Sejak awal kelahirannya, rilisan fisik tetap hidup hingga saat ini. Ia menolak mati. Walau sempat mati suri sekalipun, nyawanya tak pernah mau dicabut dari raga para peminat. Ia semakin sehat lantaran selalu ditimang oleh para penikmat yang sudah terpikat. Ia kembali bangkit dan bertahan. Ada seratus alasan agar ia ditinggalkan, tapi tersimpan seribu lainnya yang bikin rilisan fisik tak tergantikan.
Melalui catatan pribadinya di dennysakrie63.wordpress.com, pengamat musik Indonesia, Denny Sakrie (almarhum), menuturkan, sekitar 1904, seorang saudagar peranakan Tionghoa bernama Tio Tek Hong membuka bisnis rekaman di Batavia. Ia mendirikan label rekaman pertama di Indonesia yang diberi nama Tio Tek Hong Record. Waktu itu, ia menggunakan Phonograph—alat perekam suara—yang ia impor. Setahun kemudian, ia merilis pelat gramofon atau piringan hitam. Ada yang khas dari piringan hitam buatan Tek Hong. Selalu terkumandang suara: “Terbikin oleh Tio Tek Hong, Batavia” di awal track saat pertama diputar.
Lagu-lagu yang Tek Hong hasilkan meliputi genre Stambul, Keroncong, Gambus, Kasidah, Musik India, Swing hingga Irama Melayu. Masyarakat saat itu senang mendengarkan “Tjente Manis”, “Boeroeng Nori”, “Djali Djali”, “Tjerai Kasih”, “Paioeng Patah”, “Dajoeng Sampan”, dan masih banyak lagi. Di samping itu, Tio Tek Hong juga merilis sandiwara Njai Dasima yang dikemas dalam bentuk boks berisikan 5 keping piringan hitam. Pada 1905, untuk mendistribusikan piringan hitam ke seluruh Hindia Belanda, Tio Tek Hong Record dan perusahaan rekaman milik kawan-kawannya bekerja sama dengan Odeon Record, kemudian dengan Columbia Record pada 1911.
Seperjalanan waktu, di Indonesia berdiri Irama Record pada awal 1950-an yang fokus pada lagu-lagu hiburan Indonesia. Lalu ada Remaco (Republic Manufacturing Company) yang didirikan oleh pasangan suami istri Moestari dan Titien Soemarni. Disusul Lokananta, pabrik piringan hitam pertama milik negara yang didirikan oleh Presiden Soekarno pada 1956 di Solo. Lokananta waktu itu banyak menghasilkan lagu-lagu daerah.
Semua perusahaan pada awalnya memproduksi piringan hitam. Seiring perkembangan zaman, piringan hitam mulai tersingkir oleh Compact Cassette (kaset pita) yang ditemukan oleh Philip pada 1962. Di Indonesia, kaset pita berkembang pada 1964 hingga 1980-an. Denny Sakrie dalam bukunya, 100 Tahun Musik Indonesia, mengungkapkan, kaset memiliki bentuk praktis dan harga lebih terjangkau.
Musik di Indonesia mengalami masa keemasannya pada era kaset pita. Produksi musik meningkat, distribusi lebih luas dan merata. Studio-studio rekaman mulai banyak berdiri, musisi dari bermacam genre musik bermunculan. Dalam format grup musik ada Koes Plus, Bimbo, hingga Soneta. Sementara untuk penyanyi solo ada Chrisye, Ebiet G. Ade, Iwan Fals, Diana Nasution, Hetty Koes Endang dan lain-lain. Menurut Denny, saat itu musisi dengan penjualan kaset yang terbilang sukses ialah Rinto Harahap, Pance Pondaag, dan Obbie Messakh.
Sejalan dengan masa keemasan kaset pita, awal 1970-an hingga akhir 1980-an juga menjadi masa kejayaan Lokananta. Ya, Lokananta akhirnya memproduksi kaset pita. Setiap bulan mereka bisa merilis 100 ribu keping kaset pita di pasaran. Masyarakat menyambut dengan gembira ketika itu.
Sampai pada 1982, pria asal Amerika bernama James Russell memperkenalkan Compact Disc (cakram padat)—cakram optik digital untuk menyimpan data. Cakram padat inilah yang akhirnya meruntuhkan kepopuleran kaset pita di seluruh negara, termasuk Indonesia. Tercatat dalam Voicemagz.com, puncak penjualan cakram padat terjadi pada akhir 1990-an. Namun, dari segi penjualan memang tidak sehebat waktu kaset pita menjadi primadona.

Matinya Rilisan Fisik
Perkembangan pesat era digital berimbas pada media perekam yang menghasilkan piringan hitam dan kaset pita. Menurut buku Rolling Stone Music Biz (2009), kondisi itulah yang membuat bangkrut 117 label rekaman lokal. Di antaranya Irama Record dan segera jumlah label rekaman menyusut menjadi 70 saja. Label-label yang bertahan kemudian tergabung dalam Asiri. Selain itu, toko-toko kaset banyak yang gulung tikar. Bagi sebagian besar orang, lebih praktis mengunduh lagu dari internet. Pengunduhan lagu di internet tersebut biasanya dalam format Mp3.
Akan tetapi, teknologi Mp3 ini memudahkan orang untuk melakukan pembajakan. Hal tersebut mengakibatkan penurunan pendapatan musisi, grup musik, label, hingga pengusaha rilisan fisik. Pembajakan menjadi momok bagi orang-orang yang menggeluti industri musik, termasuk di Lokananta. Sekitar 1999 hingga 2000 menjadi titik terendah dalam perjalanan Lokananta. Saat itu Lokananta berhenti produksi. Selain akibat dari pembajakan, keputusan pemerintahan era Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan pada 1999 juga menjadi musababnya.
Aturan dalam UU Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982 yang kemudian revisi sampai menjadi UU Nomor 28 Tahun 2014, sama sekali tidak digubris oleh para pembajak. Menurut data dari Rolling Stone Music Biz, musik bajakan telah menguasai 95,7% penjualan. Sementara musik legal penjualannya hanya tinggal 4,3% di Indonesia.
Bangkitnya Rilisan Fisik
Kendati demikian, adanya pembajakan justru bukti rilisan fisik masih banyak diminati, meski hanya ilegal. Pasalnya, rilisan fisik bajakan lebih murah dan mudah untuk didapat. Asiri bahkan melakukan terobosan baru yang cukup kontroversial. Asiri dan Gaperindo (Gabungan Perusahaan Rekaman Indonesia) secara resmi menggandeng PIMRI (Perkumpulan Industri Media Replika Indonesia) merilis produk bernama VCD Karaoke Super Ekonomis yang dijual eceran seharga Rp5.000 hingga Rp6.000.
Bukti lain yang tak boleh dipandang sebelah mata adalah berseliwerannya kolektor-kolektor yang berburu rilisan fisik orisinal. Jangan lupakan pula orang-orang yang khusyuk mendengarkan audio dengan kualitas tinggi. Mereka disebut audiophile. Mereka, misalnya, tergabung dalam Tjihapit Skool of Rock di Bandung. Fokus mereka adalah rilisan fisik baru dan lawas dari berbagai genre musik di kancah internasional.
Rilisan fisik tak hanya dikoleksi dan didengar, tetapi juga dirayakan. Ada hari-hari peringatan musik, seperti Record Store Day (RSD) dan Cassette Store Day (CSD). Penggemar, seniman, dan ribuan toko rekaman independen di seluruh dunia dipertemukan. Pada 2016, RSD sudah digelar di 20 kota di Indonesia. Sementara CSD, yang terilhami oleh RSD, baru digelar di beberapa kota besar di Indonesia.
Untuk mengimbangi perkembangan era digital, toko-toko rilisan fisik mulai berjualan secara daring. Di antaranya Tower Records dan Aquarius Mahakam. Tower Records dengan situs webnya bernama Towerrecords.com, dan Aquarius Mahakam bisa dikunjungi di Aquariusmusiconline.com.
Pelbagai terobosan dilakukan untuk menjaga rilisan fisik tetap diminati. Banyak musisi dan grup musik mulai memproduksi rilisan fisik dengan kemasan unik. Dalam bentuk boxset ada Endank Soekamti yang mulai memproduksinya sejak album Angka 8 hingga Soekamti Day. Bahkan, dalam film terbarunya, VLOGFEST 2016, mereka juga mencetaknya dalam boxset. Tidak hanya berisi CD terbarunya, grup musik asal Yogyakarta ini menyertakan DVD film dokumenter pembuatan album, t-shirt, aksesori resmi, dan sertifikat. Tak ketinggalan pula Frau yang merilis album Happy Coda berbentuk bedak versi vintage.
Beberapa grup musik Indonesia juga mulai merilis album dalam bentuk piringan hitam. Mulai dari Superman Is Dead, White Shoes and The Couples Company, Sore, dan masih banyak lagi. Biasanya mereka merilis dalam jumlah terbatas, berkisar 200 hingga 500 keping piringan hitam. Tak hanya di dalam negeri, demam piringan hitam pun terjadi di luar negeri. Pada 2014, penjualan piringan hitam di Amerika Serikat dan Inggris meningkat. Menurut data asosiasi industri rekaman di Inggris, BPI (British Phonographic Industry), pada 2014, penjualan piringan hitam mencapai tingkat tertinggi, yaitu 1,3 juta keping sejak 1995.
Di luar itu semua, hal terpenting tapi acapkali dilupakan adalah pendokumentasian karya. Data apapun tidak boleh lenyap begitu saja, termasuk data musik. Di Lokananta ada kurang lebih 40.000 kaset pita dan piringan hitam dari berbagai genre. Pendokumentasian dilakukan dengan pengalihan format piringan hitam menjadi cakram padat. Selain itu, pendokumentasian dilakukan pula dalam bentuk digital. Di Lokanantamusik.com kita bisa menikmati lagu-lagu zaman Waldjinah 1959, termasuk rekaman pidato Presiden Soekarno.
Bersama kawan-kawannya, hal serupa juga dilakukan oleh David Tarigan, pendiri Irama Nusantara. Mereka melakukan pendataan dan pengarsipan musik Indonesia era 1950-an hingga 1980-an. Temuan-temuannya itu kemudian diunggah ke dalam basis data Iramanusantara.org. Hal-hal yang mereka lakukan tersebut dilandasi oleh kesadaran akan pentingnya sejarah musik Indonesia. “Kami berharap Irama Nusantara dapat menjadi landasan dalam mengakomodasi siapapun yang tertarik untuk mengkaji sejarah musik populer Indonesia,” ungkap Tarigan dalam video profil Irama Nusantara.
Ghozali Saputra
Tulisan ini kali pertama tayang di majalah EKSPRESI “Diskriminasi Rasial Pertanahan Yogya”.