Judul: Kata-kata Membasuh Luka
Penulis: Martin Aleida
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: xii + 340 halaman
Cetakan: pertama, 2019
ISBN: 978-602-412-613-1
“Tak perlu aku berdoa supaya kau menempuh jalan yang kulalui. Ditendang masuk bui, dibuang, supaya mampu memberikan nilai tinggi pada kebebasan. Untuk itu terkadang kita bisa menjadi seorang pendurhaka.” (“Surat Tapol kepada TKW, Cucunya”, hlm. 15),
Ekspresionline.com—Kata Intan Paramaditha, seorang pencerita juga merupakan seorang penghapus. Lepas dua puluh tahun kehidupanku, kalimat tersebut akhirnya menampakkan rupanya yang paling banal. Pada buku-buku pelajaran sejarah, kutemui kisah-kisah yang (sengaja) dihapuskan sedemikian rupa hingga lesap dalam ingatan. Hingga pada akhirnya tak ada lagi yang tahu batas antara fakta dan fiksi.
Pula akhirnya kutahu, seorang pencerita juga mampu menjadi eksekutor kesumatnya sendiri melalui darasan kisah-kisahnya. Martin Aleida salah satunya.
Pertama kali aku berkenalan dengan Martin Aleida melalui wawancaranya dengan para orang “kelayapan” di berbagai penjuru dunia dalam Tanah Air yang Hilang, selepas itu Mati Baik-baik, Kawan, dan barulah Kata-kata Membasuh Luka.
Buku ini adalah serangkum cerita pendek yang ia tulis dalam periode 50 tahun hidupnya. Beberapa cerpen dalam buku ini telah kutemukan tercecer dan terlebih dahulu kubaca dalam beberapa buku dan surat kabar.
Tak banyak yang berubah dari Martin Aleida. Ia masih bersetia dengan langgam berceritanya yang getir tetapi romantis. Tema yang ia angkat juga sebagian berpusar dalam roda-roda kelam prahara tahun ’65, dengan satu dua cerita bertema lain sebagai selingan.
Impian tentang Kepulangan
Ada dongeng tentang orang-orang yang tercerabut dari tanahnya, terusir dari rumahnya, oleh sebuah rezim tiran yang berkuasa lebih dari tiga puluh tahun lamanya. Keelokan negeri-negeri impian toh tak pernah menghapuskan kerinduan mereka terhadap sebuah kepulangan, pada tanah kemerahan yang baunya telah dihapal betul.
Dalam “Asmara dan Kematian di Perbatasan Tiga Negara” terdapat petuah Atok—kakek dalam bahasa Melayu—pada cucunya. Hampir separuh hidupnya ia habiskan berkelana di negara-negara Eropa dalam keterasingan. Ia mencari suaka dan berkelana menyeberangi berbagai batas negara dalam ketakutan. Menjadi pesakitan di negeri nun jauh sebab dipecundangi tanah kelahirannya membuatnya tak lagi berani bermimpi muluk-muluk. Sederhana saja keinginannya: mati baik-baik dan beriring doa.
Kerinduan-kerinduan lain juga muncul dalam “Perempuan yang Selalu Menggelitik Punggungku” lewat kenangan yang dihadirkan dalam potongan koran L’Unita. Tentang seorang ibu yang lantak sehabis memberikan tiga jiwa terbaik dalam hidupnya, suami dan kedua anaknya, demi ilusi kedigdayaan sebuah negara dalam peperangan.
Bab tergetir dalam buku ini adalah cerpen yang berjudul “Tanah Air”. Apalagi kutahu bahwa cerita ini bermula dari pengalaman empiris seorang eksil yang didapatkan dari wawancara Martin dalam pengembaraannya di Benua Biru selama tiga bulan. Tak hanya perihal sebuah kepulangan, ada orang-orang yang dengan cintanya tengah—meminjam sebuah larik dalam sajak Joko Pinurbo—berjihad melawan trauma. Karena pula kisah ini melibatkan sebuah proses masygul bernama bunuh diri.
“Tanpa kawan, kebebasan hanyalah penjara besar dalam bentuk lain dengan tembok-tembok khayali yang menyiksa. Sesakit-sakitnya di dalam kamp, ada kemewahan komunal dari orang-orang yang memuja kekayaan batin di sana: kesetiakawanan. Aku menemukan kebebasan ini hanya menawarkan kehampaan.”
(“Surat Nurlan Daulay kepada Junjungan Jiwanya”, hlm. 36)
Tak hanya kisah orang lain, pengalamannya sendiri pun ia kisahkan dengan sedemikian sendunya. Seperti dalam “Surat Nurlan Daulay kepada Junjungan Jiwanya” yang merutuki jeruji kebebasan semu yang mengantarkannya pada kungkungan dalam bentuk lain: kesendirian. Ratusan kawannya dipenjara, ada pula yang disiksa dan mati di pulau pembuangan.
Martin Aleida, yang memiliki nama asli Nurlan, pernah—ah, izinkan aku meminjam istilah kegemaran otoritas negara yang keparat betul itu—“diamankan” di Markas Komando Distrik Militer 0501, Jakarta Pusat karena aktivitasnya sebagai anggota redaksi jurnal Zaman Baru terbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra sendiri berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, yang mana merupakan rival berat rezim Orde Baru.
Tak sampai setahun, ia kemudian dibebaskan sebab surat yang dikirimkan emak dan bapaknya yang mengabarkan akan mengarungi lautan untuk mencium tangga rumah tuhan di jazirah Arab. Maka jadilah sebuah surat kepada junjungan jiwanya sebagai memoar kepedihan dan penyesalannya yang mendayu-dayu.
Ah, sebelumnya telah kukatakan kepadamu, Kawan, bahwa Martin jua menitikkan kesumatnya dalam buku ini. Tahunan waktu rupanya tak mampu menyurutkan dendamnya. Kentara betul dari caranya menarasikan kematian mereka yang berkongsi dengan rezim dalam prahara tahun ’65 untuk menumpas segala yang dianggap berbau komunis di negeri ini.
Dalam “Tanpa Pelayat dan Mawar Duka” ada Ba, seorang yang menggadaikan leher kawan-kawannya pada tentara, yang saat kematiannya tiada mengundang simpati sesiapa pun. Tak ada kematian sesia-sia itu, tanpa bau air mawar, tanpa karangan bunga. Dendam para penggali kubur, yang adalah anak-anak dari petani korban ketamakan Ba, akhirnya menemukan tamsil pada tanah pekuburan yang mendidihkan kesepian.
Sama pula dengan cerita tentang kematian Pakde Suto, yang pada suatu masa telah menyerahkan jiwa adiknya—yang membagi-bagikan milik para tuan tanah untuk petani tak berpunya—pada tangan-tangan dingin tentara. Jasadnya tak diterima tanah, ditolak bumi.
Kisah yang sama sekali lain dapat ditemukan pada “Jakarta 3030” yang mengambil latar waktu lebih dari seribu tahun dari saat ini. Sebuah anomali dari seorang Martin Aleida, kurasa. Darasannya meledak-ledak. Ceritanya menemukan klimaksnya kali ini. Jika dianalogikan dalam kurva pertumbuhan bakteri, titik ini merupakan fase stasionernya. Jika kau tak dapat membayangkannya, ada sebuah mesin peramban bernama Google, Kawan, yang mampu membantumu mencarikan gambarannya.
Hal-hal Lain yang Patut Dikisahkan
Ketamakan manusia pun tak lupa jadi objek kritik Martin. Seperti dalam “Tiada Darah di Lamalera” yang dinarasikan melalui perspektif koteklema, paus yang menjadi identitas kultural masyarakat adat di Lembata. Ketamakan telah lama menghancurkan relasi manusia dengan alam. Manusia yang pada awalnya melaut hanya membawa sejengkal perut, kini telah menjadi sosok yang ultra-eksploitatif terhadap alam.
“Kami tak pernah dipahami, kesalahpahaman yang membuat jarak kami dan mereka begitu jauh, serupa teks yang melahirkan salah tafsir yang terus mendera sepanjang mana pun kehidupan hendak ditarik.”
(“Tiada Darah di Lamalera”, hlm. 69)
Kompleksitas relasi antarmanusia juga diuraikan dalam kacamata para liyan, orang-orang marginal. Salah satunya orang-orang Aceh yang masih berjuang melawan stigma yang kadung ditempelkan pada dahi mereka. Kebencian yang terus menerus ditumbuhsuburkan lintas generasi. Pun aku yang harus menghapus beberapa baris tulisan ini tentang olok-olokku saat mengingat seorang kawan asal Tanah Rencong.
Katanya, tak ada gading yang tak retak. Pun hubunganku dengan buku ini, yang boleh dikatakan sebagai relasi cinta-benci. Di luar kekagumanku terhadap konsistensi dan langgam ceritanya yang memikat, aku terganggu dengan (sebagai eufemisme dari kata membenci) caranya mendikotomi. Jika rezim Soeharto digambarkan sebagai hitam pekat, rezim Soekarno menjadi putih, tanpa cela sedikit pun. Padahal, toh setiap rezim menyimpan kebusukannya tersendiri.
Buku ini merupakan salah satu buku yang memakan waktu yang lama untuk kutamatkan. Bukan, bukan sebab halamannya yang terlampau tebal atau bahasanya yang sulit dipahami. Lebih karena aku sering terhenti oleh rasa temaram, sedih, dan nanar setiap menyelesaikan beberapa kisah. Kemampuan Martin dalam membawa emosi pembacanya kurasa patut kita apresiasi bersama.
Melalui kata-katanya, Martin telah membangun tugu-tugu peringatan pada setiap kepala yang terjaga. Tak ada bangsa yang dapat bergerak maju tanpa menuntaskan apa yang masih berdarah-darah dari masa lalu.
Fiorentina Refani
Editor: Ikhsan Abdul Hakim