai. Mereka menceritakan tentang kehidupan mereka; mulai dari ancaman malaria, hingga hal remeh seperti berebut selang air. Karya seni anak-anak tersebut pada akhirnya mendapat sorotan dari pemerintah setempat, dan desanya pun berubah menjadi desa wisata.
Dari kacamata Seno, pendidikan seni tak lagi bertujuan untuk mencetak seniman. Akan tetapi, seni dilakukan sebagai bentuk aktivisme dari kehidupan masyarakatnya, yang dalam prosesnya dapat mengubah masyarakat itu sendiri. Kesadaran mengenai hal tersebut dilakukan dari struktur masyarakat termuda, yakni anak-anak balita.
“Pemberdayaan masyarakat miskin berarti pula mengubah nasibnya, dan hal ini hanya mungkin jika masyarakat terlibat di dalamnya,” tutur Seno dalam pidatonya. “Maka yang disebut pendidikan bagi guru gambar ini berlaku sebagai jalan masuk, sebagai tahap awal bagi tujuan akhir pemberdayaan, dalam arti mengubah konstruksi berpikir masyarakat.”
Menjelang akhir pidatonya, Seno menegaskan, “Betapapun, di mana ada kekuasaan, di sana ada perlawanan; justru demi berlangsungnya kebudayaan.”
Seno berujar bahwa para penggerak sekolah liar, seperti Moelyono, tentu ada di berbagai bidang kependidikan lain. Sekolah liar telah ada sedari kisah Mahabharata muncul dan juga ada ketika Taman Siswa melawan ordonansi pemerintah kolonial.
“Dan karena itulah, sekolah liar akan selalu ada. Kehadiran saya di sini hanyalah untuk mengesahkan,” pungkas Seno menutup pidatonya pada malam itu, diikuti oleh riuh tepuk tangan para penyimaknya.
Pidato Seno sedikit banyak mengingatkan saya pada lirik lagu “Bunga dan Tembok” yang dibawakan Fajar Merah pada awal acara. Laksana bunga, sekolah liar menanamkan bibitnya di tembok yang membatasinya, dan akan terus tumbuh menembus tembok tersebut.
Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh
Seumpama bunga
Kami adalah yang tak kau hendaki adanya
…
Jika kami bunga
Kaulah tembok itu
Telah kami sebar
Biji-biji di tubuhmu
Suatu saat kami
‘Kan tumbuh bersama
Dengan keyakinan
Nugrahani Annisa
Editor: Rosmitha Juanitasari