Ekspresionline.com–Aliansi Mahasiswa UGM menggelar aksi tolak Iuran Pengembangan Institusi (IPI), merespon penangguhan Permendikbud Nomor 2 tahun 2024. Aksi ini dilakukan dengan berkemah di depan gedung Balairung, UGM, berlangsung sejak Senin (27/5/2024) dan masih bertahan hingga Jumat (31/5/2024) malam.
Aksi tersebut berangkat dari permasalahan Permendikbud Nomor 2 tahun 2024 yang dievaluasi, sehingga membuat UGM kembali menerapkan skema uang pangkal Sumbangan Solidaritas Pendidikan Unggul (SSPU).
Salah satu peserta aksi, Mada dari Fakultas Hukum, mengatakan sejak terbit surat pembatalan kenaikan UKT dan IPI untuk Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) dan Perguruan Tinggi Negeri pada Senin (27/5/2024), pihak UGM langsung menerapkan kembali skema SSPU.
“Meskipun tidak ada IPI, tapi ada uang pangkal yaitu SSPU. Tapi karena SSPU tidak memiliki landasan hukum, alhasil nomenklaturnya diganti menjadi IPI, jadi IPI masih ada di UGM,” ujar Mada saat diwawancarai Ekspresi pada Jumat sore (31/5/2024).
Adapun masa aksi menuntut Ova Emilia, Rektor UGM, untuk mencabut seluruh kebijakan uang pangkal atau iuran di luar UKT pada semua golongan. Masa aksi juga menuntut Rektor UGM melakukan konferensi pers untuk mendukung gerakan penolakan IPI dan pencabutan Permendikbud Nomor 2 tahun 2024, bukan hanya mengevaluasi, serta menuntut negara untuk menambah subsidi anggaran pendidikan lebih dari 30%.
Tuntutan pencabutan Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 ini didasari atas ketidakjelasan status peraturan. “Menteri hanya mengevaluasi, tidak ada pencabutan, sehingga kita tidak tahu Permen itu ditangguhkan atau bagaimana,” jelas Mada.
Mada juga menambahkan, UGM semestinya mengambil sikap untuk permasalahan ini, terlebih status UGM adalah PTNBH. “Kampus semestinya tidak manut saja dengan pemerintah apalagi dengan kebijakan hasil dari neo liberalisasi pendidikan.”
Terhitung sejak Senin, Rektor UGM baru menemui masa aksi pada Jumat siang. Mengutip unggahan pernyataan sikap pada laman Instagram @aliansimahasiswaugm, audiensi terjadi dengan waktu yang singkat dan seolah di setting berdekatan sholat Jumat. Diskusi kurang dari 30 menit tersebut hanya mendapat jawaban birokratis.
“Bahwa kami punya regulasi dan akan kami pertimbangkan,” tiru Mada, menyampaikan kembali ucapan Ova ketika masa aksi menyampaikan tuntutan-tuntutannya.
Pola jawaban birokratis ini cukup disayangkan massa aksi, karena masih diterapkan rektorat selama dua atau tiga tahun belakangan terlebih pada konteks uang pangkal di UGM.
Aksi sempat diwarnai ketegangan saat keamanan UGM memaksa membubarkan dengan menarik mahasiswa, atau tenda aksi pada Jumat sore, karena lokasi aksi akan digunakan untuk upacara hari lahir Pancasila. Massa aksi yang enggan membubarkan diri menyatakan bahwa aksi damai dilakukan bukanlah untuk menantang upacara hari lahir Pancasila, justru massa aksi menganggap bahwa apa yang dilakukan sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan visi UGM sebagai kampus kerakyatan.
Kendati demikian, massa aksi khawatir jika tetap bertahan di tengah upacara, justru akan dibenturkan dengan narasi tidak Pancasilais. “Untuk bagaimana kedepannya, masih dalam pembacaan kami, apakah mau bertahan di tengah upacara atau bagaimana,” pungkas Mada.
Ikrar Hatta Tiwikrama
Reporter: Danang Nugroho, Rizqy Saiful Amar, dan Faza Nugroho
Editor: Rosmitha Juanitasari