Ekspresionline.com–Lagi-lagi kegaduhan di luar menggedor dinding toko milik Damar. Lelaki tua itu selalu siap sebelum jalan makin padat untuk menghirup udara yang tak benar-benar segar.
Satu atau dua orang melintas, kadang mereka berhenti sekadar untuk melihat iklan tempel. Apa pedulinya buat Damar, baginya menjadi sedikit waras di usianya yang tak lagi muda sudah cukup melegakan.
Lonceng yang tergantung di sudut pintu berbunyi. Damar melirik sekilas. Lelaki muda yang baru masuk itu langsung meletakkan tasnya pada kursi tua berdebu. “Pagi, Damar!” sapa Surya, kawan Damar yang jauh lebih muda dari usianya. Damar menengok jam untuk memastikan waktu.
Salah seorang kenalan Damar menerobos pintu depan, ia Rustam. Lelaki tua dengan jas parlente dan sekoper penuh surat itu duduk di dekat pintu. Ia bersandar dan mengarahkan tubuh pada kipas. “Panas sekali di luar.”
Roda-roda raksasa di seberang nyaris memecah jendela. Suara mesin beradu hebat dengan gramofon tua. Orang-orang dengan helm kuning mondar-mandir depan toko sepanjang hari. Esok mereka akan datang lagi dan mengulang pekerjaan yang sama sampai paruh tahun ini.
Melodi gramofon iringi gerak bibir Rustam yang terburu-buru. Ia asyik meracau sampai-sampai menyinggung tunggakan sewa toko Damar. Berbeda dengan Damar yang banyak diam dan bicara seperlunya.
Sesekali Damar menanyakan kesehatan Rustam, begitu sebaliknya. Sekadar memulai perbincangan canggung antara keduanya. Setelahnya hanya ada serak suara Damar menahan batuknya yang makin parah.
Bercak darah di saputangan Damar tampak merah pekat. Gumpalan darah itu mengering seperti bibir keriputnya yang pucat. Damar tak pernah berobat, tak ada kotak obat di ruangannya. Uang yang ia dapat kebanyakan habis untuk sewa.
Sakit yang Damar derita diidapnya selepas bebas dari Buru. Setelahnya ia terpaksa membuka toko kecilnya untuk menyambung hidup. Damar sadar kalau membuka toko kecilnya itu sia-sia, bahkan tak ada untungnya.
Tempat itu alasan terakhir Damar untuk bertahan hidup. Tiap sudut toko ada rak buku, foto-foto monokrom, dan jam antik yang masing-masing tingginya dua meter. Mungkin itu yang jadikannya lebih tenang dari urusan luar.
Hari mulai petang, tak seorang pengunjung pun datang. Hanya ada mereka bertiga dan seekor kucing piaraan Damar. Toko itu makin pengap oleh perdebatan Damar dan Rustam yang mengendap tak ada habisnya.
Damar sebenarnya terusik akan keberadaan Rustam. Rustam yang kini Damar kenal ialah makhluk licik yang menghalalkan segala cara demi melunasi ambisi. Perkenalan mereka dulu juga tak lebih disebabkan oleh dari uang atau bisnis.
Tak pernah Damar temukan lagi kawan atau keluarga. Tak ada rumah buat Damar setelah pengasingannya dulu. Sahabat dekat satu per satu mati. Kerabat menjauh sebab tuduhan yang dialamatkan padanya. Ia tak tahu dosa apa yang ia perbuat, kutukan masih saja berlanjut.
Rustam menyodorkan pena dan surat-surat dari kopernya kepada Damar. Damar menolaknya, ia melempar surat-surat tadi dari meja. Tangannya menggebrak meja.
“Hentikan permainanmu!”
“Berhentilah bermain-main denganku.”
“Kurang ajar! Kau pikir kau bisa mengaturku seenak jidat?”
Surya segera memanggul tas kosong dan buru-buru keluar. Ia menembus lorong gelap oleh tuntunan sinar temaram. Tatapannya kosong ke bulan, tak ada bintang jatuh, tak ada yang ia harapkan jika pun ada.
Di sudut lain kompleks ia terhenti. Ia menghirup udara, tak ada asap, pecahan kerikil, atau pasir. Udara tak begitu agresif bak tikus-tikus liar malam itu. Ia bersandar pada suatu tembok, sekejap ia terlelap oleh dekap rumput liar.
Belum usai kelana alam bawah sadar, seruan Tuhan menarik ia keluar. Fantasi yang belum sepenuhnya ia dapat dihela riuh isi kepala, amukan mesin berat tempo hari masih mengganggu. Ia terpikirkan Damar usai mengumpulkan kesadaran.
Tak seperti biasanya, pagi itu Surya mendapati toko Damar yang kosong. Rak-rak buku, foto monokrom, dan jam-jam kuno nyaris semuanya raib. Ia memanggil Damar selama beberapa kali, tapi tak ada balasan.
Orang-orang proyek keluar masuk memastikan kondisi. Toko itu digeledah tanpa surat tugas. Kotak-kotak jam berserakan di teras depan. Seperti barang jarahan habis perang, kacung-kacung Rustam mengantongi jam-jam itu tanpa seizin Damar.
Surya memanggil nama Damar, meski ia tahu akan berujung sia-sia. Siapa peduli dengan Damar, tak seorang mengenalnya. Bagi mereka Damar hanya lelaki tua penyendiri yang tak berarti.
Kucing piaraan Damar bersandar di kaki Surya. Langkah kecilnya terhenti tepat di depan proyek. Sorot matanya tajam ke dalam. Ia melihat Rustam, sosok yang akrab dengan tuannya, juga mengusir tuannya.
Surya terpaku seorang diri, pikirannya tak karuan. Detak jantung berpacu seturut embus napasnya yang tak seirama. Apa yang sebenarnya terjadi? Pikirnya dalam.
Faza Nugroho
Editor: Rizqy Saiful Amar