Ekspresionline.com–Mentari tepat berada di atas kepala. Seorang satpam tampak santai mengarahkan beberapa pengunjung pameran untuk memarkir kendaraannya di luar area Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Pengunjung pameran terpantau lengang, karena waktu juga masih menunjuk jam makan siang. Terlihat dekorasi berwarna oranye dengan tulisan besar dan kapital, “Gegandengan” yang menyambut para pengunjung.
Tahun lalu, Pameran Suluh Sumurup sempat diselenggarakan di Galeri R. J. Katamsi, ISI Yogyakarta. Sementara pada tahun ini, Suluh Sumurup bekerja sama dengan TBY sebagai penyelenggara.
Tiada tiket masuk, tiada uang diminta. Hanya panitia dengan kalung tanda pengenal di balik meja registrasi menyambut ramah setiap pengunjung yang masuk. Tepat di seberangnya, terdapat beberapa kursi roda yang menganggur. Dengan senyum menenangkan, panitia mengarahkan pengunjung untuk mengisi daftar hadir pameran.
Berbeda dengan acara pameran pada umumnya, panitia menjelaskan tiap kolom yang harus diisi pengunjung. Bukan penjelasan kaku pula, panitia mengemas penjelasannya dengan obrolan ringan kepada pengunjung.
Kolom daftar kedatangan pengunjung telah terisi, panitia kemudian menjelaskan mengenai alur dan peraturan di pameran. Selepas memastikan pengunjung memahami penjelasannya, panitia lantas mempersilakan pengunjung menikmati pameran.
Melangkahkan kaki masuk ke area pameran, tepat di depan pintu masuk disambut oleh deskripsi pameran juga daftar seniman yang karyanya terpajang dalam pameran ini. Total terdapat 18 seniman perseorangan, juga 8 komunitas yang berpartisipasi dalam pameran.
Pada tahun ini Suluh Sumurup mengusung tema “Gegandengan”. Tema tersebut diangkat dengan tujuan untuk mengajak seluruh elemen masyarakat bergandengan mengusung isu disabilitas. Tema ini dipilih sebab mengusung spirit kebersamaan dalam mengartikulasikan disabilitas melalui medium seni.
Melangkah masuk lagi, sudah terlihat beberapa karya terpajang. Tersedia pula bagian yang berisi tiga buah meja berkaki pendek. Terlihat beberapa pengunjung duduk bersimpuh, nampak asyik merangkai manik-manik yang disediakan di atas meja tersebut.
Selain aksesoris, pengunjung juga bisa melukis dengan alat-alat yang telah disediakan. Telah banyak terpampang hasil karya para pengunjung dengan kertas kecil di dinding yang membatasi bagian ini. Coretan yang berwarna-warni, juga beragam bentuk pula.
Melalui alur yang telah disediakan panitia, pengunjung dapat menikmati karya-karya para seniman disabilitas. Pada bagian awal alur pameran, terdapat banyak karya dari seniman anak-anak. Hal ini terlihat dari beberapa foto yang turut serta dicantumkan di karya-karya seniman. Beragam juga teknik dan media yang digunakan oleh para seniman dalam karyanya. Mulai dari cat akrilik, spidol, kanvas, kain, kertas gambar, bahkan ada beberapa karya yang menggunakan teknik eco-printing.

Salah satu karya yang dipamerkan di bagian awal pameran berjudul “Bunga Baby Rose”. Lukisan milik Mishka Fathina Dewanto nampak begitu indah dalam kesederhanaannya. Pelukis memfokuskan karyanya pada sekumpulan bunga yang menjadi objek utama lukisan tersebut.
Terlihat dari hanya satu warna yang menjadi warna latarnya, yaitu putih. Sederhana, hanya ada tiga warna dalam lukisan itu, yaitu biru, pink, dan hijau. Nampaknya, hijau digunakan oleh Mishka sebagai warna original pada daun, sementara biru dan pink dipilih sebagai warna favoritnya. Karya tersebut dilukis di atas media kertas berukuran 41,5 x 30 cm.

Berbeda dengan karya milik Miskha, Rofita Rahayu berusaha memotret sebuah fenomena sosial dalam karyanya. Karyanya yang berjudul “Nyuworo (Bersuara)” menggambarkan figur seorang anak perempuan dengan seragam SD tengah menengadah ke langit. Figur tersebut menjadi objek utama dalam karyanya. Bangunan sekolah yang usang dan kertas-kertas serta buku yang berhamburan menjadi latar lukisan ini.
Ia berdiri dengan sepeda merahnya. Tangan kirinya memegang pelantang suara, bersamaan tangan kanannya yang terjulur dengan telapak tangan ke atas. Matanya terpejam begitu dalam, hingga membuat kerut di ujung matanya. Mulutnya terbuka lebar, seolah mencoba berteriak sekeras yang ia bisa. Rasa frustasi dan keputusasaan tergambar begitu apik dalam lukisan ini.
Warna yang digunakan untuk membangun figur anak perempuan terlihat kontras dengan latarnya. Cokelat mendominasi pada pewarnaan gedung sekolah dan buku serta kertas yang berterbangan tak beraturan. Lusuh dan nampak usang.
Sementara warna yang digunakan pada figur anak perempuan itu terlihat cerah. Warna mencolok seperti putih pada kemejanya; juga merah terang pada rok, dasi, dan sepedanya. Dari teknik pewarnaan ini pula, terlihat bahwa fokus objeknya ialah sang gadis yang tengah mencoba menyuarakan kesedihannya.

Selain lukisan dengan cat, juga ada karya berupa ilustrasi yang diolah melalui komputer. Karya tersebut milik Clara Vania Putri yang berjudul “I Hearing By Eyes, I Talking By Hand”. Karya inipun diaplikasikan dalam media kanvas berukuran 30 cm, yang uniknya berbentuk lingkaran.
Dalam karya tersebut, terdapat potret perempuan setengah badan. Bagian matanya diganti oleh kumpulan foto telinga, sedangkan kedua lengannya penuh oleh kumpulan foto mulut. Ia memakai kemeja berwarna putih. Namun, pada bagian kirinya, kemeja itu berhias tulisan-tulisan dalam bahasa Inggris.
Clara menggambarkan disabilitas netra dengan penuh estetika. Mulut pada tangannya menggambarkan bahwa para disabilitas netra berkomunikasi dengan tangannya, alias bahasa isyarat. Sementara telinga pada matanya ialah penggambaran bagaimana teman-teman disabilitas melihat lingkungannya dengan telinganya. Ketiadaan salah satu indra bukanlah menjadi kekurangan semata, tetapi menjadi kelebihan sebab indra pendengaran menjadi lebih tajam daripada orang lain.
Selain karya ilustrasi, ada juga beberapa karya dengan teknik eco-printing. Teknik eco-printing ialah teknik pencetakan menggunakan bahan dari alam yang mengandung pigmen warna tertentu, seperti bunga, daun, batang tumbuhan, dan sebagainya.

Karya kolaborasi milik Tari, Made Ika, Saliyem, dan Waljinem merupakan salah satu karya yang menggunakan teknik eco-printing. Karya yang berjudul “Kebersamaan” tersebut diaplikasikan pada selembar kain mori berukuran 100 x 150 cm. Karya eco-printing tersebut digantung pada seutas tali dan dijepit dengan penjepit sejumlah 8 buah.
Di dalam karya tersebut, terdapat cetakan beberapa lembar daun, bunga, dan beberapa garis yang terurai bebas. Dari keseluruhan, karya ini memiliki warna tema berupa cokelat. Garis-garis yang menjuntai bebas terlihat melengkapi ruang-ruang kosong di sekitar daun dan bunga. Melalui teknik eco-printing tersebut, dapat terlihat kebersamaan yang muncul dari para seniman dalam karya kolaborasi ini.
Suasana cukup hening. Para pengunjung menikmati karya yang terpajang dengan tenang. Keadaan yang cukup tenang tersebut lalu dipecahkan oleh suara pelantang. Terdengar gema suaranya, tetapi kurang jelas tepatnya apa yang dikatakan oleh pemilik suara. Rupanya, acara Gallery Tour baru saja dimulai. Dipimpin langsung oleh Sukri Budhi Darma, salah satu kurator dari pameran Gegandengan, juga ketua panitia pameran.
“Kita ada exhibition tour atau tur galeri untuk temen-temen disabilitas netra. Jadi kita memberikan kesempatan kepada teman-teman untuk dapat mengakses lah, setidaknya [untuk] dunia seni,” jelas Sukri Budhi Darma yang akrab dipanggil Butong saat diwawancarai Ekspresi (16/09/23).
Adanya keramaian yang merupakan bagian dari acara Galery Tour tersebut rupanya tak mengganggu kenyamanan para pengunjung. Mereka masih tenang menikmati satu per satu karya yang terpajang. Di beberapa titik dalam alur yang tersedia, terdapat shelter berbentuk segi lima berwarna putih yang dapat digunakan sebagai tempat duduk untuk pengunjung.
“Untuk temen-temen pengguna tongkat, di tengah-tengah [ruang pamer] situ ada beberapa titik buat shelter duduk, yang segi lima itu. Jadi kalau capek bisa istirahat di situ dulu,” terang Butong. Ia juga menjelaskan bahwa pameran ini mencoba memfasilitasi teman-teman disabilitas, salah satunya adalah fasilitas tempat duduk tersebut.
Memasuki area terakhir pameran, pengunjung disambut beberapa kursi dengan lukisan yang menghias. Di sisi kanan, terdapat Tantrum Room. Tertutup oleh kain hitam, privasi pengunjung di dalamnya sangat terjaga. Saat itu tiada suara terdengar di dalamnya, tampaknya belum ada pengunjung yang menggunakan ruangan tersebut.
Berseberangan dengan kumpulan kursi juga Tantrum Room, terdapat dinding dengan tulisan besar “Pay It Forward”. Di dinding sebelahnya juga kembali terdapat tulisan “Gegandengan”, keduanya ditulis juga dengan warna oranye. Dua dinding tersebut sudah penuh dengan secarik kertas berisi coretan-coretan kata juga gambar.
Di depan dua dinding tersebut tersedia dua balok tinggi yang di atasnya terdapat kertas, klip kertas, juga krayon. Pengunjung bebas menggunakan alat-alat tersebut untuk menulis juga menggambar secarik kertas yang disediakan. Pengunjung dapat memajang hasil karya kecilnya di dinding dengan klip pada tali yang telah terpasang. Bagian ini merupakan laman interaktif yang biasanya ada pada setiap pameran.
“Menampilkan potensi-potensi temen-temen disabilitas dan harapannya ini, masyarakat luas itu lebih mendapatkan sudut pandang baru lah ya, paradigma baru tentang disabilitas,” jawab Butong dengan lugas mengenai tujuan dari Pameran Suluh Sumurup ini.
Selain menampilkan potensi teman-teman disabilitas kepada masyarakat luas, Butong juga menjelaskan bahwa pemilihan karya dalam pameran ini tak terpaku pada sisi disabilitasnya saja, tetapi juga dari sisi lainnya. Ia juga menjelaskan bahwa adanya tiga kurator untuk menyeimbangkan penilaian tersebut. Nano Warsono, sebagai seniman juga akademisi dari ISI Yogyakarta, Budi Irawan selaku Kaprodi SPSR UGM, juga dirinya, selaku praktisi disabilitas.
“Jadi kita bisa melihat bersama, kekaryaan itu lebih utuh. Jadi bukan hanya menampilkan disabilitasnya, tapi memang potensi idenya,” jelas Butong.
Selain fasilitas tempat duduk tadi, Suluh Sumurup ternyata memang memiliki ragam-ragam disabilitas yang tersedia. Di antaranya ialah Gallery Tour untuk pengunjung disabilitas netra, ruang UMKM untuk para pengusaha disabilitas, lalu keikutsertaan teman-teman disabilitas dalam workshop yang diadakan dalam rangkaian acaranya. Hal ini dilakukan untuk mendukung para penyandang disabilitas untuk aktualisasi diri.
“Di dalam workshop pun, yang jadi pemateri sekarang saya dorong temen-temen disabilitas, karena biasanya temen-temen disabilitas itu hanya jadi peserta,” jelas Butong.
Kedepannya, Butong berharap melalui pameran ini, akan ada ruang publik seni yang inklusi. Pun, dengan fasilitas-fasilitas yang telah disediakan Suluh Sumurup kepada para pengunjung disabilitas. Butong mengakui bahwa tetap akan ada evaluasi dan perkembangan ke depannya.
“Karena kan tidak mungkin mengubah sesuatu itu secara cepat, ya. Apalagi bicara disabilitas. Disabilitas itu juga dinamis. Malah saya berpikir gini, ketika kita mengubah dengan pijakan yang kuat, dengan pondasi yang baik, itu akan lebih kuat. Daripada kita mengubah sekali, cesh, tapi banyak hal yang mungkin masih goyah. Lebih baik kita pelan, tapi jejeg,” tutup Butong.
Salah seorang pengunjung, Salsa, mengungkapkan kesannya terhadap pameran ini. Ia merasa bahwa pameran ini menarik, apalagi dengan adanya karya dari teman-teman disabilitas.
“Jadi kek, orang disabilitas tuh juga bisa menghasilkan karya juga. [Pameran ini menjadi] peluang bagi mereka juga. Ada peluang bagi mereka untuk berkarya,” jelas Salsa (16/9/23).
Rosmitha Juanitasari
Editor: Ayu Cellia Firnanda