Ekspresionline.com – Saat ini, Indonesia negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia. Ada banyak kegiatan yang berkaitan dengan Islam dapat kita lihat dengan mudah di berbagai tempat dan di berbagai waktu. Bisa dilihat pada televisi saja, hampir setiap pagi ada pengajian-pengajian tentang Islam yang ditayangkan. Tetapi ada faktor yang harus kita ketahui bahwa jika kita merujuk dari sejarah Islam yang berkembang di Indonesia tidaklah gampang. Ada jeda waktu 800 tahun Islam tidak bisa berkembang di Nusantara. Kisah tersebut disampaikan oleh Almarhum Drs. K.H. Ng. Agus Sunyoto, M.Pd., dalam bukunya “Atlas Walisongo” beserta dalam beberapa ceramahnya.
Jika melihat dari sejarah, menurut catatan Dinasti Tang dari Cina, Islam mulai masuk di Nusantara melalui saudagar-saudagar dari Timur Tengah yang datang ke Kerajaan Kalingga di Jawa pada tahun 674 Masehi. Masa tersebut merupakan masa peralihan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ke Umayyah. Bahkan pada abad ke-10, pernah ada kedatangan rombongan yang disebut Suku Lor yang merupakan orang-orang dari Persia datang ke Jawa, mereka tinggal di satu tempat yang disebut Loran di suatu tempat di daerah Ngudung (sekarang Kudus). Kemudian mereka membuat tempat Loran yang lainnya sampai ke wilayah Gresik tetapi tidak pernah ada cerita dari masyarakat. Hanya ada catatan Jawa yang menyebutkan suatu cerita tentang Sultan Al-Ghabbah dari Negeri Rum (wilayah Persia Utara) mengirim 20.000 keluarga muslim ke Jawa. Diceritakan semuanya mati terbunuh, tinggal 200 keluarga.
Ketika peristiwa tersebut dilaporkan, kemudian Sultan Al-Gabbah marah. Singkatnya, supaya Pulau Jawa bisa dihuni umat Islam, Sultan Al-Ghabah dikisahkan mengirimkan orang-orang yang dianggap auliya atau orang-orang yang dianggap memiliki karomah. Di situlah, salah satu tokoh yang kemudian dikenal numbali Tanah Jawa supaya dapat ditinggali umat Islam, ialah Syekh Subakir. Dikisahkan setelah berhasil, beliau kembali lagi ke Persia.
Setelah itu kita tidak tahu apa yang terjadi perkembangan Islam kemudian kita dapat melihat dari catatan Marcopolo tahun 1292. Ketika perjalanan kembalinya dari Cina menuju ke Italia, ia tidak melalui jalur sutra tetapi melalui jalur laut menuju ke Teluk Persia. Ia singgah di sebuah kota pelabuhan bernama Perlak. Di sana juga merupakan pusat Kerajaan Perlak di wilayah Selat Malaka (sekarang daerah Aceh). Marcopolo mencatat bahwa penduduk di Kota Perlak itu terbagi menjadi tiga jenis kelompok masyarakat. Pertama penduduk Cina yang disebutkan oleh Marcopolo seluruhnya beragama Islam Kedua adalah orang-orang dari barat (Persia) yang semuanya beragama Islam. Yang ketiga adalah penduduk pribumi yang menurut catatan Marcopolo, penduduk pribumi masih menyembah pohon-pohon, menyembah batu, menyembah roh, dan di daerah pedalaman masih memakan manusia (kanibal).
Seratus tahun setelah perjalanan Marcopolo, datanglah Laksamana Cheng Ho ke Jawa tahun 1405. Ia mencatat ketika singgah di Tuban, ia menemukan ada seribu keluarga Cina Muslim. Ketika singgah di Pelabuhan Gresik, ia mencatat dan menghitung ada seribu keluarga Cina yang semuanya muslim. Begitu juga di Kota Surabaya, ada penduduk Cina yang berkisar seribu keluarga yang semuanya muslim.
Kunjungan Cheng Ho yang ke-7 sekaligus yang terakhir pada tahun 1433, ia datang kembali ke Jawa dengan mengajak seorang juru tulis bernama Ma Huan. Dalam catatan Ma Huan menyatakan bahwa di sepanjang Pantai Utara Jawa, kota-kotanya dihuni penduduk Cina Muslim, kemudian orang-orang dari Persia dan Arab yang juga merupakan muslim, kemudian juga penduduk pribumi yang menurut Ma Huan rata-rata adalah kafir yang menyembah batu, menyembah pohon-pohon, dan menyembah roh.
Catatan-catatan tersebut merupakan catatan resmi yang diakui oleh sejarawan dunia. Mulai tahun 674 sampai tahun 1433 (800 tahun) penduduk Nusantara belum bisa menerima Islam secara massal. Tujuh tahun setelah kedatangan Cheng Ho yang terakhir, barulah datang seorang wali dari negeri Campa (sekarang daerah Vietnam Selatan) yang datang beserta rombongan keluarga yaitu Syekh Ibrahim As-Samarqandi. Dua orang putranya yaitu Ali Murtadho dan Ali Rohmat. Mereka singgah di Tuban lalu kemudian menetap. Namun belum sempat mengembangkan Islam, beliau meninggal dan dimakamkan di sana.
Kedua putranya berpindah ke Majapahit mengikuti bibi mereka dinikahkan dengan raja Majapahit saat itu. Oleh raja Majapahit, keduanya diangkat menjadi pejabat negara, yang satu sebagai raja pendeta yaitu Menteri Agama untuk orang-orang Islam (Imam) di Gresik dan yang satu sebagai imam di Surabaya. Raden Ali Rahmat inilah yang menjadi imam di Surabaya yang kelak kita kenal dengan nama Sunan Ampel. Dari Sunan Ampel inilah kemudian lahir para putra (Sunan Bonang dan Sunan Drajat) dan putri-putrinya yang kemudian mrmiliki murid-murid seperti Sunan Giri, Raden Patah, dan lain seterusnya hingga terbentuklah Walisongo.
Walisongo itu terbentuk sekitar 30 tahun setelah kedatangan Sunan Ampel, sebab ketika Sunan Ampel datang ke Jawa tahun 1440, ia masih belum menikah. Ia juga menunggu para putra-putri beserta murid-muridnya cukup dewasa untuk kemudian melakukan dakwah. Walisongo memulai era perkembangan dalam berdakwah di tahun 1470.
Sekitar 40 tahun setelah dakwah Walisongo, seorang Portugis bernama Tome Pires datang ke Jawa tahun 1413. Dia mencatat bahwa di sepanjang Pantai Utara Jawa para penguasanya adalah para adipati muslim. Catatan Tome Pires tersebut kontras dengan catatan Ma Huan yang sebelumnya menyebutkan hampir semua penduduk pribumi adalah kafir. Itu artinya, Islam berkembang sedemikian rupa hingga berhasil dianut para penguasa-penguasa di Tanah Jawa dan itulah hasil dakwah pasca Walisongo.
Tahun 1522, ada seorang pengelana dari Italia yang berkelana bersama penjelajah Portugis bernama Antonio Pigafetta, datang ke Jawa dan dia menyaksikan bagaimana penduduk pribumi di sepanjang Pantai Utara Jawa itu semuanya beragama Islam. Di pedalaman masih ada Kerajaan Majapahit yang rajanya bernama Wijaya tapi sudah tidak berkembang. Menurut kesaksian itu artinya Islam baru dapat berkembang pada era Walisongo yang sampai sekarang dipertanyakan oleh banyak sejarawan, kenapa begitu cepat dakwah Islam di era Walisongo. Dalam tempo 40 sampai 50 tahun pengislaman begitu meluas. Padahal 800 tahun ditolak, apa yang menjadi penyebab begitu cepatnya Islam tersebar.
Ternyata ada metode-metode dakwah yang dijalankan oleh Walisongo yang itu menjadi penyebab kenapa Islam begitu cepat bisa diterima. Bahwa pasca kemunduran Majapahit, Walisongo datang dan kemudian dengan berbekal peradaban Majapahit itu kemudian dikembangkan sendiri oleh generasi Walisongo menjadi sebuah peradaban baru yang akarnya Majapahit tetapi memiliki ciri Islam.
Sebagai contoh, sampai di era Demak awal, masyarakat masih dibagi menjadi dua kelompok besar mengikuti era Majapahit. Yang pertama adalah kelompok yang disebut golongan gusti yaitu orang yang tinggal di dalam keraton dan yang kedua adalah golongan kawulo itu masyarakat di luar keraton. Gusti itu artinya tuan sedangkan kawulo itu artinya budak atau orang yang tidak punya hak milik apa-apa. Jadi, semua yang ada itu adalah milik keraton atau milik golongan gusti. Karena struktur tersebut, masyarakat era Majapahit tidak punya hak milik karena semua milik kerajaan. Ketika raja mau memberi sesuatu kepada seseorang yang dianggap berjasa maka dia diberi tanah simah atau tanah perdikan (tanah yang dibebaskan/dimerdekakan).
Gerakan yang dirintis Walisongo, terutama yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar dan kemudian dengan Sunan Kalijaga adalah mengubah struktur masyarakat Gusti-Kawulo yang dianggap tidak relevan dan tidak manusiawi dengan struktur masyarakat/komunitas baru yang disebut “masyarakat” yang diambil dari bahasa Arab yaitu musyarokah (orang yang sederajat dan bekerja sama). Masyarakat bukanlah budak/kawulo tetapi orang merdeka. Itulah gerakan pertama yang Walisongo lakukan menyebabkan adanya perubahan struktural yang sangat esensial.
Yang membedakan antara kawulo dengan masyarakat golongan gusti adalah dalam menyebut kata ganti diri. Waktu itu kata ganti diri bagi golongan gusti di Jawa menggunakan kata “ulun” atau “ingsun”, sedangkan golongan masyarakat menyebut kata ganti diri itu dengan sebutan “kulo” atau “kawulo” artinya budak. Masyarakat di Sunda menyebut kata ganti diri dengan kata “abdi” yang artinya budak. Orang-orang di Sumatera menyebut kata ganti diri dengan kata “saya” atau “sahaya” artinya juga budak. Orang-orang di Sumatera Barat (Minang) menyebut kata ganti diri dengan kata “hamba” atau “ambo” yang artinya juga budak. Ketika zaman Walisongo, struktur tersebut diubah sehingga golongan di luar keraton dapat menggunakan kata ganti diri “aku”, “ulun”, “ingsun”, “awak”, dan kata ganti apapun yang tidak mewakili identitas sebagai budak.
Lahirnya komunitas di luar keraton yang disebut “masyarakat” dan juga sebagai istilah baru yang berasal dari bahasa Arab membuat suatu perubahan yang signifikan. Begitu pula Walisongo juga mengenalkan istilah “rakyat” yang juga berasal dari bahasa Arab dan digunakan untuk menegakkan hak-hak masyarakat di luar keraton. Bayangkan saja kalau sistem yang berlaku saat era Majapahit masih berlaku, maka ketika kita membuat dan menempati suatu rumah, kita tidak memiliki hak milik dari rumah tersebut karena semuanya milik kerajaan. Ketika raja ingin membangun –entah itu candi atau jembatan dan membutuhkan wadal/tumbal, raja bisa saja dengan mudah mengambil tumbal dari para kawulo. Namun, ketika struktur masyarakat ala Walisongo diterapkan, maka para kawulo boleh dan berhak untuk melawan ketika sesuatu yang ia miliki dirampas.
Satu perbedaan lain, orang Jawa dulu sampai era Majapahit itu terkenal sangat arogan. Prinsipnya adalah adigang, adigung, adiguna. Jadi, mereka merasa bangga kalau sudah menundukkan/merendahkan orang lain. Karena itu, menurut tulisan Antonio Pigafetta, tidak ada orang yang sombong kecuali orang Jawa. Kalau orang Jawa sedang berjalan dan begitu ada bangsa lain yang jalannya di tempat yang lebih tinggi maka disuruh turun oleh orang Jawa tersebut. Kalau tidak mau turun, dibunuh. Kalau kita mencari dalam kamus Bahasa Jawa Kawi, kita tidak bakal menemukan istilah kata “kalah”. Jadi ketika berselisih maka menang atau mati, tidak ada kata “kalah”. Barulah zaman Walisongo ada istilah “ngalah”, itupun bukan dari akar kata “kalah” namun sebuah bentukan kata dalam bahasa Jawa. Jika kata “ngalas” itu artinya menuju ke hutan, “ngawang” artinya menuju ke awang-awang/khayalan, maka “ngalah” artinya menuju ke Gusti Allah atau tawakal. Dikenalkan juga istilah baru dari bahasa Arab lainnya seperti sabar, adil, tawadlu, dan lain-lain.
Kita tahu bagaimana karakter orang-orang dulu, ketika utusan dari Mongol datang menghadap Kertanegara untuk menyampaikan pesan dari rajanya saja sudah langsung merasa tersinggung dan langsung melukai utusan tersebut sebagai respon balik. Istilah “carok” yang digunakan Madura saat ini juga merupakan istilah dari tradisi Jawa Kuno. Carok dalam bahasa Kawi sendiri artinya berkelahi. Adapun tokoh bernama “Ken Arok” berarti pemimpinnya orang yang berkelahi. Maka dari itu, pengenalan istilah-istilah baru kepada masyarakat dalam proses dakwah Walisongo sangat membantu dalam membentuk karakter masyarakat yang lebih baik melalui penerapan dari istilah-istilah tersebut.
Walisongo juga melihat bahwa sebetulnya agama Hindu dan Buddha itu hanya dipeluk oleh kalangan gusti di keraton. Masyarakat luar keraton secara umum tidak memeluk agama Hindu maupun Buddha melainkan agama Kapitayan, yaitu agama yang memuja Sanghyang Taya. Sanghyang Taya sendiri memiliki arti suwung/kosong. Jadi, Tuhannya itu abstrak, tidak bisa digambarkan, tidak bisa diperkirakan. Karena itu, orang-orang itu memberi definisi Sanghyang Taya itu dengan definisi sederhana tan keno kinoyo ngopo (tidak bisa diapa-apakan).
Kekuatan dari Sanghyang Taya inilah yang dipercaya ada di berbagai tempat dan kemudian mereka melakukan sesaji di tempat-tempat itu. Kapitayan sendiri merupakan agama kuno yang dalam arkeologi sisa-sisa peninggalan agama Kapitayan itu kita kenal dengan istilah barat sebagai dolmen, menhir, sarkofagus, dan lain sebagainya. Agama Kapitayan sendiri inilah yang oleh barat dinamakan animisme/dinamisme sekaligus yang dianggap oleh Ma Huan sebagai kafir.
Melalui Kapitayan inilah kemudian diambil alih oleh Walisongo untuk menyebarkan Islam. Hal ini karena konsep tauhid Kapitayan yang sama dengan Islam. Jika kapitayan memahami Tuhan sebagai tan keno kinoyo ngopo maka Allah dalam Islam itu juga disebut laisa kamitslihi syaiun. Karena itulah kemudian mulai dikembangkan penyebaran Islam melalui istilah-istilah kapitayan. Misalnya untuk beribadah menyembah Tuhan tidak digunakan istilah “shalat” tapi menggunakan istilah “sembahyang”. Tempat ibadah kapitayan itu disebut “sanggar” yang berupa bangunan empat persegi yang di setiap dindingnya terdapat lubang sebagai simbol dari Sanghyang Taya. Jadi, mereka sendiri tidak mengenal arca, patung, atau sejenisnya. Maka Walisongo pun tetap menggunakan sanggar sebagai tempat ibadah, hanya saja sebagai pembeda ada tempat mihrab dan juga sebutannya menjadi “langgar”. Begitu pula penggunaan bedug dan juga tumpeng yang masih dipertahankan, itu juga merupakan peninggalan Kapitayan.
Kapitayan juga mengenal ibadah tidak makan mulai pagi sampai malam. Walisongo yang melihat ini sama seperti ibadah saum kemudian tetap menggunakan istilah kapitayan yaitu upawasa yang kemudian menjadi puasa. Kapitayan juga memiliki ibadah puasa dino pitu (puasa hari tujuh) yang dimaksud yaitu menjalankan puasa di hari kedua dan hari kelima maka dianggap setara seperti menjalankan puasa selama tujuh hari. Oleh Walisongo ibadah tersebut tetap diteruskan karena hari kedua itu hari Senin, hari kelima itu hari Kamis, maka ini sama seperti ibadah puasa Senin-Kamis. Jadi, Walisongo dalam menyebarkan Islam menggunakan istilah-istilah lokal yang sudah melekat di masyarakat dengan mencari kesamaan-kesamaannya tanpa harus menghapuskan istilah-istilah yang telah melekat di masyarakat.
Sementara Walisongo sendiri yang berasal dari Campa juga membawa tradisi keagamaan. Salah satu tradisi keagamaan dari Campa salah satunya adalah ketika ada orang yang meninggal maka diperingati saat hari ketiga, ketujuh, keempatpuluh, keseratus, dan keseribu setelah kematiannya. Tentu dengan memanjatkan doa-doa secara Islam pada orang yang telah meninggal dan ini merupakan tradisi Islam asli yang dibawa dari Campa dan juga dijalankan di wilayah Islam lainnya seperti di wilayah Asia Tengah. Adapun pada era Majapahit, ada tradisi dimana orang yang telah meninggal diperingati 12 tahun setelah kematiannya dalam upacara srada dengan segala kemewahan dan kemegahannya.
Pengaruh Campa dalam aspek lainnya dapat kita lihat dalam aspek takhayul yang ada di masyarakat. Takhayul pada era Majapahit itu sedikit jumlahnya. Karena pola pemikiran pelaut yang terbuka dalam hubungan internasional membuat mereka lebih rasional dalam berpikir. Begitu pengaruh dari Campa masuk, takhayul-takhayul dari Campa juga ikut masuk ikut menghiasi ragam takhayul di Nusantara. Sebagai perumpamaan, jenis-jenis hantu pada era Majapahit itu bisa dihitung jari seperti pisaca (raksasa penunggu hutan), bergasakan, uwil (roh penunggu candi), banaspati, dan beberapa lainnya Setelah Islam masuk, maka kita mengenal hantu pocong, kuntilanak, genderuwo, tuyul, kalongwewe, wewegombel, sundel bolong, nyi roro kidul, dan mitos-mitos baru lainnya yang sewaktu Majapahit tidak ada.
Dalam menyebarkan Islam, Walisongo tidak sedikitpun menggunakan kekerasan. Semua dilakukan dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Namun pada masa Belanda, ketika Perang Diponegoro telah membuat Belanda merugi jutaan gulden membuat Belanda menggunakan segala cara untuk mematahkan semangat perlawanan pribumi yang notabene adalah santri dan warga muslim. Salah satu caranya adalah dengan pendekonstruksian cerita-cerita Walisongo dengan maksud mematahkan semangat perlawanan dari pribumi yang selalu berkaca ada kejayaan masa lalu. Cara ini diambil Belanda mengingat perlawanan pengikut Diponegoro serta golongan santri tidak pernah tumbang meskipun pimpinannya (Pangeran Diponegoro) telah ditangkap dan diasingkan.
Upaya pendekonstruksian cerita-cerita Walisongo oleh Belanda menggunakan cerita palsu/rekaan seperti Babad Kediri yang kemudian dari situ disusun Kitab Darmogandul dan Suluk Gatulucul yang disusun oleh pribumi suruhan Belanda bernama Ngabdulah. Ngabdulah sendiri adalah seorang muslim yang sangat miskin kemudian murtad dan berganti nama menjadi Ki Tunggulwulung. Dialah orang yang mengarang cerita yang bertolak belakang dengan fakta. Seperti contohnya, cerita Demak yang menyerang Majapahit tahun 1478 yang dari situ muncul tokoh Sabdo Palon Noyo Genggong yang mengutuk bahwa 500 tahun setelah runtuh, Majapahit akan bangkit kembali. Itu merupakan karangan palsu, dimana aslinya dalam naskah Pararaton berbahasa Kawi ditegaskan bahwa tahun 1478 atau tahun Jawanya adalah 1400 yang diberi condrosengkolo “Sirna Ilang Kertaning Bumi”, Majapahit itu diserang oleh Girindrawardana (raja Hindu dari Kediri) bukan oleh Demak. Selain itu, Belanda juga pernah mengarang cerita yang mengatakan bahwa semua Walisongo berasal dari Cina. Mereka berdalih mendapatkan sumber dari tiga cikar keramik hasil rampasan dari Kuil Sam Poo Kong. Jelas itu bertentangan dengan catatan-catatan yang lebih kuno.
Jika kita melihat, warisan-warisan peninggalan Walisongo sangatlah banyak. Bisa dibilang, hampir seluruh peradaban pasca Majapahit adalah buah warisan Walisongo. Misalnya dalam teknologi metalurgi dalam peleburan besi dan baja pada masa Majapahit sudah bisa membuat keris, tobak, panah, dan senjata tajam lainnya, serta barunastra (torpedo air). Begitu pada masa Walisongo, Demak sudah bisa memproduksi meriam berukuran besar dan sudah bisa diekspor ke Malaka, Pasai, bahkan sebagian ada yang diekspor sampai ke Jepang yang saat itu dipimpin oleh daimyo Oda Nobunaga. Fakta ini di dapat dari catatan Portugis, ketika Portugis hendak menaklukkan Pelabuhan Malaka. Alfonso de Albuquerque selaku pimpinan mendapatkan petunjuk dari anak buahnya bahwa benteng-benteng Malaka dilengkapi meriam-meriam besar yang didatangkan dari Jawa. Padahal Portugis baru datang dari Eropa, ketika mereka mulai mendekat ke pelabuhan, mereka ditembaki meriam yang membuat kapal mereka rusak dan akhirnya membuat mereka mundur. Salah satu meriam yang masih dapat kita lihat di Benteng Surosowan, Banten. Di sana ada meriam Ki Amuk yang sangat besar dan berdiameter lebar.
Kita sekarang mengenal pakaian tertutup seperti sekarang ini juga hasil warisan dari masa Walisongo. Pada masa Majapahit tidak ada. Baik laki-laki maupun perempuan bertelanjang dada. Ini dapat kita lihat dari relief-relief pada candi-candi yang menggambarkan penampilan/cara berpakaian masyarakat saat itu yang hanya dari pusar ke bawah.
Kita juga mengenal seni pertunjukan wayang beserta perangkat gamelan dengan susunan yang rumit yang juga merupakan peninggalan Walisongo. Pada masa Majapahit, susunan gamelan tidak selengkap pada masa Walisongo. Begitu juga wayang yang dapat dipergerakkan juga ada pada masa Walisongo. Pada masa Majapahit, wayang baru sebatas wayang beber yang berupa lembaran lukisan yang diceritakan oleh sang dalang. Ceritanya pun adalah cerita Panji. Dari situlah kemudian Walisongo mensosialisasikan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana dalam seni pertunjukkan wayang, tentu dengan melakukan perombakan dari versi India. Seperti contoh, kisah Drupadi yang menikahi kelima Pandhawa diganti dengan Drupadi yang hanya menikahi Yudhistira, adanya Ponokawan, dan banyak lagi. Bahkan Walisongo juga membuat silsilah bahwa dewa-dewi dalam kisah pewayangan itu masih keturunan Nabi Adam. Silsislah tersebut masih dapat kita lihat dalam Pustaka Raja Purwa di Surakarta yang sampai saat ini masih menjadi pakem yang digunakan seluruh dalang di Pulau Jawa.
Kisah Mahabharata dan Ramayana sendiri sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Mataram Kuno tetapi sebagai kakawin, yaitu karya sastra yang hanya diketahui orang-orang dalam keraton. Walisongo yang menjadikan Mahabharata dan Ramayana menjadi tontonan yang dapat dinikmati masyarakat luar kraton. Dari sisnilah dakwah Islam masuk melalui pagelaran wayang beserta iringan musik dan lagu seperti Lir-Ilir, Gundul Pacul, Sluku-Sluku Bathok, dan lain-lain. Jenis-jenis karya sastra pada masa Majapahit terbatas hanya kakawin dari kawia-kawia Sansekerta/India dan juga kidung. Pada masa Walisongo, untuk jenis tembang saja sampai terbagi tiga: tembang gedhe, tembang tengahan, dan tembang alit. Berkembang di daerah pesisir tembang macapat yang semuanya dapat dikuasai dan dinikmati berbagai lapisan masyarakat.
Salah satu peninggalan Walisongo lainnya yang tidak kalah penting adalah kenduri/slametan/selamatan. Itu merupakan kreasi dari Sunan Bonang yang kemudian dikembangkan oleh wali lainnya juga. Selamatan muncul akibat agama Tantrayana yang dianut oleh raja-raja di Nusantara dengan sektenya bernama Bairawatantra. Agama tersebut dalah agama yang memuja Dewi Bumi, Dewi Durga, Dewi Kali, atau Dewi Pertiwi. Ritual pemujaaannya dengan berjamaah laki-laki dan perempuan membentuk cakra/lingkaran secara berselingan antara laki-laki dan perempuan tersebut untu meakukan upacara yang disebut pancamakara atau lazim disebut molimo (mamsa=daging, matsya=ikan, madya=minuman keras, maithuna=hubungan seks, mudra=semedi/meditasi) di sebuah tempat yang disebut setra. Upacara diawali dengan memakan mamsa, matsya, dan madya yang telah dihidangkan di tengah cakra. Setelah hidangan dihabiskan, selanjutnya melakukan maithuna (bersetubuh) secara bersama-sama. Setelah nafsu perut dan nafsu syahwat terlampiaskan, dalam keadaan tanpa nafsu mereka melakukan semedi. Itulah molimo yang kemudian dilarang oleh Walisongo.
Kalau penganut dari agama Tantrayana sudah memiliki tingkatan yang lebih tinggi, maka unsur pada pancamakara akan diganti. Mamsa yang dari daging hewan diganti dengan daging manusia, matsya yang dari ikan biasa diganti dengan ikan sura/hiu, madya yang tadinya arak diganti dengan darah manusia. Adapun bukti dari adanya penganut Bairawatantra ini dapat kita lihat di Monumen Nasional (Monas). Kita akan menjumpai patung dengan tinggi sekitar tiga meter yang menggambarkan tokoh Adityawarman yang berdiri di atas tumpukan tengkorak. Dialah salah seorang pendeta Bairawatantra, pengawal ajaran Molimo. Diambil dari batu prasasti di Suruaso, Sumatera Barat. Batunya masih ada ditempat, tidak dapat diangkut ke museum karena merupakan satu bukit batu yang tidak dapat dingkat. Dalam prasasti tersebut menceritakan bagaimana Adityawarman dilantik menjadi pendeta Bairawatantra dengan gelar Wisesadarani (penguasa bumi). Dia digambarkan duduk di atas ratusan mayat, minum darah sambil tertawa terbahak-bahak.
Untuk menandingi upacara yang dilakukan Bairawatantra, Sunan Bonang pernah masuk ke daerah pedalaman Kediri (pusatnya Bairawatantra). Hanya saja Sunan Bonang berada di sebelah barat Sungai Brantas tepatnya di Desa Singkal (sekarang Kabupaten Nganjuk). Disitulah Sunan Bonang mengadakan upacara serupa. Membuat lingkaran, hanya saja semuanya laki-laki, ditengah-tengahnya ada hidangan halal, kemudian melakukan doa bersama. Inilah yang disebut kenduri/slametan. Kemudian dikembangkan dari kampung ke kampung untuk menandingi upacara pancamakara tersebut. Lama-kelmaan, akhirnya kenduri/slametan dapat memenangkan persaingan dan masyasrakat mulai meninggalkan pancamakara. Karena tidak ada satupun yang mau orang yang dicintai dijadikan tumbal/korban upacara pancamakara.
Itulah strategi dakwah Walisongo. Tanpa kekerasan sedikitpun berhasil mengislamkan Pulau Jawa dan kemudian pulau-pulau sekitarnya. Dengan perjuangan yang sedemikian rupa tak ayal bagi yang telah mengetahui dan memahami perjuangan dakwah Walisongo, pastilah merasa tidak rela kalau kisah perjuangan tersebut hendak disingkirkan dan dinafikan seolah-olah itu hanya dongeng tanpa fakta.
Citra Widyastoto
Editor : Harri Nugroho