Ekspresionline.com–Dunia anak memang tidak jauh dari peran orang tua. Orang tua memegang fungsi kendali yang besar terhadap jalan kehidupan anak. Kendati hal tersebut tak berlaku bagi semua orang, tetapi di Indonesia hal tersebut adalah lazim.
Tidak sedikit pendidikan dari orang tua untuk anak. Mulai dari contoh positif sampai contoh negatif. Jika menggunakan standar umum positif dan negatifnya, contoh tergantung apakah akhirnya anak tersebut sukses atau tidak.
Absurd, bukan?
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memetakan setidaknya salah satu contoh pola asuh anak yang toksik, tetapi umum terjadi. Kita mafhum bahwa kita selaku anak, selalu mendapat pengarahan dari orang tua.
Kadang, kita puas dan perlu menaati arahan tersebut. Namun, banyak juga arahan yang kadang membuat kita kesal dan cenderung mengindikasikan keegoisan orang tua. Bagi kalian sebagai anak, atau bila sudah menjadi orang tua, ini perlu diperhatikan.
Mari sedikit kita bahas sambil ngopi tentunya!
Kehendak Orang Tua adalah Kehendak Dewa
Kita pasti pernah didorong oleh orang tua untuk melakukan ini dan itu. Orang tua mendorong kita supaya melaksanakan apa yang ia arahkan. Mungkin, hal tersebut berkaitan dengan pandangan mereka terkait bagaimana jalan kesuksesan sang anak.
Kendati demikian, belum tentu jalan tersebut sesuai dengan hati nurani kita. Namun, orang tua telah sepakat bahwa jalan itulah yang terbaik dan harus dilalui anaknya.
Perilaku demikian sering ditunjukkan ketika orang tua mengembangkan karier sang anak ke depan. Tindakan tersebut akan terlihat saat pemilihan instansi pendidikan bagi anak ataupun pilihan krusial lainnya.
Orang tua dalam memberikan penawaran sekolah kepada anak misalnya, pasti mereka berdalih itulah yang terbaik. Kalau anak tidak menurutinya, kemuraman masa depan yang menjadi konsekuensinya.
Contoh kasarnya seperti yang dilakukan seorang bapak dari Solo, sebut saja Mulyono. Sebagai tukang kayu, Mulyono berusaha mendudukkan anaknya. Satu persatu ke atas kursi.
Meskipun demikian, apakah duduk di atas kursi itu memang benar keinginan sang anak? Mungkin saja, sang anak hanya ingin berdiri memperhatikan, ngemper, atau bahkan klesotan di lantai.
Di sisi lain, terkadang perspektif orang tua berpikir bahwa kehendak mereka adalah yang terbaik. Namun, hal itu akhirnya sampai merusak tatanan. Sang anak menjadi robot pasif yang bergerak di bawah kemudi orang tua.
Anak dan Pemikirannya
Dunia anak memanglah rumit dan kompleks. Kita tidak bisa menyamaratakan anak satu dengan yang lainnya. Kendati demikian, perlu kita pahami bahwa setiap anak memiliki imajinasinya sendiri.
Sebagai anak pula, kita pasti memiliki gambaran akan masa depan yang kita harapkan. Para pembaca tentu punya bukan?
Sekarang, coba kalian perhatikan dengan saksama. Apakah masa depan yang pembaca bayangkan itu selaras dengan kehendak orang tua pembaca?
Setiap kita memiliki ambisi masing-masing. Suatu bayangan ideal dari kehidupan yang ingin kita jalani. Namun, pada akhirnya hal tersebut harus berkompromi juga dengan kehendak orang tua.
Manusia Gagal
Pada akhirnya, sang anak akan tertuntut untuk selalu sempurna. Tindakan mereka senantiasa diarahkan supaya mendapat kepuasan dari orang tua. Bahasa halusnya restu, padahal Restu tidak tau apa-apa.
Maksud penulis, akhirnya sang anak akan tertekan secara emosional. Fisik mereka juga akan diperas untuk senantiasa maksimal dalam menjalankan ambisi orang tua.
Contoh paling nyata adalah teman sekampung penulis. Karena berasal dari kalangan yang berada, ia terbiasa mendapat fasilitas penuh dari orang tuanya. Apa yang menjadi perintah orang tua, selalu ia turuti sebagai perintah mutlak.
Namun, menjelang akhir masa sekolah dasarnya, ia dalam dilema emosional. Ia ingin bebas bermain seperti yang lain. Mandi di sungai, blusukan ke hutan, mencuri tebu. Intinya young and wild.
Tetapi sekali lagi, tekanan orang tua yang bersifat dominan mengalahkan imajinasinya. Akhirnya, sang anak akan mencuri-curi kesempatan untuk melancarkan imajinasi liarnya.
Orang tua dengan segala upaya mengarahkan anaknya untuk mencapai ambisi mereka, menjadi anggota TNI. Sang anak mulai dicarikan sekolah favorit, mendapat les privat, dan segala hal dituruti mereka.
Satu hal yang tidak diberikan kepada anaknya adalah kebebasan. Alhasil, kebiasaan sang anak untuk mencuri kebebasan tersembunyi dibawa hingga menjelang lulus SMA. Hal itu menjadikan sang anak terbiasa disuapi orang tua hingga pikirannya dilematis.
Ia tidak terbiasa berlaku bebas penuh taktik, dan gagal menjadi apa yang diidamkan orang tuanya. Ketidakbiasaan berpikir bebas dalam berekspresi membuatnya gagal menjalani tes masuk perguruan tinggi.
Contoh di atas bukan maksud penulis untuk menjelekkan teman penulis. Hanya saja, semoga menjadi refleksi besar bagaimana akhirnya kehendak orang tua di Indonesia yang berlebihan akan merusak pribadi anaknya sendiri.
Hal demikian adalah kasus lumrah. Namun, akan sangat menjijikkan bila terlalu masif dan merusak tatanan masyarakat. Apalagi merusak konstitusi!
Apa yang kita saksikan dalam pergolakan politik baru-baru ini, di mana Raja Jawa kita sedang bermanuver, adalah contoh konkrit keotoriteran orang tua. Dalam berkehendak, Jokowi membenarkan bahwa seluruh tumpah darah keluarganya berhak duduk di posisi kekuasaan.
Dengan berbagai siasat dan taktik, ia merombak tatanan hukum di Indonesia. Mirip orang tua yang mau membayar apapun demi anaknya masuk sekolah militer favorit atau posisi penting di perusahaan. Bagaimanapun politik ordal dan anak papah adalah suatu cerminan miris dalam kehidupan bangsa kita. Mari coba renungkan dalam konteks ini. Apakah kita korban atau pelaku Syndrome Mulyono Complex?
Tulisan absurd ini, silahkan pembaca simpulkan sendiri!
Rizqy Saiful Amar
Editor: Mentari Mulya Dewi