Ekspresionline.com–Akhir April tahun lalu, tim kolaborasi #NamaBaikKampus merilis berita tentang testimoni 174 penyintas kekerasan seksual di 79 universitas di Indonesia. Di UNY sendiri, BEM KM pernah membuat angket mengenai kekerasan seksual yang terjadi di kampus pada 2019. Hasilnya, terdapat tujuh pengakuan tindak kekerasan seksual yang terjadi di UNY.
Hal tersebut menegaskan bahwa universitas tidak lepas dari tindak kekerasan seksual. Lantas, bagaimana kampus–khususnya UNY–menangani tindak kekerasan seksual di kampus?
Faktanya, tidak ada aturan berskala nasional tentang penanganan kekerasan seksual di ranah kampus. Mantan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, M Nasir, menyatakan bahwa penanganan tindak kekerasan seksual di kampus merupakan tanggung jawab masing-masing rektor.
Anang Priyanto, Staf Ahli Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, pernah menjelaskan kepada Ekspresi mengenai penanganan tindak kekerasan seksual di kampus. Hal tersebut, katanya, telah diatur dalam Peraturan Rektor UNY mengenai etika. “Itu [penanganan kekerasan seksual] sudah ada di peraturan rektor,” jelasnya pada Rabu (21/11/2018).
Ada tiga peraturan yang disebutkan Anang. Pertama, Peraturan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2015, Nomor 5 Tahun 2015, dan Nomor 3 Tahun 2009. Peraturan yang disebutkan terakhir adalah peraturan mengenai etika mahasiswa, sedang dua yang lain merupakan kode etik tenaga pendidikan dan dosen.
Terdapat kemiripan mekanisme penanganan dalam tiga peraturan tersebut. Jika terjadi pelanggaran etika, maka akan dibentuk tim khusus untuk menanganinya. Tim Ad Hoc, bila pelanggar merupakan mahasiswa, dan Majelis Etik, jika pelanggar merupakan tenaga pendidik dan/atau dosen. Kedua tim tersebut memiliki tugas yang hampir sama, keduanya menginvestigasi laporan pelanggaran, cek kebenaran, kemudian memberikan putusan terhadap kasus pelanggaran etika.
Dari penjelasan Anang, tiga aturan tersebut telah menyebutkan adanya larangan bagi sivitas akademika UNY melakukan tindak pidana. Kekerasan seksual, katanya, merupakan tindak pidana dan jika terjadi maka akan diserahkan ke kepolisian. “Kalau pelecehan seksual kan itu tindak pidana. Kalau ketemu, berarti [lapor ke] polisi,” katanya.
Anang menyebutkan bahwa mekanisme pananganan tersebut menggunakan delik aduan. Jadi, ia mengimbau bagi yang mengetahui tindak pelanggaran untuk melapor.
Akan tetapi, terkait tindak kekerasan seksual, tidak semua dari tiga peraturan rektor tersebut telah secara eksplisit menjelaskan larangan tindak kekerasan seksual. Dari ketiga peraturan, hanya peraturan mengenai etika mahasiswa yang secara eksplisit mengatur hal tersebut. Dijelaskan dalam peraturan etika mahasiswa bahwa mahasiswa dilarang melakukan pelanggaran seksual, pornografi, pelecehan seksual dan seks bebas di lingkungan kampus.
Satu bulan berselang setelah Anang menjelaskan mekanisme penanganan kekerasan seksual pada kami, pada 28 Desember 2018, keluar dua peraturan rektor baru mengenai kode etik, masing-masing untuk dosen dan mahasiswa.
Peraturan baru yang dimaksud yaitu, (1) Peraturan Rektor UNY Nomor 19 Tahun 2018 tentang Kode Etik dan Etika Akademik Mahasiswa, sebagai pengganti atas Peraturan Rektor UNY Nomor 3 Tahun 2009; (2) Dan Peraturan Rektor UNY Nomor 22 Tahun 2018, peraturan ini dikeluarkan sebagai perubahan atas tiga pasal (pasal 1, pasal 4, dan pasal 6) pada Peraturan Rektor UNY Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kode Etik Dosen.
Meskipun terjadi perubahan, substansi penanganan kekerasan seksual masih sama. Malahan, pada kode etik mahasiswa, ayat yang mengatur larangan melakukan pelanggaran seksual dihapuskan. Ayat yang kemudian muncul ialah larangan bagi mahasiswa untuk melanggar ketentuan pidana dan norma kesusilaan.
Novia Dwi Rahmaningsih, Konselor Rifka Annisa, menyatakan penggolongan tindak kekerasan seksual ke tindak pidana seperti yang dikatakan Anang justru bahwa menunjukkan universitas tengah bermain aman. Katanya, jika digolongkan tindak pidana, maka pelaku harus terbukti melanggar undang-undang, padahal undang-undangnya sendiri belum mengakomodasi realitas kekerasan seksual.
Novia mengatakan belum terakomodasi karena, dalam KUHP, kekerasan seksual hanya dimaknai dengan tindakan penetrasi antara penis dan vagina yang dilakukan atas dasar paksaan secara fisik. Bila menilik buklet 15 Bentuk Kekerasan Seksual yang dikeluarkan Komnas Perempuan, hal tersebut termasuk dalam tindak perkosaan. Akan tetapi, masih menurut buklet tersebut, tindak perkosaan adalah satu dari lima belas bentuk kekerasan seksual. Perkosaan bukan satu-satunya realitas kekerasan seksual.
“Kekerasan seksual bukan hanya tentang adanya ancaman atau paksaan yang membahayakan secara fisik. Tetapi kekerasan seksual adalah aktivitas seksual yang tidak diinginkan oleh salah satu pihak, tidak ada konsensus dari salah satu pihak,” ungkap Novia pada Jumat (29/03/2019).
Selain belum terakomodasinya kekerasan seksual dalam undang-undang, jika digolongkan tindak pidana, maka kekerasan seksual akan sulit dibuktikan. Hal tersebut terjadi karena keharusan adanya visum et repertum (VeR) yang menunjukkan adanya bekas pemerkosaan pada fisik korban sebagai bukti.
VeR sulit dilakukan karena efek traumatik yang dialami korban kekerasan seksual. Efek yang dimaksud Novia adalah post-traumatic stress disorder. Trauma ini membuat korban enggan berurusan dengan segala hal yang dapat mengingatkan korban akan peristiwa buruk yang dialami, termasuk melapor. Padahal, dalam hal ini, visum harus cepat dilakukan setelah terjadi tindak kekerasan seksual.
Dalam sebuah kasus yang pernah Novia tangani, terdapat korban kekerasan seksual yang melapor setelah dua minggu mengalami pemerkosaan. Visum kemudian dilakukan dan hasilnya nihil. Bekas pemerkosaan bahkan telah hilang dalam dua minggu.
Pentingnya Membuat Aturan Khusus
Saat ini, Universitas Gadjah Mada (UGM) tengah menyusun aturan khusus terkait penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus. Sri Wiyanti Eddyono, anggota tim penyusun aturan tersebut, menjelaskan bahwa, sejak 2014, UGM telah memiliki kode etik yang mengatur larangan melakukan pelecehan.
Namun, menurut Sri dan kawan-kawan, kode etik tersebut tidaklah cukup. Sri menyatakan bahwa aturan tersebut hanya mengatur perihal pelaku dan tidak disebutkan penanganan penyintas. Dengan kata lain, aturan tersebut tidaklah berperspektif penyintas.
Peraturan tak berperspektif penyintas yang dimaksud Sri memiliki kemiripan dengan aturan yang disampaikan Anang. Aturan UGM pada 2014 tersebut memasukkan tindak kekerasan seksual masuk dalam pelanggaran etika. Prosesnya pun serupa dengan UNY, dengan membentuk komite etik yang akan memverifikasi kasus dan memberi putusan.
Sri memcontohkan kekerasan seksual yang dilakukan HS, seorang mahasiswa UGM, pada akhir 2018 lalu. “Oke, untuk peraturan penanganan pelakunya udah ada. Yang jadi masalah, penangan korbannya piye?” ujarnya.
HS, yang dimaksud adalah mahasiswa pelaku kekerasan seksual, yang beritanya diterbitkan BPPM Balairung pada akhir 2018, sekaligus juga laporan mengenai buruknya UGM dalam menangani kekerasan seksual yang menimpa seorang mahasiswinya. Kasus ini sempat viral dan berakhir damai. HS, pelaku kekerasan, tetap lulus.
“Korban kan bisa takut, malu. Korban juga membutuhkan dukungan, sokongan, mungkin dia butuh penanganan psikologis, dia butuh ke dokter. [Waktu itu] kita [UGM] enggak punya aturannya,” jelas Sri.
Sri juga menjelaskan bahwa tidak adanya sivitas akademika yang melaporankan tindak kekerasan seksual bukan berarti tidak adanya kekerasan seksual yang terjadi. Ada kaitan yang kuat antara sistem penanganan dengan penyelesaian kasus kekerasan seksual. Artinya, bisa jadi ketiadaan laporan kekerasan justru dikarenakan ketiadaan sistem penanganan yang ramah bagi penyintas.
Masih menurut Sri, kurangnya perlindungan penyintas kekerasan seksual justru menjadi alasan kuat sedikitnya laporan kekerasan yang masuk. Salah satu indikatornya, masih ditemukan orang-orang yang melakukan victim blaming.
“Penyintas akan melaporkan kasusnya karena dia percaya sistemnya akan membantu dia,” ujar Sri.
Selaras dengan pernyataan Sri, pada 2016 silam, Lentera Sintas indonesia dan Magdalene merilis survei yang mengatakan bahwa 93 persen korban kekerasan seksual tidak melaporkan tindak kekerasan yang menimpanya. Disebutkan 63 persen responden survei tersebut ogah melapor karena alasan “malu”. Ada pula alasan lain seperti takut disalahkan, tidak memiliki bukti yang cukup, tidak adanya dukungan keluarga dan teman, serta diintimidasi oleh pelaku.
Sri juga mengatakan, aturan penanganan kekerasan seksual yang tidak ramah penyintas juga dapat berdampak pada patah arangnya penyintas dalam hidupnya. Dosen Hukum itu mencontohkan, beberapa kasus kekerasan seksual di UGM mengakibatkan tidak lancarnya perkuliahan penyintas karena stres dan depresi.
Hal senada juga dijelaskan oleh Novia. Menurutnya, penting bagi kampus untuk menunjukkan keberpihakkan pada penyintas kekerasan seksual. Keberpihakan yang dimaksud adalah sikap peduli dan tidak melakukan victim blaming.
Sikap tersebut, lanjut Novia, dapat universitas tunjukkan dengan memberikan informasi layanan yang dapat diakses jika ada tindak kekerasan seksual yang menimpa sivitas akademika. Selain itu, universitas juga dapat membuat lingkungan yang suportif bagi korban kekerasan seksual agar kesalahan tidak ditimpakan ke korban.
“Tunjukkan bahwa kampus melihat hal ini sebagai hal yang urgent dan punya keberpihakkan yang jelas pada korban,” tutupnya.
Rizal Amril Yahya
Editor: Abdul Hadi