Ekspresionline.com–Urgensi mengenai pendidikan seks menjadi alasan utama HIMA Psikologi mengangkat tema “Sex Education dan Kekerasan Seksual: Mengulik Motif Perilaku Kekerasan Seksual” pada Srawung Psikologi, Kamis (25/04/2019). Diskusi tersebut bertempat di Auditorium FIP, Abdullah Sigit Hall.
Diskusi ini dipantik oleh Riyanto dari Rifka Annisa dan Mukhlis dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Riyanto memulai bahwa seksualitas tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Alasannya dikemukakan oleh Mukhlis, di mana masyarakat selalu menghubungkan kata “seks” dengan hubungan seksual, padahal sebenarnya seks adalah jenis kelamin.
“Kekerasan seksual tidak hanya menyerang korban dengan spesifikasi tertentu, seperti yang berpendidikan rendah atau istilahnya orang kampung,” tutur Riyanto.
Riyanto menambahkan, kini orang berpendidikan tinggi juga tidak lepas dari ancaman kekerasan seksual. Banyak kasus kekerasan seksual justru terjadi di tempat yang dinilai paling aman dari tindakan tersebut. Lembaga pendidiakan seperti sekolah menengah dan perguruan tinggi yang harusnya mejadi tempat yang paling kondusif, juga tidak lepas dari ancaman terjadinya kekerasan seksual di lingkungan tersebut.
Menurut Riyanto, kekerasan merupakan masalah keadilan yang paling kompleks. Hal tersebut dikarenakan dalam satu tindak kekerasan seksual, misalnya pemerkosaan, bukan hanya pemerkosaan saja yang terjadi. Di dalamnya terdapat kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan sosial (victim blaming).
Mukhlis menambahkan, ada suatu bentuk pemerkosaan yang jarang disadari dan dapat berbentuk fisik maupun verbal, yaitu pemerkosaan cicilan. Dimulai dari rayuan, lalu berpegangan tangan, naik ke pipi, berlanjut ke pelukan, telanjang, kemudian berhubungan seks. Hal ini sering kali tidak disadari karena kedua belah pihak berpikir kegiatan tersebut dilakukan atas nama cinta.
Pada kekerasan seksual terhadap anak, biasanya korban akan di cap tidak bermoral. Hal tersebut disampaikain oleh Riyanto. Lebih lanjut, menurutnya laki-laki hanya akan kehilangan keberuntungannya saat dipenjara. Namun, korban yang kebanyakan wanita akan disalahkan dan kehilangan harapan. Korban sulit memulihkan diri, apalagi untuk bercerita. Belum ada konsekuensi hukum yang dapat melindungi korban secara utuh.
“Korban banyak dirugikan karena tidak ada instrumen hukum yang melindunginya,” tutur Riyanto.
Riyanto juga menyampaikan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang masih diperjuangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkecimpung di ranah tersebut. Dengan adanya RUU PKS, harapannya seluruh bentuk kekerasan seksual masuk ke bentuk kejahatan.
Mukhlis menutup perbincangan sore itu dengan menjelaskan cara-cara agar terhindar dari kekerasan seksual. Cara-cara tersebut adalah memiliki pengetahuan tentang seks, memahami informasi layanan dari lembaga yang berkaitan, juga memahami konsep batas dan kesepakatan dalam sebuah hubungan.
Arummayang Nuansa Ainurrizki
Editor: Rizal Amril