Ekspresionline.com–Kemerdekaan Indonesia ke-51 bukan hari yang membahagiakan untuk para wartawan harian Bernas. Pasalnya, saat itu rekan mereka yang bernama Fuad Muhammad Syafruddin dimasukkan ke pusaranya yang berlokasi di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Gedongan, Dusun Gedongan, Trirenggo, Bantul. Pria yang sering disapa Udin tersebut meninggal pada tanggal 16 Agustus 1996 di RS Bethesda Yogyakarta, akibat penganiayaan yang dialami beberapa hari sebelumnya.
Udin merupakan salah satu wartawan koran lokal bernama Bernas. Sebelumnya, pria kelahiran 1963 ini diketahui meliput dugaan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Bupati Bantul saat itu, Sri Roso Sudarmo.
Kasus yang diberitakan
Dilansir dari tirto.id, kasus ini dipicu atas majunya Sri Roso Sudarmo yang mengikuti Pemilu Bantul pada tahun 1996. Padahal, menurut Damrem/072 Pamungkas Kolonel (Inf.) Abdul Rahman Ghaffur, Sri Roso Sudarmo dipindahtugaskan ke daerah lain.
Ditambah lagi, ada dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), sehingga Udin menulis laporan yang sarat akan kritik, dari “Tiga Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul,” “Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi Pencalonan,” “Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo,” sampai “Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis.” Laporan itu tidak hanya menyasar Sri Roso, tetapi juga menyasar rezim Orde baru.
Dalam sebuah laporan yang ditulis Udin tentang surat kaleng, menuturkan akan adanya calon bupati yang diduga kuat memberikan dana sebesar satu milyar untuk Yayasan Dharmais milik Soeharto. Meskipun awalnya tak jelas siapa calon yang dimaksud, pada akhirnya dugaan itu mengarah kepada seorang calon bupati.
Calon itu adalah Sri Roso yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang bersegel, ditulis, dan ditandatangani oleh Sri Roso. Inti surat itu menjelaskan bahwa Sri Roso menyetujui membantu Yayasan Dharmais jika dia terpilih menjadi bupati.
Laporan terakhir yang ditulis Udin adalah kasus dugaan korupsi pembangunan jalan Tamantirto-Pangkolan yang berada di Kasihan, Bantul. Laporan yang diberi judul “Proyek Jalan 2 Km, Hanya Digarap 1,2 Km” terbit sehari sebelum dirinya meninggal. Atas laporan-laporan yang berani tersebut, Udin sadar hal itu akan membahayakan dirinya. Udin pernah beberapa kali menemukan dia dibuntuti orang tidak dikenal yang mengawasi gerak-geriknya.
Kronologi Penganiayaan dan Kematian Udin
Kejadian bermula pada tanggal 12 Agustus 1996 pukul 10 malam. Pada saat itu, ada 2 orang yang tidak dikenal mengawasi kediaman Udin. Salah satu dari orang itu mendekat dan mengintip lewat lubang pintu Udin. Ibu Ponikem, penjual bakmi di dekat rumah merasa curiga sehingga ia berinisiatif mendekati kedua orang itu.
Anehnya, saat ditanya dan menawarkan diri untuk membangunkan pemilik rumah, kedua orang itu bergegas pergi. Malam berikutnya, sekitar jam 23.30, beberapa orang tidak dikenal datang ke kediaman Udin di Jalan Parangtritis Km 13,5 Bantul. Udin menerima “tamu” tersebut yang mengaku menitipkan motornya dan akan mengambilnya besok pagi.
Pada saat Marsiyem, istri Udin membuat teh, para “tamu” tersebut menyerang Udin dengan dengan tongkat besi. Pukulan mereka mengenai kepala dan perutnya. Setelah itu, mereka melarikan diri menggunakan sepeda motor. Marsiyem menemukan Udin dalam kondisi tak sadarkan diri dengan telinga mengeluarkan darah. Dibantu 6 pemuda yang membawa Jeep dan 1 orang tetangga, Marsiyem membawa Udin ke RSU Jebugan (RSUD Panembahan Senopati).
Peralatan pada saat itu masih minim, sehingga Udin dibawa ke RS Bethesda Yogyakarta. Pada tanggal 14 Agustus, Udin menjalani operasi karena penganiayaan yang terjadi semalam. Dua hari setelah operasi, tepatnya tanggal 16 Agustus pukul 16.58, Udin Menghembuskan nafas terakhir di RS Bethesda tanpa mengalami sadar. Lalu pada tanggal 17 Agustus, Udin dikebumikan di TPU Gedongan, Dusun Gedongan, Trirenggo, Bantul. Sampai sekarang, banyak pihak telah meminta agar kasus penganiayaan ini diusut tuntas.
Perjalanan Kasus
Penganiayaan terhadap Udin yang telah berselang 13 hari, atau tepatnya pada tanggal 26 Agustus 1996, kediaman Udin diberi garis polisi dan penyidikan dimulai. Tetapi anehnya, satu hari setelahnya, garis polisi dicopot.
Pada tanggal 2 September, Kapolda Jateng-DIY Mayjen Pol Harimas AS mengaku sudah mengantongi data pelaku pembunuhan Udin. Namun, ada yang cukup unik di sini, Kanit Reserse Umum Polres Bantul Edy Wuryanto diduga membuang barang bukti dengan melarung darah Udin yang ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan mengambil buku catatan Udin.
Pada 24 September 1996, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Yogyakarta mengirim surat ke PWI Pusat disertai lampiran temuan Tim Pencari Fakta (TPF) PWI Yogyakarta soal kasus Udin. Pengiriman berkas laporan TPF PWI Yogyakarta tersebut dimaksudkan agar ditindaklanjuti pengusutannya oleh Komnas HAM dan Mabes Polri.
Secara tiba-tiba, tanggal 21 Oktober 1996, Dwi Sumaji diculik oleh Serma Pol Edy Wuryanto dan dipaksa mengakui bahwa dia pembunuh Udin. Namun akhirnya, pada tanggal 24 Oktober 1996, Dwi Sumaji mencabut semua pengakuannya.
Selanjutnya, 20 November 1996, Polda DIY menyerahkan Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) kepada Kejaksaan Tinggi Yogyakarta. Tanggal 15 April 1997, BAP Sumaji diterima oleh Kejati. Berikutnya, pada 20 Oktober 1997, Sumaji bersaksi dirinya adalah korban rekayasa dan bisnis politik. Pada tanggal 3 November Dwi Sumaji divonis bebas karena tidak ada bukti yang kuat.
Setiap tahunnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Dewan Pers, dan kawan-kawan menuntut kasus Udin diselesaikan. Lalu akhirnya, tanggal 14 Agustus 2014, kasus udin berpotensi kadaluarsa.
Pada tanggal 5 September 2013, Ketua Kamar Pidana Umum Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar menyatakan bahwa kasus pembunuhan Udin tidak akan kadaluarsa. Senada dengan Artijo Alkoster, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo mengatakan, untuk kasus pelanggaran HAM berat seperti dalam kasus Udin, tidak mengenal kadaluarsa sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kejanggalan Kasus Udin dan Terduga Dalang Pembunuhan Udin
Banyak kejanggalan yang ada di kasus penganiayaan berujung kematian yang dialami oleh Udin. Kejanggalan pertama, yaitu perihal penyidikan mengenai pemberian garis polisi setelah 13 hari terjadinya penganiayaan Udin, tetapi dicopot sehari setelahnya. Kejanggalan kedua, yaitu pengambilan buku catatan Udin dengan dalih untuk kepentingan penyidikan juga pelarungan sampel darah Udin ke laut.
Kejanggalan ketiga yaitu penetapan terduga tersangka Sumaji yang meski dirinya sudah mencabut pernyataanya, BAP miliknya tetap diserahkan ke Kejati Yogyakarta. Terakhir, adanya saksi kunci penganiayaan Udin yaitu Marsiyem dan dapat dipastikan dia melihat para pelaku sehingga seharusnya para pelaku dapat ditemukan dengan mudah, serta masih banyak kejanggalan lainnya.
Menurut penulis, ada beberapa terduga dalang penganiayaan berujung kematian yang dialami oleh Udin. Terduga pertama yaitu Sri Roso Sudarmo, dikarenakan dia adalah objek utama yang tertulis di laporan berita Udin. Dirinya juga menjadi terduga kuat di balik rekayasa pembunuhan Udin dengan tumbal yaitu Dwi Sumaji.
Hal ini sempat disinggung dalam kesaksian Sumaji di persidangan tanggal 20 Oktober 1997 yang intinya, penangkapan Sumaji hanya rekayasa untuk kepentingan politik mengikuti skenario Serma Edy untuk melindungi kepentingan Sri Roso. Meskipun pada tanggal 23 Agustus 1996 Sri Roso menyatakan dia tidak terlibat atas kasus penganiayaan yang berujung kematian atas Udin.
Terduga pelaku kedua adalah Soeharto. Hal ini didasari dengan salah satu laporan Udin yang menyebutkan adanya suntikan dana ke yayasan milik Soeharto jika calon bupati terpilih menjadi Bupati Bantul saat itu. Serma Pol Edy diduga menjadi suruhan Soeharto untuk merekayasa pelaku pembunuhan Udin.
Terduga pelaku ketiga yaitu Serma Pol Edy Wuyanto, didasari atas terlambatnya penanganan kasus Udin. Selain itu, juga berdasarkan dugaan penghilangan barang bukti dan rekayasa pelaku pembunuhan.
Terduga keempat yaitu Polda DIY, dikarenakan atas lambatnya proses peradilan Udin dan penyerahan BAP atas nama Dwi Sumaji ke Kejati Yogyakarta, meski BAP-nya tidak lengkap. Apalagi Serma Edy juga anggota kepolisian, terduga penghilangan barang bukti yang ada di TKP.
Terduga kelima yaitu Dwi Sumaji, didasari atas rasa skeptis penulis atas kesaksian dari Sumaji. Penulis meyakini adanya peluang bahwa Sumaji berbohong. Bisa saja Sumaji memiliki dendam kepada Udin dan menyuruh orang untuk menganiayanya di rumah. Serma Pol Edy hanya mengikuti rencana Sumaji. Itu hanya beberapa dugaan penulis saja dan belum bisa dikatakan sebagai kebenaran dikarenakan kasusnya mandek.
Penulis berharap dalang penganiayaan Udin dapat lekas ditangkap dan diadili seadil-adilnya. Artijo dan Yosep menyatakan kasus Udin tidak ada batas kadaluarsa, sehingga memungkinkan untuk dibuka lagi berkas-berkas penganiyaan Udin. Apalagi, sudah ada beberapa sketsa dari pelaku dan zaman sudah canggih. Kemungkinan pelaku terungkap akan semakin besar.
Penganiayaan Udin merupakan suatu pelanggaran HAM dan pelanggaran atas nilai-nilai pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Miris melihat Udin dikebumikan pada saat kemerdekaan, seakan menandakan bangsa Indonesia sudah merdeka, akan tetapi kebebasan pers dan berpendapat ternyata belum merdeka. Kasus Udin juga menggambarkan bobroknya penanganan hukum di Indonesia. Sudah 27 tahun semenjak kematian Udin, tetapi sampai saat ini jangankan dalang penganiayaan, para pelakunya saja belum tertangkap.
Figur Ghalih
Editor: Rosmitha Juanitasari