Ekspresionline.com–Sewaktu masih tinggal di Tangerang, Banten, saya pernah berkawan dengan seorang teman. Namanya, sebut saja Wawan. Kerap kali ia mengajak saya main ke rumah kontrakannya. Kami bermain gundu sembari mendengar musik yang berdendang dari speaker angkot milik bapaknya.
Suatu waktu, Wawan menunjukkan beberapa koleksi kaset bajakan yang sering ia putar dan tak sengaja saya dengar. Jumlahnya saya tidak ingat, tapi yang pasti cukup banyak untuk ukuran seorang bocah.
Usut punya usut, ternyata itu milik orang tuanya yang memang sangat cinta dengan pencipta sekaligus penyanyi lagu-lagu dalam kaset itu.
Penyanyi itu rambutnya gondrong dan memakai blangkon. Berpakaian surjan, persis seperti pakaian adat Jawa yang saya ketahui dari buku atlas. Tampak asing rasanya melihat gaya musisi yang jamak saya temukan di agenda pernikahan.
Tiba-tiba Wawan datang mendekat, lalu ia membisikkan sesuatu tepat di dekat telinga saya, “Kamu mau beli kaset Didi Kempot, gak?”
Saya pun membeli kaset itu. Kalau tidak salah, harganya cukup Rp2000 saja. Sejak saat itu, saya mulai akrab dengan Didi Kempot. Tidak sampai fanatik, atau mengklaim diri sebagai fan berat.
Momen itu terus membawa saya pada rasa penasaran tentang sepak terjangnya sebagai musisi. Dan, satu yang tak boleh lepas, saya mulai suka dengan caranya berekspresi lewat musik.
Ia lahir di Surakarta, 31 Desember 1966 dengan nama asli Dionisius Prasetyo. Didi, begitu sapaan akrabnya merupakan adik kandung mendiang Mamiek Prakoso, komedian yang besar bersama Srimulat itu.
Didi tak serta merta terkenal begitu saja. Ia memulai karir dari seorang musisi jalanan di Yogyakarta. Bersama sebuah grup musik bernama Kelompok Pengamen Trotoar yang kelak disingkat menjadi nama panggungnya: Kempot, Didi terus berkarya dan menciptakan sejumlah tembang hingga mengantarkannya menuju popularitas seperti sekarang.
Didi secara konsisten mengusung aliran musik campursari. Lirik yang ia bawakan didominasi bahasa Jawa. Dibawakan dengan suasana musikal dari banyak sentuhan warna, mulai dari musik modern, dangdut, hingga sentuhan Jawa. Semuanya tercampur dan tersari secara apik. Ibarat minuman yang teramu dari berbagai bahan, perpaduannya sungguh pas.
Mayoritas lagu yang ia nyanyikan punya makna cerita serupa: soal cinta, patah hati, kangen dan kehilangan. Maka tak heran jika julukan “The Godfather of Brokenheart” melekat kuat pada dirinya.
Bicara soal cinta, Didi sangat mahir menjelaskan betapa bingungnya seseorang ketika sedang kasmaran. Dalam judul “Ketaman Asmoro”, Didi bercerita betapa bingungnya insan manusia kala terombang-ambing perasaan suka.
“Wis tak lali-lali
Malah sansoyo kelingan.
Nganti tekan esok kapan nggonku
Mendem ora biso turu.“
Jika dialihbahasakan ke Indonesia, kira-kira artinya seperti ini:
“Sudah aku lupakan
malah tambah kangen.
Entah sampai kapan,
mabuk tidak bisa tidur.“
Tak hanya itu, Didi Kempot juga acapkali mengingatkan kita bahwa menjalin relasi dengan seseorang tak ubahnya adalah persiapan memanen luka. Seperti yang terkandung dalam tembang “Tanjung Mas Ninggal Janji.”
“Aku sih kelingan nalika ing pelabuhan,
kowe janji lunga ra ana sewulan.
Nanging saiki wes luwih ing janji,
Nyatane kowe ora bali-bali.”
Apabila ingin menyanyikannya dengan bahasa Indonesia, kira-kira jadinya seperti ini:
“Aku masih ingat saat di pelabuhan,
kamu janji pergi tidak sampai sebulan
Tapi sekarang sudah lebih dari janji.
nyatanya kamu tidak pulang.”
Satu lagi yang unik. Kita bisa menyaksikan usaha Didi Kempot mewakili dinamika kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Kita ambil contoh, judul-judul lagu yang menggunakan nama fasilitas transportasi publik. Sebut saja, Terminal Tirtonadi, Stasiun Balapan, hingga Tanjung Mas Ninggal Janji.
Dalam lagu-lagu, Didi menceritakan bahwa di tempat itu pernah ada sepasang kekasih yang menciptakan kenangan bersama, entah manis maupun getir.
Mengapa Didi Kempot tidak pernah menggunakan kata bandara dalam lagunya? Menurut saya, itulah bentuk penghargaan dan loyalitas Didi kepada para sobat ambyar, sad boy, dan sad girl.
Karyanya akan selalu sejajar dengan status ekonomi pendengarnya. Realitas mereka jarang ada yang menghendaki pamitan, perpisahan, atau menangisi kekasih yang berlalu pergi di ruang tunggu pesawat.
Sayang sekali, Didi Kempot tidak bisa menghibur kita lebih lama. Selasa pagi (5/5/2020) pukul 07.45 WIB, ia menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Kasih Ibu, Surakarta.
Ia meninggalkan seorang istri, dua orang anak, dan ribuan sobat ambyar yang kini hatinya makin ambyar karena sang idola pergi untuk selama-lamanya.
Seperti yang kita sering dengar dari lagunya bahwa pertemuan, perpisahan, dan kenangan itu bagian pasti dari kehidupan. Begitu juga dengan kita semua dan Didi Kempot.
Melalui karyanya yang melegenda, kita semua bisa saling terhubung, berbagi sambat, dan membentuk identitas kolektif sebagai pecinta musik cita rasa lokal.
Selamat jalan, Mas Didi Kempot!
Hery Setiawan
Editor: Abdul Hadi