[dropcap]D[/dropcap]alam lembar endorsements, Tia Setiadi mengatakan bahwa buku kumcer karya Gunawan Tri Atmodjo ini adalah buku yang cerdas karena Gunawan menyajikan hal berat sekalipun menjadi hal yang bisa ditertawakan. Namun, jika ditilik dengan lebih jeli lagi, penulis menerapkan gejala-gelaja psikologis pada tokoh-tokohnya. Salah satu teori psikologis yang lebih banyak dipakai oleh Gunawan adalah defence mechanism.
Defense Mechanism merupakan teori mempertahankan diri seseorang apabila kebutuhannya tidak terpenuhi yang digaungkan oleh Sigmund Frued. Gejala defense mechanism begitu kentara dalam cerpen-cerpen di kumcer ini. Terutama pada cerpen yang berjudul Bukan Kawan.
Bukan Kawan menceritakan tentang Ilham Aji yang sedang menunggu antrean untuk wawancara kerja dengan Manajer Personalia. Di sana, ia mengira bahwa manajer tersebut adalah teman sekolahnya yang bernama Didik. Ia merasa iri dengan kenyataan bahwa Didik sekarang sudah menjadi bos karena dulu Didik adalah murid yang miskin bahkan tidak memiliki teman selain dirinya. Hingga kemudian datang gilirannya untuk diwawancara. Merasa kenal dengan manajer yang akan mewawancarainya itu, Ilham menyapa terlebih dahulu. Namun, tidak disangka, ia salah orang. Merasa malu, ia langsung keluar dan melewatkan sesi wawancara.
Terdapat gejala disosiasi—memutus emosi dengan mengalihkannya ke hal lain—dalam diri Ilham saat itu. Ia yang salah mengira orang lalu kenyataan tentang ia tidak mendapat pekerjaan secara normal seharusnya membuatnya merasakan kesedihan. Namun, Ilham justru bahagia karena mendapati kenyataan bahwa Manajer Personalia bukanlah Didik, teman SMAnya.
Dari 23 cerpen di kumcer ini, Istri Pengarang adalah cerpen yang paling mengandalkan emosi psikologis dalam tokohnya. Bercerita tentang seorang wanita yang di-PHK dari pekerjaannya melalui sudut pandang orang pertama, Gunawan benar-benar mampu menggambarkan bagaimana sisi terpuruk dan putus asa seorang istri yang cemburu pada tokoh perempuan yang dibuat suaminya. Bahkan rasa cemburu begitu menguasai dirinya dan tanpa sadar membuat tokoh Istri membunuh suaminya. Namun, tanpa diduga, bukannya menyesal, tokoh Istri justru menenangkan dirinya dengan mengatakan bahwa perbuatannya akan membahagiakan suaminya. “Karena dia meninggal saat menulis, hal yang mungkin diidamkan oleh banyak pengarang.” (hal. 57)
Akan tetapi, tidak dimungkiri, kumcer Tuhan Tidak Makan Ikan memang penuh dengan kalimat-kalimat satire yang semuanya bisa ditertawakan. Di kumcer yang banyak menyinggung mengenai kematian ini, mengingatkan pembaca bahwa kematian justru yang ditunggu tapi banyak orang yang menertawakannya. Dalam pembukaan cerpen yang berjudul Cara Mati yang Tak Baik bagi Revolusi, pembaca diajak untuk menertawakan cara mati yang konyol Kolonel Aduren karena terpeleset ingus sendiri di kamar mandi. Namun, seakan tidak ingin menghilangkan diri khasnya memasukkan psikologi sastra, Gunawan juga tak lupa menggambarkan bagaimana kondisi Presiden Segrob yang merasa bahagia hanya karena mimpi di sela kekalutannya menangani pemerintahan yang anggotanya banyak yang dibunuh.
Yang paling menarik adalah cerpen yang dijadikan judul kumcer ini. Tuhan Tidak Makan Ikan malah tidak lebih menarik dari cerpen-cerpen lain. Menyindir tentang bagaimana nelayan di pesisir pantai sering dibodohi untuk menyetor tangkapan ikannya bukan untuk dirinya sendiri. Dalam Tuhan Tidak Makan Ikan, mereka dibodohi oleh Kepala Kampung dengan dalih bahwa keadaan laut sedang tidak baik dan bisa kembali normal jika mereka menyerahkan hasil laut mereka untuk dipersembahkan ke Tuhan yang tentu saja itu adalah kebohongan.
Diceritakan melalui sudut pandang seorang anak lelaki yang menyingkirkan cita-citanya menjadi penjaga perpustakaan karena pernah merasa bersalah setelah mencuri sebuah buku, Tuhan Tidak Makan Ikan menjadi jauh lebih menarik. Cerpen ini ditutup secara apik dengan sebuah dialog yang lugu, tapi menyentil.
“Apakah Tuhan itu makan ikan, Yah?”
“Anak bodoh, tentu saja Tuhan tidak makan ikan!” (125)
Nisa MS.
*Tulisan ini dimuat juga di rubrik Resensi Buletin EXPEDISI Edisi II September 2016 – Nyala Akademik Setelah Petang