Ekspresionline.com–Pada Rabu (02/11/2022) diadakan konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Acara tersebut dihadiri perwakilan dari warga Wadas dan beberapa solidaritas lainnya.
Salah satunya Sanah, perwakilan Solidaritas Perempuan Kinasih (SP Kinasih). Di depan awak pers, ia mengatakan jika uang ganti rugi (UGR) atas pertambangan di Desa Wadas tidak mampu menggantikan dampak terhadap ruang kehidupan di sana.
Menurut Sanah, warga yang telah menerima UGR tahap pertama dan kedua telah kehilangan sumber kehidupannya. Karena warga penerima UGR yang sebelumnya sering dilihat Sanah membuat besek dan mengelola gula aren, kini sudah tidak bisa lagi melakukannya. Hal itu dilandasi bahan-bahan alam yang tersedia sudah tidak lagi menjadi haknya (dijual).
“Ini baru tahapan awal ketika berbicara tentang dampak rencana pertambangan. Nah, kalau kita bicara tentang dampak pascapertambangan akan lebih berat lagi,” ujarya.
Sanah menjelaskan dirinya telah melakukan evaluasi ekonomi terhadap warga Wadas. Dalam evaluasinya, rata-rata warga Wadas memiliki penghasilan 75 juta per tahun. Selanjutnya menurut perhitungannya, kekayaan di Desa Wadas bisa mencapai 40 triliun dalam kurun waktu 50 tahun.
“Kekayaan Desa Wadas itu tidak main-main, bayangkan berapa yang akan hilang ketika pertambangan ini dilakukan,” tegas Sanah.
Menurut Sanah, besarnya UGR yang diterima tidak akan mampu menggantikan kekayaan di Desa Wadas. Misalnya, ganti rugi sebanyak 2—8 miliar yang diterima warga penerima UGR tidak akan bertahan lama. Sebab dalam pembacaannya, banyak warga penerima UGR yang tidak bijak menggunakan uang.
Sanah sering menemui kasus para penerima UGR yang justru menggunakan uangnya demi membiayai skema leasing. Hal itu membuat mereka cenderung membelanjakan barang-barang simbolis seperti perbaikan rumah, membeli mobil, dan pemenuhan gaya hidup lainnya.
“Ganti rugi ini tidak berpikir pada aspek mata pencaharian, namun ganti rugi ini yang dihitung hanya nilai tanah, tidak lebih,” tambahnya.
Sebagai warga Wadas yang menolak pertambangan, Marsono dalam Konferensi pers tersebut mengatakan bahwa dirinya tidak berkenan jika desanya dirusak dan ruang hidupnya dirampas.
“Katanya negara mau menyejahterakan masyarakat, tapi sampai saat ini yang terjadi justru negara merampas dan merusak ruang hidup kami yang ada di Desa Wadas,” terangnya yang acap dipanggil Mbah Mar.
Nuriyah Hanik Fatikhah
Reporter: Abi Mu’ammar Dzikri
Editor: Abi Mu’ammar Dzikri