Judul : Seni Mencintai
Penerbit : Basabasi
Tahun Terbit : 2018
Jumlah Halaman : 188 halaman
ISBN : 978-602-6651-69-3
Ekspresionline.com–Tahun lalu saya membaca buku berjudul “ Seni Mencintai”, menurut saya, buku ini menarik untuk refleksi diri dari berbagai pertanyaan. Tentang bagaimana kita selama ini mengelola perasaan yang senantiasa kita sebut dengan “perasaan cinta”?, bagaimana selama ini kita berelasi dengan orang yang kita cintai? Termasuk dengan pasangan, teman maupun keluarga, dan bagaimana kita memperlakukan mereka?
Kemudian semester 5 lalu dalam mata kuliah Gender, Keluarga dan Intimasi dosen saya juga membahas mengenai konsep cinta berdasarkan teori Erich Fromm dengan rujukannya adalah buku tersebut. Ya, jurusan saya membahas materi cinta, jurusan yang lekat dengan urusan manusia ini apalagi kalau bukan sosiologi. Pada kelas tersebut, pembahasannya terasa sangat menarik karena teman-teman di kelas berdiskusi dengan aktif. Hal ini membuktikan isu soal “Cinta” ini populer di kalangan teman-teman seusia saya.
Cinta Adalah Rasa Saling Menghormati Satu Sama Lain
Seringkali karena kita menganggap perasaan yang tumbuh adalah “cinta yang besar” hingga rasa takut kehilangan menguasai diri kita. Perasaan cemburu yang berlebihan jika pasangan dekat dengan orang lain, dan berujung pada sikap posesif sehingga membatasi gerak pasangan kita. Melarang dia melakukan ini, melarang dia bertemu dengan lawan jenis atau hal-hal serupa lainnya.
Padahal definisi cinta sendiri menurut Erich adalah kekuatan aktif dalam diri seorang manusia, kekuatan yang mampu untuk meruntuhkan tembok dan memisahkan manusia dari sesamanya, yang menyatukan dirinya dengan yang lain, yang membuat dirinya mengatasi perasaan isolasi dan keterpisahan, namun yang memungkinkan dirinya untuk menjadi diri sendiri, mempertahankan integritasnya. Cinta memiliki paradoks bahwa dua insan menjadi satu namun mereka tetap menjadi dua.
Artinya, tidak ada kepemilikan dalam menjalin hubungan, sehingga tidak ada yang didominasi atau dikuasai untuk memenuhi keinginannya. Masing-masing individu berhak memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya secara penuh. Relasi demikian menjadi sebuah relasi sehat yang tidak ada keterpaksaan diantaranya. Cinta adalah rasa saling menghormati. Rasa hormat ini berarti menyadari bahwa setiap individu memiliki kekhasannya masing-masing dan peduli bahwa orang lain termasuk pasangan kita punya kesempatan untuk berkembang dan bertumbuh sebagai dirinya sendiri.
Selain itu Erich Fromm mengemukakan konsep “cinta itu memberi bukan menerima”. Kon dalam bukunta “Seni Mencintai” konsep ini sering disalah artikan. Pemahaman mengenai memberi akhirnya dianggap sebagai menyerahkan segalanya yang dimiliki untuk pasangan, kehilangan sesuatu dan mengorbankan sesuatu untuk pasangan. Hal tersebut membuat masing-masing individu merasa memiliki “keharusan” untuk memberikan segalanya, waktu, tubuh, uang, pikiran dan lain sebagainnya untuk pasangan agar hubungan berjalan dengan langgeng. Akhirnya, hal tersebut membentuk persepsi jika tidak mengorbankan atau memberikan segalanya yang diinginkan pasangan maka tandanya tidak sungguh-sungguh mencintai.
Padahal, konsep memberi menurut Erich bukan berarti menyerahkan segalanya, namun memberi adalah wujud dari adanya kekuatan, kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki diri sendiri. Dalam hal ini memberikan apa yang ada di dalam diri individu, memberikan kebahagiaan, pengetahuan, minat, berbagi kesedihan dan pengalaman yang dimiliki masing-masing. Relasi dengan konsep memberi ini akan berjalan lebih aktif karena masing-masing individu saling memberi dan berbagi apa yang dimilikinya itu tadi dan bukan berarti menyerahkan dan mengorbankan segalanya.
Mencintai Diri Sendiri Bukan Narsisme
“Mampu mencintai secara produktif, berarti seorang individu mencintai dirinya juga, jika hanya mencintai orang lain, ia sama sekali tidak dapat mencintai”
Kata-kata di atas adalah ungkapan yang dikemukakan oleh Erich Fromm. Mencintai secara produktif berarti cinta yang menimbulkan rasa untuk peduli, hormat, tanggung jawab dan pengetahuan terhadap dirinya. Cinta yang produktif akan selalu mengizinkan dirinya untuk terus tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Ketika individu belum mampu memiliki rasa cinta yang utuh dan secara produktif terhadap dirinya sendiri, ia tidak akan mampu mencintai orang lain juga, ia akan terus menuntut pasangan untuk mencintainya, menuntut orang lain untuk terus memperdulikannya. Dia akan merasa cukup dengan dirinya dan tidak bergantung terhadap orang lain.
Selain itu, mencintai diri sendiri merupakan upaya untuk terhindar dari dominasi orang lain. Karena ketika belum mampu mencintai diri sendiri, individu akan merasa butuh untuk dicintai orang lain. Dia akan terus mempertanyakan nilai dirinya sehingga akan mengizinkan orang lain mendominasinya, mengekangnya dan melakukan apapun agar tidak kehilangan pasanganya.
Salah pemahaman mengenai cinta ini menimbulkan banyak kasus kekerasan dalam hubungan baik secara fisik maupun psikis. Mereka tidak mampu untuk keluar dari dalam belenggu itu karena menganggap perlakuan pasangan adalah bentuk cinta dan rasa takut kehilangan. Konsep cinta yang dikemukakan Erich Fromm menjadikan cinta bekerja secara sehat, setara dan mampu menghargai satu sama lain. Cinta yang tidak menghilangkan integritas diri, dan mampu berkembang dengan bersama.
Buku ini layak sekali untuk dibaca, karena Erich From memberikan berbagai pedoman dalam memahami konsep cinta yang sehat. Dalam buku dengan tebal 188 halaman ini, pembaca dibawa untuk turut merenungi bagaimana pola-pola hubungan yang sebelumnya dibentuk. Apa yang ternyata menjadi persoalan dan bagaimana seharusnya cinta dan suatu hubungan itu bekerja. Tidak lupa buku ini memberikan konteks bahwa kita harus mencintai diri sendiri, dengan mengenali dan memahami diri sepenuhnya sebelum mencintai orang lain.
Nuriyah Hanik Fatikhah
Editor : Ayu Cellia Firnanda